Mongabay.co.id

Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

Konsep perikanan berkelanjutan menjadi salah satu isu yang dibahas secara mendalam dalam gelaran Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang berlangsung di Bali, 29-30 Oktober 2018. Isu tersebut disepakati oleh semua negara untuk diterapkan dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan di negara masing-masing. Konsep tersebut, dinilai akan menyelamatkan ekosistem lautan dunia dari berbagai kerusakan.

Dalam sesi besar (plenary session) yang digelar di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018), semua negara menyatakan kesiapannya untuk menerapkan perikanan berkelanjutan. Pernyataan itu mengemuka, karena semua negara sepakat masih membutuhkan pasokan sumber daya dari laut. Dengan demikian, di masa mendatang, generasi penerus masing-masing negara masih dapat menikmati sumber daya ikan.

Pakar perikanan dari University of Hong Kong Yvonne Sadovy membeberkan pernyataan tersebut di hadapan ratusan peserta konferensi yang memadati ruang Plenary Hall. Menurut dia, laut adalah sumber kehidupan yang tidak bisa digantikan oleh daratan sampai kapan pun. Segala sumber daya alam yang ada di laut, sejak lama menjadi penunjang kebutuhan pangan masyarakat dunia.

baca :  Inilah Sejumlah Komitmen OOC 2018 untuk Menyelamatkan Lautan

 

Perwakilan Universitas Hongkong Yvonne Sadovy (kiri) dan CEO of OCEANA Andrew Sharpless (kanan) menjadi narasumber dalam sesi pleno Perikanan Berkelanjutan pada Our Ocean Conference (OOC) 2018, di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). Foto : ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Irsan Mulyadi/Mongabay Indonesia

 

Hal yang sama juga diutarakan Menteri Kelautan Norwegia Herald Tom Nesvik yang didapuk menjadi salah satu panelis dalam sesi tersebut. Kepada peserta, dia menceritakan bagaimana perjuangan Norwegia untuk bisa menjadi negara besar dalam sektor kelautan dan perikanan. Untuk bisa menjadi seperti itu, ada banyak tantangan yang harus dilewati oleh negara skandinavia itu.

Menurut Herald, Norwegia memiliki perhatian pada lautan, karena sebagian besar luas wilayahnya didominasi lautan. Untuk itu, negara tersebut mengaku berusaha menyeimbangkan antara produksi perikanan dengan konservasi di lautan. Langkah itu tidak lain agar tujuan ekonomi berkelanjutan bisa diraih di waktu bersamaan.

“Penelitian kelautan dan pengembangannya menjadi prioritas saat ini di Norwegia. Kita ingin, ikut berjuang menyelamatkan laut dunia,” jelasnya.

baca juga : Indonesia Kampanyekan Perikanan Berkelanjutan untuk Dunia, Seperti Apa Itu?

 

Menteri Perikanan Norwegia Harald Nesvik menjadi narasumber dalam sesi pleno Perikanan Berkelanjutan pada Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). Foto : ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Sigid Kurniawan/Mongabay Indonesia

 

Keterikatan Manusia

Pernyataan itu didukung kuat oleh perwakilan lembaga pangan dunia PBB (FAO) Ami M Mathiesen yang juga menjadi panelis. Dia menyebutkan, sampai kapanpun manusia akan memerlukan ikan sebagai makanan, karena konsumsi daging hewan tidak akan selamanya bisa mencukupi. Namun, di saat bersamaan, sumber daya ikan juga terus berkurang karena banyak wilayah penangkapan ikan (fishing ground) sudah melewati ambang batas penangkapan (overfished).

“Di dunia ini ada banyak wilayah laut yang sudah overfished. Itu kalau sudah terjadi, akan sulit untuk dipulihkan kembali. Untuk itu, perlu usaha ekstra keras untuk menjaga wilayah laut yang masih sehat. Itu harus dilakukan, karena jika tidak, prediksi pada 2050 akan menjadi kenyataan, suplai kebutuhan ikan akan dikuasai perikanan budidaya,” tegasnya.

Sementara, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M Zulficar Mochtar yang mewakili Indonesia, berbicara tentang upaya daerah untuk menerapkan prinsip perikanan berkelanjutan. Gerakan tersebut, sudah menyebar dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Maluku, Bali, hingga Sulawesi.

“Kita sadar bahwa perikanan berkelanjutan adalah masa depan dari perikanan dunia. Jika kita semua masih ingin bisa menangkap ikan di laut, maka perikanan berkelanjutan adalah jawabannya. Bagaimana kita bisa menjaga laut dengan baik, tanpa merusaknya, itu harus dilakukan semua negara,” ucapnya.

baca juga : Perikanan Berkelanjutan, Pencapaian Diantara Banyaknya Tantangan. Begini Ceritanya..

 

Asisten Direktur Jenderal FAO Arni Mathiesen menjadi narasumber dalam sesi pleno Perikanan Berkelanjutan pada Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). Foto : ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Sigid Kurniawan/Mongabay Indonesia

 

Zulficar menerangkan, sebelum perikanan berkelanjutan mengemuka di dunia, Indonesia sudah membentuk 11 wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPP RI) yang disahkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.1/2009 dan kemudian diperkuat dengan Permen KP No.18/2014.

“Dengan adanya WPP, Indonesia mengatur mana saja wilayah laut yang bisa dimanfaatkan dan tidak. Sekarang, kita harus bisa memanfaatkan untuk perikanan berkelanjutan. Sekarang saatnya kita masuk lebih detail lagi,” ungkapnya.

Berkaitan dengan pengaturan wilayah penangkapan ikan, Zulficar juga menyebutkan jika Indonesia saat ini sudah memiliki Dewan Pengelolaan Perikanan yang bertugas di seluruh WPP yang sudah ada. Tugas dewan, di antaranya adalah untuk memastikan setiap WPP bisa berjalan baik dan tidak terjadi pelanggaran. Kalaupun ada masalah, maka itu menjadi tugas dewan untuk menyelesaikannya.

menarik dibaca :  Praktik Berkelanjutan dalam Bisnis Perikanan dan Kelautan, Seperti Apa?

 

Chairman of the International Pole and Line Foundation John Burton (kiri) berjabat tangan dengan Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zulficar Mochtar saat menjadi narasumber dalam sesi pleno Perikanan Berkelanjutan pada Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Sigid Kurniawan/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, agar perikanan berkelanjutan bisa terus berkembang, seruan untuk memperhatikan perikanan skala kecil juga disuarakan selama gelaran OOC 2018. Di antara yang bersuara lantang itu, adalah Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), International Pole and Line Foundation (IPNLF), Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI), serta Blue Ventures.

Direktur Utama IPNLF Martin Purves mengatakan, 97 persen perikanan skala kecil berlokasi di negara berkembang, di mana 90 persen dari hasil tangkapan mereka langsung dijual ke masyarakat lokal sekitar tempat tinggal nelayan. Namun, dari jumlah tersebut, tidak diketahui apakah mereka sudah memahami tentang perikanan berkelanjutan atau tidak.

“Padahal, hasil tangkapan 97 persen nelayan di negara berkembang itu sangat penting dan bisa memengaruhi rantai pasok yang sudah ada. Sekali mereka bermasalah, maka saat itu juga rantai pasok akan mengalami masalah,” jelasnya.

 

Skala Kecil

Dengan fakta seperti itu, Martin meminta semua negara untuk bisa memahami kondisi itu dan kerja sama internasional yang akan dan sudah dilakukan, harus terus menunjukkan komitmen besar mereka pada perikanan skala kecil.

Selain IPNLF, kepedulian terhadap perikanan berkelanjutan juga diperlihatkan organisasi nirlaba internasional Marine Stewardship Council (MSC) yang sejak lama mengawal perikanan berkelanjutan melalui sertifikasi yang mereka keluarkan untuk perusahaan perikanan. Di Bali, MSC menegaskan bahwa mereka tak hanya peduli pada dunia, tapi lebih khusus ke Indonesia.

Direktur Regional MSC Asia Pasifik Patrik Caleo menjelaskan, untuk mengawal perikanan berkelanjutan, pihaknya melaksanakan program bernama “Fish for Good” yang diterapkan selama empat tahun di Indonesia. Program tersebut, menyasar pada isu perikananan berkelanjutan, ekonomi, dan ekosistem laut sebagai bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals).

Caleo mengatakan, sebagai pasar utama yang berkembang di Asia Pasifik, perekonomian Indonesia terus tumbuh dan industri perikanan juga berkembang sangat pesat di saat bersamaan. Saat ini, produk perikanan Indonesia mampu menyuplai 54 persen kebutuhan protein hewani secara nasional. Itu menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar kedua di dunia dengan volume penangkapan ikan.

baca :  Ini Upaya Mewujudkan Perikanan Berkelanjutan. Bagaimana Praktiknya?

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto mengatakan, penerapan prinsip berkelanjutan untuk saat ini bukan lagi menjadi sekedar syarat dunia bisnis, tetapi menjadi kebutuhan dasar untuk keberlangsungan sektor perikanan dan kelautan. Agar itu bisa berjalan baik, perlu upaya keras dari semua pihak di Indonesia.

“Saat ini, Indonesia harus bergerak cepat untuk mengembalikan kejayaan ekonomi dari sektor perikanan dan kelautan. Perlu akselerasi yang konsisten,” ucapnya.

Untuk melaksanakan akselerasi perikanan berkelanjutan, Luky mengungkapkan, KKP yang menjadi pemimpin untuk sektor perikanan dan kelautan, tidak harus menggenjot semua komoditas dalam waktu bersamaan. Bisa jadi, demi mengejar ketertinggalan sekarang, cukup satu atau dua komoditas saja yang digenjot untuk dilakukan akselerasi.

“Contohnya, bisa saja yang dilakukan adalah dengan menggenjot komoditas unggulan yang dulu berjaya dan sekarang tidak. Kemudian, komoditas tersebut juga sudah siap untuk dikembangkan lagi, baik dari infrastruktur maupun SDM (sumber daya manusia),” jelasnya.

 

Exit mobile version