Mongabay.co.id

Badak Sumatera, Seberapa Tangguh Kita Menyelamatkannya?

 

Indonesia memiliki dua spesies badak dari lima yang ada di dunia. Ada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak jawa (Rinocheros sondaicus). Bagaimana kondisi badak sumatera sat ini?

“Populasinya harus kita perhatikan. Harus ada upaya darurat,” kata Widodo Sukohadi Ramono. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) ini, tekanan atas kelestarian badak sumatera sangat berat.

“Populasinya tersebar,” tambah Zulfi Arsan. Dokter hewan yang aktif di Suaka Rhino Sumatera (SRS) ini memaparkan, jumlah badak sumatera di alam tidak diketahui pasti. Perkiraannya antara 70 hingga 100 individu.

Informasi tersebut diungkapkan keduanya saat menjadi pembicara seminar yang diadakan Kelompok Studi Satwa Liar (KSSL) Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Sabtu, 20 Oktober 2018, di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Baca: Kisah Romantis Perilaku Kawin Badak Jawa

 

Badak sumatera yang jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 100 individu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Badak memerlukan habitat khusus. Celakanya, habitat badak juga disukai manusia. Keduanya senang dataran rendah dan berair. “Satwa yang berjalan dengan telapak menyukai wilayah ini, bukan yang terjal. Ini tidak seperti kuda atau kambing yang berdiri di atas kukunya, bisa naik bukit,” kata Widodo yang punya pengalaman panjang konservasi badak di Indonesia.

Dia mencontohkan, perambahan yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada 2010 hingga 2017 memaksa badak cerai berai. Apalagi ditambah ancaman perburuan. Padahal, wilayah ini merupakan satu dari empat habitat tersisa lainnya yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), dan Kutai Barat di Kalimantan Timur.

“Perburuan tidak hanya menggunakan senjata, tapi juga jerat. Ini lebih berbahaya karena tidak bersuara, 24 jam menganga.”

Pada 2016, YABI melakukan pendataan populasi badak sumatera di TNBBS. Jumlah yang didapat kisaran 17 hingga 24 individu. Penghitungan ini berdasar jejak dan kotoran. Namun, saat verifikasi menggunakan uji genetik hasilnya meragukan. “Ternyata, 50 persen terkontaminasi tapir. WWF juga memasang kamera jebak di sana dan hasilnya tidak memuaskan. Ini menjadi keprihatinan bersama.”

Padahal, menurut sebuah perhitungan, jika ditemukan di bawah lima individu, badak sumatera mustahil melanjutkan keturunannya. “Karena terserak, tentunya frekuensi ketemu jantan dan betina sulit.”

Baca: Fokus! Jangan Pernah Lelah Menyelamatkan Badak Sumatera

 

Andatu di masa mendatang diharapkan tumbuh menjadi badak sumatera yang tangguh. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kondisi sedikit berbeda ada di TNGL. Habitat badak di taman nasional ini terbagi dua kawasan, barat dan timur. Sebagai gambaran, bila menggunakan analisis viabilitas populasi, jumlah badak dibawah 15 individu tidak mungkin lestari, jika dibiarkan berkembang sendiri. Bila dibawah 40 individu, masa depannya juga belum aman karena tergantung kemampuan berbiak. Sementara diatas 40 individu, ada kemungkinan kembali lestari dengan perlindungan penuh.

Widodo menuturkan, pelestarian badak sumatera butuh rencana aksi darurat. Untuk Leuser timur mau tidak mau harus membangun suaka badak. Sementara di Bukit Barisan Selatan dilakukan translokasi, dipindahkan ke breeding sanctuary. “Badak yang tersebar harus disatukan, supaya terjadi perkawinan.”

Model penyelamatan yang sama harus dilakukan untuk badak di Kalimantan Timur. Ditangkap dan dipindahkan ke sanctuary. Dengan kondisi semua ini, akan ada perlindungan penuh, manajemen pembiakan, dan taman nasional dikelola lebih maksimal. “Di Way Kambas walau sudah berhasil melahirkan bayi badak namun jumlahnya masih sedikit. Perlu ditambah lagi agar variasi genetiknya lebih bagus,” jelas Widodo.

Baca: Fakta Menarik, Mengapa Kehidupan Badak Harus Kita Jaga…

 

Delilah dan Ratu, sang induk. Saat ini, ada tujuh individu badak di SRS, Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Ancaman serius

Zulfi menambahkan, badak sumatera terus kehilangan tempat berkembang biak. Dua dekade terakhir, delapan habitatnya hilang di Pulau Sumatera. “Konversi lahan menjadi ancaman serius. Selain itu, hilangnya hutan dan gangguan tumbuhan invasif, yaitu mantangan, yang menutup hutan menjadi areal yang tidak bisa diakses badak. Tanaman gelam, yang tidak membiarkan tumbuhan lainnya tumbuh harus menjadi perhatian juga.”

Pastinya, perburuan menjadi ancaman laten semua jenis badak. Di Afrika pada 2017, setiap 8 jam ada 1 badak yang dibunuh demi culanya. Perburuan badak terakhir yang tercatat di Way Kambas, pada 2006. “Kita harus waspada.”

Ancaman perkembangbiakan badak juga berasal dari karakter satwa ini sendiri. Sifatnya yang soliter, pemakan daun selektif, membuatnya butuh habitat khusus. Satwa ini juga sensitif terhadap gangguan, dengan penciuman dan pendengaran yang tajam. “Laju reproduksinya lambat. Jarak antara kelahiran empat hingga lima tahun, sementara fase mengasuh anak dua hingga tiga tahun. Untuk masa kehamilan 15 hingga 16 bulan,” katanya.

Selain itu, badak sumatera memiliki ritual perkawinan. Mereka berkelahi kalau dipertemukan. Masa reseptif betina terhadap jantan hanya 24 sampai 48 jam. Sementara proses kopulasi/senggama bisa sejam. “Dua jantan badak sumatera yang kita amati menunjukkan hal serupa.”

Baca juga: Zulfi Arsan yang Tidak akan Pernah Bisa Melupakan Delilah

 

Gambaran kondisi badak sumatera saat ini yang dijelaskan oleh Direktur Eksekutif YABI, Widodo Ramono. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Pada badak betina dibutuhkan rangsangan dari luar untuk ovulasi. Ini cukup menyulitkan jika menginginkan model kawin suntik seperti sapi, misalnya. “Walau terjadi perkawinan sempurna yang diakhiri ejakulasi, betina tetap tidak ovulasi dan cenderung folikelnya membesar. Ancaman tumor terjadi pada betina, tapi tidak mengganggu birahi, hanya proses kehamilan.”

Populasi yang sedikit, terisolasi dan tidak bisa kawin, ditambah patologi pada saluran reproduksi betina, membuat program pengembangbiakan badak sumatera menjadi pekerjaan penuh tantangan. “Kalau kemampuan reproduksi hilang, (kepunahan) ini yang kita takutkan terjadi,” papar Zulfi.

Meski sulit, di Suaka Rhino Sumatera telah lahir dua anak badak yaitu Andatu (2012) dan Delilah (2016). Zulfi ikut membantu kelahiran Delilah, yang lahir dari induk bernama Ratu. “Ini secercah harapan bagi penyelamatan badak sumatera,” ujarnya.

 

Dua anak badak sumatera yang lahir di SRS menunjukkan keberhasilan konservasi badak di Indonesia. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Widodo pun mengajak semua pihak untuk peduli konservasi badak. Menyelamatkan badak sumatera tidak hanya hanya menyelamatkan satu spesies, tapi juga genus.

“Manusia menyebabkan badak sumatera mendekati kepunahan, tapi manusia juga bisa menyelamatkannya. Satwa ini telah berevolusi 50 hingga 60 juta tahun lalu. Kalau kita tidak bisa menyelamatkan, sangat berdosa rasanya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version