Praktik Berkelanjutan dalam Bisnis Perikanan dan Kelautan, Seperti Apa?

 

Upaya menjaga ekosistem di lautan Nusantara terus dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya, melalui perikanan budidaya yang dilakukan para pembudidaya ikan di Indonesia. Upaya tersebut, dilakukan oleh PT Mustika Minanusa Aurora (MMA) yang melaksanakan budidaya udang windu (Giant tigeri/ Penaeus monodon) di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.

Penerapan perikanan berkelanjutan, menurut Raw Material Purchasing PT MMA Wellyono Hiu, mencakup dalam aspek legalitas, perbaikan lingkungan, pekerja, sosial, dan ketelusuran. Aspek-aspek tersebut, sejak 2015 mulai diterapkan dalam proses pembudidayaan komoditas unggulan tersebut melalui inisasi yang dilakukan World Wildlife Fund Indonesia

Wellyono mengungkapkan, aktivitas yang dilakukan secara kontinu tersebut, bertujuan untuk menghasilkan produk yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Bersama dengan itu, kata dia, pihaknya juga bisa menjaga ekosistem laut yang menjadi tempat pelaksanaan budidaya udang windu.

Selama dua tahun melaksanakan perikanan berkelanjutan, Wellyono mengatakan, banyak sekali kemajuan yang bisa diraih. Termasuk, saat perusahaan mendapatkan sertifikat Aquaculture Stewardship Council (ASC) dan menjadi sertifikat pertama yang diberikan untuk sektor perikanan budidaya.

“Untuk perikanan berkelanjutan, kami yang pertama mendapatkan sertifikat ekolabel tersebut. Ini sangat membanggakan,” ucap dia di Jakarta, awal pekan ini.

(baca : Udang Windu Ternyata Lebih Berpotensi dari Udang Vaname. Tapi..)

Dengan menerapkan perikanan berkelanjutan, Wellyono menyebut, tak hanya sertifikat yang berhasil diraih, pemasaran produk udang windu produksi perusahaannya juga mendapat apresiasi dari pasar internasional. Efeknya, kata dia, pemesanan untuk komoditas tersebut mengalami peningkatan.

Meningkatnya permintaan produk di pasar internasional, menurut Wellyono, tidak lain karena konsumen dan produsen di luar negeri sudah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap produk perikanan bertanggung jawab. Dengan demikian, komoditas yang menjadi incaran mereka, adalah komoditas yang memiliki sertifikasi yang jelas di level internasional.

“Sertifikat ASC ini bisa membantu meningkatkan pemasaran udang windu kami di luar negeri serta memberikan manfaat kepada petambak di sini. Kami akan terus menambah petambak yang ikut sertifikasi ASC ini,” jelas dia.

 

Udang windu (Penaeus monodon). Foto : WWF

 

Saat ini, Wellyono menyebutkan, petambak yang sudah mengikuti sertifikasi ASC jumlahnya ada dua, yakni tambak binaan Rusli Nurdin di Pulau Tias dan tambak binaan Dahari di Sungai Bara. Masing-masing binaan, mengelola sebanyak 4 dan 3 tambak dengan luasan masing-masng 100 ha dan 15 ha.

Dengan menerapkan perikanan berkelanjutan, Wellyono menjanjikan, produksi udang windu di tambak binaan dilakukan tanpa menggunaan bahan kimia dan atau prinsip-prinsip yang tidak bertanggung jawab. Termasuk, dengan memangkas pohon mangrove yang ada di sekitar lokasi tambak.

“Kita justru menjaga pohon mangrove yang ada. Bahkan, zona yang sebelumnya tidak ada pohon mangrove karena penebangan liar, secara perlahan oleh petambak dilakukan penanaman kembali,” jelas dia.

(baca : Udang Vaname Breeding Indonesia, Penyelamat dari Bahaya Wabah)

 

Tambak Tradisional

Sebagai bagian dari perikanan budidaya, produksi udang windu yang dilakukan PT MMA, dilakukan dengan menggunakan teknik tambak tradisional. Teknik yang dimaksud, adalah dengan melaksanakan budidaya tanpa aerasi dan tanpa menggunakan pakan.

“Dengan teknik tradisional, tambak tersebut mampu menghasilkan udang windu hingga 20 ton per tahun. Produk yang dihasilkan dari dua tambak binaan ini, kita daftarkan untuk bisa diekspor ke Jepang,” tutur dia.

Melalui penerapan teknik tradisional, Wellyono mengungkapkan, pihaknya mampu melaksanakan perlindungan habitat penting seperti lahan mangrove, keanekaragaman hayati, kualitas air, dan penyebaran penyakit pada budi daya udang.

“Terobosan ini juga membuktikan bahwa budi daya tradisional skala masyarakat mampu menembus dan bersaing dengan tambak skala industri untuk memenuhi standar sertifikasi internasional,” tandas dia.

Dengan dua tambak binaan, Wellyono berjanji ke depan pihaknya akan menambah jumlah tambak binaan yang melaksanakan prinsip perikanan budidaya berkelanjutan. Sebelum melakukan penambahan, pihaknya akan melakukan penataan dan pendataan tambak yang dimiliki mitra perusahaan.

Pendataan dilakukan, kata Wellyono, karena pihaknya tidak ingin mengabaikan permasalahan yang ada dalam tambak binaan. Misalnya, tambak binaan mengelola kolam tambak di kawasan pesisir yang statusnya adalah kawasan konservasi.

“Legalitas, banyak yang belum jelas kepemilikan. Apakah masih wilayah kehutanan atau bukan. Lebih selektif untuk memilih tambak mitra, berkaitan dengan status lahan,” jelas dia.

 

Udang hasil tambak warga Gresik, Jatim, mati terkena limbah smelter. Foto : Petrus Riski

 

Agar permasalahan yang dimaksud bisa selesai dengan baik, Wellyono meyebut kalau Pemerintah harus turun langsung ke lapangan. Dengan keterlibatan Pemerintah langsung, tambak-tambak yang status lahannya masih belum jelas, bisa diselesaikan sesuai harapan.

Rusli Nurdin, petambak di Pulau Tias, mengakui kalau budidaya udang windu di tambaknya masih menggunakan sistem tradisional. Dalam praktiknya, pembesaran udang windu dilakukan dengan mengandalkan air laut.

Biasanya, kata Rusli, saat air laut sedang pasang, maka tambak yang dikelolanya akan dibuka tanggulnya untuk membiarkan air masuk. Setelah itu, dia akan menebar bibit udang windu. Karena menggunakan sistem tradisional, dia memastikan bahwa pembesaran udang dilakukan tanpa menggunakan pakan dan obat-obatan kimia lainnya.

“Agar udang windu yang dibesarkan bisa sesuai harapan, kita biarkan tanpa pakan dan sebagai gantinya, udang-udang yang dibesarkan mendapatkan makanan dari plankton-plankton yang ada di laut dan masuk saat air sedang pasang,” papar dia.

Melalui metode tersebut, Rusli menyebut, udang windu yang dibesarkan di tambaknya memperlihatkan hasil yang bagus dan bahkan ada peningkatan dibandingkan saat pembesaran menggunakan pakan. Tak hanya itu, hasil lain dari penggunaan metode berkelanjutan, adalah semakin baiknya lingkungan di sekitar tambak yang menjadi pusat produksi udang windu.

“Kita sudah melalukan perbaikan lingkungan, penanaman mangrove. Kita tanam mangrove di sekitar tambak dan sungai-sungai yg sudah ditebang, kemudian ditanam ulang,” ujar dia.

(baca : Marguiensis, Udang Asli Indonesia Pelengkap Udang Vaname)

 

Sinergi Budidaya

Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia Wawan Ridwan mengatakan, keberhasilan PT MMA mendapatkan sertifikasi ekolabel ASC, menjadi contoh penerapan kebijakan pengelolaan budi daya berkelanjutan. Sinergi antara pelaku industri perikanan (perusahaan dan petambak), lembaga swadaya, dan pemerintah akan membawa proses pengelolaan sumber daya laut ke tahap perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya perikanan.

“Dalam program perbaikan budi daya udang, PT MMA telah melibatkan setiap pelaku dalam mata rantai suplai udang dan mengikutsertakan peran importir udang dan retailer di Jepang dalam peningkatan kualitas lingkungan ditingkat produksi,” jelas dia.

Sementara Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya WWF Indonesia Abdullah Habibi mengungkapkan, praktik budidaya yang dijalankan PT MMA telah menerapkan seluruh prinsip budidaya laut yang bertanggung jawab. Hal itu, dibuktikan melalui perolehan sertifikasi ASC.

“Kita mendorong adanya dukungan pasar untuk memperluas implementasi praktik budi daya serupa oleh pelaku usaha lainnya,” tutur dia.

Menurut Habibi, salah satu poin penting untuk mendapatkan sertifikat ekolabel ASC, adalah adalah kewajiban menanam 50 persen areal tambak dengan pohon mangrove. Kewajiban tersebut, dimaksudkan agar ekosistem di sekitar lokasi tambak bisa tetap terjaga dengan baik, meskipun ada perikanan budidaya.

Selain perikanan budidaya, Habibi menjelaskan, sertifikasi ASC juga diberikan kepada perusahaan yang bergerak di sektor perikanan tangkap. Seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap juga pada prinsipnya adalah penerapan perikanan yang berkelanjutan.

“Selain PT MMA, saat ini ada empat perusahaan lain yang sudah menyatakan tertarik untuk mengikuti sertifikasi. Sementara, dua perusahaan lagi saat ini sedang mendaftar untuk bisa didampingi oleh WWF,” jelas dia.

Untuk sektor perikanan tangkap, Habibi menuturkan, saat ini WWF sedang mendampingi delapan perusahaan yang tertarik untuk menerapkan praktik ekolabel. Ke depannya, perusahaan-perusahaan tersebut diharapkan bisa menyusul untuk mendapatkan sertifikat ASC yang berarti simbol penghargaan untuk perikanan berkelanjutan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,