Mongabay.co.id

Bagaimana Cara Manfaatkan Tambak Udang Non Aktif?

Tambak udang yang mengalami penurunan kualitas lahan, selama ini banyak ditinggalkan oleh para pembudidaya ikan. Penyebabnya, karena kondisi tambak tidak akan sanggup lagi menghasilkan produksi udang yang berkualitas dan tahan terhadap cuaca dan penyakit. Kondisi itu, sudah mafhum dirasakan oleh para pembudidaya sejak lama.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menguji coba introduksi benih ikan nila payau hasil hibridisasi pada lahan eks tambak udang yang non aktif. Uji coba tersebut, untuk memecahkan persoalan kevakuman lahan akibat degradasi kualitas eks tambak udang. Hasilnya, ikan nila payau hibrida dinyatakan bisa untuk dibudidayakan di lahan tersebut.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan, perkembangan teknologi yang sangat cepat ternyata bermanfaat banyak bagi perkembangan sektor perikanan budidaya. Bukan saja bisa mengaktifkan lahan yang tidur, dengan keberhasilan introduksi hibrid, produktivias ikan nila juga bisa terus ditingkatkan.

“Ini adalah langkah yang bagus bagi sektor perikanan budidaya. Ikan nila payau hibrid ini bisa dikembangkan sebagai komoditas diversifikasi yang baru untuk memanfaatkan tambak non aktif,” jelasnya.

Dengan keberhasilan melakukan uji coba, Slamet menyebutkan, ada peluang baru untuk memanfaatkan tambak-tambak udang yang sudah non aktif untuk dijadikan pusat produksi ikan nila payau hibrid. Akan tetapi, agar tidak ada pembukaan lahan baru, dia menghimbau agar masyarakat yang tertarik bisa menerapkan konsep kawasan dan pembentukan organisasi usaha berbasis kelompok.

Menurut Slamet, jika konsisten dilakukan oleh masyarakat yang tertarik, dia yakin pemanfaatan tambak udang non aktif akan menjadi sumber pendapatan baru yang menjanjikan. Dengan kata lain, eks tambak udang yang terbengkalai memiliki potensi ekonomi besar dan sekaligus bisa membantu daerah setempat untuk mengembangkan ekonominya.

“Teknologi ini merupakan terobosan budidaya alternatif untuk mendukung peningkatan produksi sektor perikanan budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dengan begitu usaha masyarakat juga terjamin berkelanjutannya, sehingga kesejahteraan dapat dicapai,” paparnya.

baca :  Budidaya Ikan Nila Salin Terapkan Prinsip Berkelanjutan. Seperti Apa?

 

Panen ikan nila hibrida pada eks lahan tambak udang. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Air Garam

Peneliti Muda Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, Sulawesi Selatan, Dasep Hasbullah yang berjasa menelurkan teknologi baru itu, menjelaskan bahwa nila payau hibrid adalah komoditas yang mampu beradaptasi dan tahan pada rentang salinitas lebih tinggi dari 20 part per thousands (ppt). Dengan kata lain, nila payau hibdrid mampu bertahan di air yang jumlah kadar garamnya tinggi.

Dengan kemampuan bertahan sedemikian baik, Dasep menerangkan bahwa ikan nila payau hibrid mampu mengatasi persoalan kematian yang cukup tinggi akibat dari dampak fisiologis dari proses osmeregulasi yang timbul karena ada kenaikan salinitas. Permasalahan tersebut, selama ini selalu dihadapi para pembudidaya saat memproduksi ikan nila air tawar di tambak.

Sebelum bisa menghasilkan teknologi tersebut, Dasep mengaku harus melakukan banyak uji coba dan penelitian produksi ikan nila payau hibrid. Sebelum itu, dia lebih dulu mengembangkan teknologi produksi nila payau unggul melaui hibrididisasi dua jenis ikan nila, yaitu antara strain ikan nilai unggul air tawar (Gift dan Gesit) dengan nila spesifik lokal Sulawesi Selatan.

“Ikan nila unggul air tawar ini sudah lulus uji tantang, yaitu pengujian untuk mengetahui atau mengukur kemampuan hidup secara kualitatif pada perlakuan tertentu. Sementara, ikan nila spesifik lokal Sulawesi Selatan ini dikenal sangat toleran pada salinitas tinggi dan oksigen rendah atau gene pool,” jelasnya.

Setelah berhasil mengembangkan, Dasep menyebutkan, benih hibrida itu kemudian diujicobakan di beberapa tambak yang masuk wilayah binaan BPBAP Takalar. Dari uji coba itu, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa benih memiliki ketahanan hidup yang baik pada kondisi salinitas tinggi di kisaran 5-25 ppt, dan kelulushidupan (survival rates) pada kisaran 82-90 persen.

Selain hasil di atas, uji coba juga menghasilkan fakta bahwa pada budidaya semi intensif, benih dinyatakan sudah menghasilkan nilai konversi pakan (feed convertion ratio/FCR) sebesar 0,8. Fakta-fakta tersebut, menegaskan bahwa produksi ikan nila hibrid akan berjalan baik saat dilakukan di tambak udang yang non aktif.

“Pada akhirnya, itu secara ekonomis membantu meningkatkan produktivitas tambak dan pendapatan pembudidaya,” tegasnya.

baca juga :  Teknologi Bioflok Ternyata Menguntungkan Budidaya Ikan Nila, Begini Penjelasannya

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Mengingat teknologi tersebut bisa membantu pengembangan perikanan budidaya, saat ini sudah banyak daerah yang memanfaatkannya untuk dipakai dalam produksi perikanan budidaya. Daerah yang sudah mengadopsi teknologi itu, menurut Dasep, di antaranya Takalar, Maros, Gowa, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Pinrang, Barru, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Selayar, dan Pare-pare. Seluruh daerah tersebut ada di Sulawesi Selatan.

Provinsi lain juga sudah tertarik untuk mengembangkan ikan nila payau hibrid pada lahan eks tambak udang yang non aktif. Seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimatan Timur, Maluku, Papua, Papua Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tentang teknologi yang banyak diminati banyak orang itu, Dasep menjelaskan bahwa pengembangannya berlangsung 6 tahun sejak 2009 hingga 2015. Selama proses itu, dia berulang kali melakukan penelitian dan uji coba untuk menghasilkan varian hibrid ikan nila dengan kemampuan dan karakter baru yang bisa bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik pada salinitas tinggi berkisar 5-25 ppt.

 

Karakter Biologis

Menurut Dasep, untuk memanfaatkan potensi tambak udang non aktif, memang perlu ada perbaikan manajemen sumber daya perikanan ke arah yang lebih baik, seperti efisiensi untuk mendapatkan keuntungan dari segi pembiayaan dan optimalisasi teknologi dan pengelolaan lahan yang tepat. Cara-cara seperti itu, mutlak harus dilakukan jika ingin sukses memanfaatkan eks tambak udang.

Setelah melalui serangkaian tes dan uji coba, Dasep menjelaskan, ikan nila payau hibrid yang dikembangkan akan memiliki karakteristik biologis yang tahan terhadap perubahan salinitas dan kondisi ekstrim akibat fluktuasi oksigen. Kemudian, mampu meningkatkan nilai kelulushidupan sebesar 20 – 23 persen, tahan terhadap penyakit dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik di kisaran 20 – 23 persen jika dibandingkan dengan nila air tawar yang dibudidayakan di tambak payau.

Kemudian, karakteristik lainnya, adalah waktu pemeliharaan singkat dan dapat dilakukan berbagai sistem budidaya, baik itu monokultur maupun polikultur dengan udang/bandeng, dengan jangka waktu selama 3 bulan. Keberagaman sistem itu akan membantu peningkatan kesuburan dasar tambak dan sekaligus meningkatkan produktivitas tambak air payau hingga lebih dari 100 persen.

“Yang terpenting, dengan teknologi ini, kita bisa membantu untuk mengurangi jumlah tambak yang terbengkalai,” tandasnya.

baca :  Tingkatkan Pembenihan Ikan Nila, KKP Kembangkan Sistem Corong. Seperti Apa?

 

Panen ikan nila salin di Kabupaten Pati, Jateng. Pati menjadi daerah percontohan budidaya perikanan ikan nila berkelanjutan oleh KKP. Foto : DPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Tak kalah pentingnya lagi, menurut Dasep, dengan menggunakan teknologi hibrid, cita rasa ikan nila yang diproduksi di lahan eks tambang udang non aktif, ternyata tetap lezat dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Dengan demikian, komoditas tersebut memiliki peluang pasar yang menjanjikan untuk pengembangan usaha.

“Inovasi ini akan membantu pemenuhan gizi masyarakat dan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan pembudidaya,” pungkas dia.

Diketahui, untuk bisa melaksanakan produksi ikan nila payau hibrid di tambak dengan luas 1 hektare, diperlukan biaya tetap sebesar Rp4,4 juta untuk keperluan sewa tambak, pompa air, dan pengadaan sarana produksi. Kemudian, biaya sebesar Rp73,4 juta diperlukan untuk biaya operasional selama 1 siklus (90 hari) yang mencakup di dalamnya pembuatan/rehabilitasi konstruksi tambak, pengadaan pupuk, saponin, benih, pakan, probiotik, bahan bakar, dan yang lainnya.

 

Exit mobile version