Mongabay.co.id

Soal Pengembangan Wisata Danau Toba, Begini Masukan Mereka

Danau Toba, sepanjang mata memadang yang tampak hanya keramba jaring apung yang berdampak pada kualias air . Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

“Tanah adat kami seluas 905 hektar, kami miliki turun temurun sudah 15 generasi, diklaim sebagai hutan negara,” kata Polma, masyarakat adat Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, bercerita hari itu.

Polma adalah satu dari ratusan masyarakat yang terdampak pembangunan pariwisata di Danau Toba. Pengusaha dan pejabat yang datang mengatasnamakan pembangunan itu, katanya, melakukan berbagai cara buat menguasai tanah.

“Masuk tanpa sepengetahuan dan tak melibatkan kami. Menimbulkan kecurigaan dan memecah belah kami,” katanya saat Seminar Rakyat Bicara Pembangunan Pariwisata Danau Toba, di Jakarta, awal Oktober lalu.

Pengembangan pariwisata Danau Toba melahirkan konflik lahan antara masyarakat setempat dan pemerintah. Danau Toba jadi salah satu destinasi prioritas pemerintah buat menggenjot kunjungan wisata mancanegara sebanyak 20 juta orang pada 2019 dengan target perolehan devisa US$20 miliar.

Pemerintah pun menguatkan dengan aturan lewat Peraturan Presiden Nomor 81/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya.

Suryati Simanjuntak, Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan pengembangan Prakarsa Masayrakat (KSPPM), mengatakan, pembangunan wisata jadi ancaman kalau status lahan mereka tak jelas.

”Pemerintah mengklaim, hampir semua tanah di sana milik negara. Masyarakat adat sudah tinggal turun temurun dan tak mengetahui status kepemilikan lahan. Selama ini, merasa aman-aman saja dan mengakui itu tanah adat mereka,” katanya.

Sejak 2016, KSPPM bersama Sajogjo Institute riset pembangunan wisata di Danau Toba dan terus memantau berkelanjutan hingga kini.

Dia bilang, banyak warga khawatir tentang tanah yang mereka tinggali, tempat berladang dan sumber mata air. ”Mereka bilang bagaimana kalau digusur.”

Sosialisasi selama ini hanya strategi janji kesejahteraan, lapangan pekerjaan dan kemajuan masyarakat. Nyatanya, pembangunan tak sesuai potensi dan karakter masyarakat.

”Kami harapkan pembangunan pariwisata menghargai budaya, kearifan lokal dan menghormati hak masyarakat adat. Kami minta pemerintah dan siapapun harus menghargai, menghormati dan melindungi hak kami sebagai masyarakat adat,” kata Polma.

Warga sekitar Danau Toba pun terancam kehilangan mata pencaharian sebagai petani, karena ada potensi perubahan fungsi lahan buntut pembangunan pariwisata.

”Mari belajar mendengar dan memahami kebutuhan masyarakat. Kami harap pembangunan pariwisata bisa menyejahterakan masyarakat. Semoga bukan memperparah masalah yang sudah ada,” kata Suryati.

Eko Cahyono, tim peneliti ekowisata Danau Toba mengatakan, pembangunan Danau Toba tak gunakan prinsip pembangunan berbasis ekowisata, lebih pada wisata alam.

 

Danau Toba dengan keindahan alam akan terancam jika hutan dan lingkungan di sekitar rusak. Kini, kawasan-kawasan hutan di berbagai kabupaten sekitar Samosir, terus dibabat, pemerintah seakan mengamini lewat pemberian izin maupun aksi ilegal yang dibiarkan. Keresahan dan kekecewaan kepada pemerintah inilah yang mendorong penerima Kalpataru dan Wana Lestari dari tiga kabupaten akan mengembalikan penghargaan itu. Foto: Wikipedia

 

Eko tak hanya meneliti di Danau Toba, juga lokasi lain seperti Wakatobi, Bromo Tengger Semeru dan Kepulauan Seribu.

Prinsip ekowisata berbeda dengan prinsip wisata alam. Ekowisata, katanya, aspek ekologi jadi acuan pengembangan pariwisata, sedangkan prinsip wisata alam mementingkan tujuan pariwisata.

”Pembangunan pariwisata berkelanjutan itu harus menaruh perhatian serius pada aspek ekologi dan sosial. Jika sektor pariwisata tak meletakkan manusia dan ekosistem jadi satu kesatuan, berarti itu bukan ekowisata,” katanya.

Hasil penelitian mereka, menemukan, antara lain, pertama, masih ada pengabaian tata ruang dan pengetahuan lokal masyarakat atas pembangunan wisata Danau Toba. Hal paling penting, katanya, pengabaian sistem adat dan marga atas tanah.

”Kalau ini diabaikan, jangka pendek mungkin berhasil dengan pemaksaan politik. Setelah empat tahun akan ada konflik besar,” katanya.

Kedua, pembangunan masih dengan penyeragaman jenis-jenis pariwisata dan mengabaikan bentuk pengembangan wisata berbasis komunitas.

Dengan begitu, katanya, pembangunan akan berbasis industri (industrial based) bukan komunitas (community based). Ia akan mendatangkan investor masuk.

Potensi masalah lain, kemungkinan muncul spekulan tanah, manipulasi atas nama adat, dan konflik antarmarga. Padahal, kalau masyarakat adat/lokal, mereka punya hubungan kompleks dengan tanah.

Tanah itu bukan hanya lahan, tetapi bernilai ekonomi, sosial sampai spiritual bagi masyarakat adat. Kala tanah hilang, bakal terjadi konflik agraria, merugikan masyarakat adat, mereka akan kehilangan kebudayaan dan peradaban.

Eko menekankan, perlu melihat kembali paradigma pembangunan ekowisata dengan meletakkan manusia dan alam sebagai satu kesatuan, bukan hanya aset.

Ketiga, ada naturalisasi kebijakan seolah demi kesejahteraan masyarakat dengan legitimasi konservasi. Nyatanya, pengembangan ekonomi masyarakat tak jadi bagian penting justru industri besar sebagai pemain.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor mengatakan, tak seimbang antara investasi dan pengembangan kapasitas masyarakat dan pembangunan pariwisata Danau Toba.

Dalam Perpres Nomor 81/2014, katanya, tak ada rambu-rambu dalam mewujudkan infrastruktur dan bagaimana pengembangan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

Dia meminta, pimpinan daerah mampu menguasai lapangan, bukan sebatas peta ataupun statistik.

 

Kematian massal ikan dalam keramba jarring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Kerugian diperkirakan mencapai Rp2,7 miliar dengan asumsi harga ikan Rp15.000/kg dari 180 ton ikan yang mati. Foto :Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Peka konflik

Basyar Simanjuntak, Direktur Badan Otorita Danau Toba mengelak, konflik masyarakat karena ada pengembangan pariwisata Danau Toba. ”Sebelum otorita (Badan Otorita Danau Toba-red) itu ada, masalah sudah ada memang,” katanya.

Kehadiran Badan Otorita Danau Toba (BODT), katanya, sebagai satu pengelola untuk satu tujuan (single management for single destination).

Selama ini, katanya, sosialisasi kepada masyarakat berjalan baik. Ke depan, katanya, pengembangan ekowisata ini akan berbasis komunitas “Pasti kita angkat kebudayaan lokal.

Basyar mengatakan, BODT adalah perwakilan pemerintah yang bekerja sesuai UU. ”Kami dituntut seminggu sudah ada hasil. Pak Presiden pesan ke kami agar perbaiki kerja. Kami selalu mendengar.”

Lasman, masyarakat dari Kabupaten Tobasa mengatakan, kampung mereka berada di pinggir danau. Pertanian dan air minum sehari-hari dari bukit yang kini pemerintah berikan kepada BODT.

“Kami khawatir pembangunan pariwisata itu justru akan menghilangkan tanah adat dan membuat konflik marga di kampung. Juga air kami, bagaimana bisa bertani kalau sumber air tidak ada?”

Prayogo Utomo, Kepala Subdirektorat Pemetaan Konflik pada Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan, kalau ada konflik agraria bisa lapor kepada KLHK.

Nanti, katanya, KLHK akan jadi mediator bagi pihak-pihak berkonflik. ”Sejauh ini, mediasi cara terbaik mengatasi konflik,” katanya.

Berdasarkan data KLHK, tercatat ada 250 konflik agraria pada kurun 2015-2018, mayoritas terjadi di Sumatera Utara.

Prayogo mengatakan, pemerintah memiliki skema hak atas tanah untuk masyarakat adat yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 32/2015 tentang Hutan Hak.

”Hak kelola hutan hanya bisa diberikan kepada masyarakat adat, dimana pemerintah daerah perlu memberikan pengakuan melalui peraturan daerah. KLHK akan verifikasi keberadaan masyarakat adat sebelum memberi hak kelola hutan,” katanya.

Menurut Suryati, BODT selama ini lebih reaktif, jika ada protes masyarakat barulah mereka datang ke lapangan. ”BODT seharusnya tak hanya top-down tapi melihat potensi di desa. Keinginan dan kemampuan rakyat seperti apa, jangan membawa sesuatu yang baru ke dalam masyarakat dan menghilangkan identitas lokal.”

Hariadi melihat, strategi pariwisata Danau Toba memang didesain untuk eksploitasi keindahan bentang alam dan kepuasan konsumen. Dengan demikian, persoalan hak masyarakat adat bukan sebuah prioritas.

”Ini (kesalahpahaman paradigma ekowisata) hanya bisa dilakukan ketika perpres mengenai badan otorita itu direvisi,” katanya.

Dari hasil kajian, mereka mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah, antara lain, pertama, tak membangun bangunan di atas mata air karena mengancam kehidupan dan lahan pertanian masyarakat. Kedua, tak alih fungsi lahan produktif dengan alasan akses lebih dekat, dan mendahulukan dan mengkaji tanah leluhur maupun tanah identitas orang Batak. BPOT pun perlu memetakan potensi masyarakat yang tersedia

”Dahulukan komunitas lokal dan potensi yang tersedia disana. Jika masyarakat tak mampu, itulah tugas negara,” katanya.

Dia pun mengingatkan, sosialisasi BODT tidak prosedural pemenuhan administrasi, tetapi libatkan semua kalangan masyarakat.

BODT, katanya, juga perlu melihat potensi konflik antar kabupaten agar tak menjadi berkepanjangan dan kompetisi antar masyarakat makin meningkat.

”Saat ini yang terjadi hanya percepatan. Kalau ada politik percepatan, semua akan jadi prosedural. Ini harus kawal dan suarakan.”

 

Keterangan foto utama:    Danau Toba, sepanjang mata memadang yang tampak hanya keramba jaring apung yang berdampak pada kualias air . Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Danau Toba yang dilihat melalui satelit. Sumber: NASA/LANDSAT

 

 

Exit mobile version