Mongabay.co.id

Pemerintah Aceh Menutup Rapat Data Pertambangan, Alasannya?

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues yang berbatasan langsung dengan hutan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Aceh telah menetapkan informasi publik yang dikecualikan, atau data yang tidak boleh diberikan kepada masyarakat. Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 065/962/2018 yang ditandatangani Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah tertanggal 27 Agustus 2018 menjelaskan, jenis informasi yang dikecualikan adalah pertambangan.

Informasi yang tidak boleh diberikan tersebut adalah data perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mengenai potensi, kualitas, dan kuantitas komoditas tambang.   Lalu, koordinat dan peta wilayah IUP, data pemegang saham perusahaan, pengeboran, cadangan mineral dan batubara, perencanaan tambang, areal proyek, kelayakan ekonomi tambang dan data lahan.

Berikutnya, data yang tidak boleh diberikan adalah kelayakan teknis pertambangan, bahan peledak, potensi sumber daya mineral dalam bentuk yang dapat langsung diedit atau diubah, serta daftar rencana kerja dan biaya perusahaan.

“Alasan atau hukum pengecualian ini berdasarkan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 pasal 17 huruf b, d dan j dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara pasal 88 ayat (1),” jelas Nova dalam surat itu.

Baca: Catatan Kritis Lingkungan Aceh untuk Sang Gubernur

 

Batubara yang diangkut kapal tongkang sebanyak 7 ribu ton berceceran di pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, awal Agustus 2018. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nova melalui Keputusan Gubernur Aceh menyebutkan, jika data tersebut dibuka dapat mengganggu perlindungan hak atas kekayaan intelektual, persaingan tidak sehat, dan mengungkap kekayaan alam Indonesia. Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan itu milik pemerintah, untuk mendapatkannya harus membayar kompensasi. “Keputusan berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila terjadi kekeliruan akan diperbaiki,” jelasnya.

Merespon hal itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, keputusan tersebut telah menutup hak informasi publik dan meruntuhkan semangat partisipasi publik dalam pembangunan.

“Beberapa data yang dikecualikan, sebenarnya data terbuka dan sudah mendapat yurisprudensi dari keputusan hukum di wilayah lain Indonesia. Sebut saja, peta dan koordinat wilayah IUP serta pemegang saham perusahaan,” urainya, Senin (5/11/2018).

 

Kondisi sungai di Geumpang, Pidie, Aceh, yang mengalami kerusakan akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Boyhaqie

 

Askhalani menilai, dengan dikecualikan sebagian besar data pertambangan, Pemerintah Aceh telah menghalangi masyarakat atau publik untuk berpartisipasi mengawasi pertambangan.   “Ini langkah mundur dengan tidak mengizinkan masyarakat.”

Dia menambahkan, data yang seharusnya terbuka tapi kemudian dibatasi memunculkan dugaan adanya kepentingan pihak tertentu. Khususnya, mengamankan kepentingan perusahaan.   GeRAK akan melakukan upaya hukum, untuk menjadikan data itu terbuka.

“Hal ini sangat berbahaya, karena masyarakat tidak bisa mengawasi kerja-kerja perusahaan di wilayah mereka,” terangnya.

Baca juga: Tidak Ada Tempat untuk Perusahaan Tambang Emas di Beutong!

 

Surat keputusan Gubernur Aceh mengenai informasi yang dikecualikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menutup akses

Mantan Komisioner Komisi Informasi   Aceh   (KIA), J Halim Bangun sependapat dengan GeRAK Aceh. Menurutnya, keputusan itu telah menutup akses masyarakat mengawasi pertambangan di tempat mereka.

“Misalnya, ketika masyarakat mengetahui batas wilayah IUP, mereka bisa memantau perusahaan yang beroperasi untuk tetap berkegiatan di arealnya.”

Halim mengatakan, data pertambangan itu merupakan data pemerintah, baik itu pusat maupun daerah, tergantung kewenangan. Jadi, untuk mendapatkannya tidak harus izin dari perusahaan.

“Pemerintah itu badan publik, dan data badan publik bisa diakses masyarakat. Jika data ditutup justru menimbulkan persaingan usaha dan tumpang tindih wilayah perusahaan satu dengan lainnya. Nantinya menimbulkan sengketa,” ujarnya, Senin (5/11/2018).

 

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues yang berbatasan langsung dengan hutan. Bentang alamnya sungguh indah. Jangan sampai keindahan alam ini hilang akibat ulah manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Alasanya lain, dengan menutupi informasi pertambangan akan melindungi potensi alam Indonesia, juga tidak relevan. Biasanya, aturan itu hanya untuk wilayah-wilayah yang belum terjamah.   “Tapi, kalau wilayah itu akan atau sudah dimiliki perusahaan, tidak masuk akal kalau masih ditutupi.”

Halim menyampaikan, masyarakat harus melakukan upaya sengketa informasi ke Komisi Informasi Aceh, agar lembaga ini bisa membatalkan informasi yang dikecualikan. “Bisa saja, pemerintah dalam melakukan pengawasan IUP tidak cukup maksimal. Dengan data pertambangan dibuka, masyarakat tentunya bisa membantu,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version