Mongabay.co.id

Memetakan Kerawanan Bencana Lokasi Sekolah

Hampir 300 orang siswa dan guru SMPN 5 Kubu, Karangasem, Bali, serentak keluar ruangan saat sirine tanda bahaya bergema. Mereka merunduk dan berlarian dari tiap kelas menuju dua titik kumpul, di halaman utama dan halaman samping.

Tas di atas kepala sambil lari dan melompati lantai cukup terjal. Waktu yang diperlukan sampai titik kumpul sekitar 50 detik. Kepala sekolah langsung mengabsen dengan memanggil nomor sesuai daftar hadir.

Bayangkan jika ratusan anak-anak dan guru sedang dalam ruang kelas, kemudian bencana seperti gempa atau erupsi memecah proses belajar. Orang tua tidak bisa seketika datang ke sekolah dan mengecek.

Namun, orang tua bisa terlibat agar anak-anak mendapat pengetahuan dan praktik siaga bencana. Juga mengetahui tingkat kerawanan lokasi sekolah. Hal ini disimulasikan pada sosialisasi Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang dilaksanakan tim Kelompok Keahlian (KK) Petrologi, Volkanologi, Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB) difasilitasi I am An Angel (IAA), sebuah komunitas sosial di Bali pada awal November 2018 di SMPN 5 Kubu. Sekitar 3 jam dari Kota Denpasar, sekolah ini berlokasi sekitar 12 km dari puncak Gunung Agung.

baca :  Mitigasi Bencana, Jangan Lagi Dipandang Sebelah Mata

 

Foto udara SMPN 5 Kubu, Karangasem, Bali, yang dipotret Tim ITB. Foto: Arsip ITB/Mongabay Indonesia.

 

Panik saat gempa dan mengungsi sudah pernah dirasakan warga Kubu sejak Gunung Agung dinyatakan Awas pada 22 September 2017 lalu. Sebagian warga mengungsi ke desa dan kabupaten lain sekitar 3 bulan. Guru meminjam sekolah lain untuk belajar mengajar.

Untuk memudahkan siswa dan guru mengevaluasi kerawanan sekolahnya, tim ITB menerbangkan drone untuk memotret sekolah dan sekitarnya. Didapatan foto-foto detail bagaimana tata letak sekolah, posisinya dengan jalur lahar dingin, kemiringan Gunung Agung, jarak laut, dan detail lainnya.

Dr. Asep Saepuloh dari ITB menyebut jarak lurus dari puncak gunung ke sekolah sekitar 12,7 km. Disimulasikan, jika gunung meletus dan mengeluarkan awan panas dengan kecepatan 150 km/jam (rata-rata kecepatan awan panas 300 km/jam) waktu yang diperlukan untuk evakuasi sekitar 4,8 menit saja. Jarak dari sekolah sampai melewati jembatan dengan sungai besar aliran lahar sekitar 1,2 km.

Jika terjadi peringatan tsunami, warga dan siswa tetap harus menuju ke lokasi lebih tinggi. Asep memberi rekomendasi sejumlah hal yang bisa dibenahi atau diwaspdai sebagai mitigasi, pengurangan dampak buruk. “Bisa membuat pintu darurat selain pintu gerbang sebagai jalur keluar masuk satu-satunya,” urainya. Mencegah limpasan lahar dingin, bisa dengan membuat tanggul.

Upaya penyelamatan diri dan pengurangan risiko yang bisa dilakukan adalah sosialisasi SSB dan melatih bagaimana cara penyelamatan yang aman. Sejumlah hal yang harus dipertimbangkan di antaranya akses masuk dan keluar yang aman termasuk untuk tempat pengungsian sementara bagi masyarakat saat bencana. Fasilitas sanitasi dan air bersih yang memadai, pemantauan, pendanaan dan pengawasan terus menerus untuk perawatan fasilitas dan keselamatan, serta rambu keselamatan memadai.

baca :  Mengakses Informasi Darurat Bencana yang Relevan

 

Tim ITB menerbangkan drone untuk merekam lokasi sekola dan situasi sekitarnya dan mematakan kerawanan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Tujuan SSB adalah mensosialisasikan konsep sekolah siaga bencana khususnya terkait bahaya letusan gunung api dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan respon terhadap bencana letusan gunung api (kerentanan). Kriteria pemilihan lokasi berdasarkan dampak yang dirasakan langsung oleh letusan Gunung Agung, tetapi masih dalam batas aman atau di luar zona awas. Sehingga kriteria sekolah dengan posisi terdekat dan teraman digunakan dalam penentuan mitra sekolah, selain kesediaan sekolah itu sendiri.

Bencana gunung api di Indonesia telah menjadi catatan buruk yang menimbulkan korban baik jiwa dan infrastruktur yang sangat banyak. Meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815, Gunung Krakatau pada tahun 1883, Gunung Agung pada tahun 1963, Gunung Galunggung pada tahun 1982, dan Gunung Merapi pada tahun 2010 menjadi catatan sejarah yang selalu dikenang oleh masyarakat Indonesia.

Komponen pendidikan siaga bencana ada beberapa pilar. Pertama adalah fasilitas sekolah aman. Meliputi desain dan pembangunan sekolah yang sesuai dengan aturan dan standar keamanan bangunan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan sekolah dan fasilitasnya pasca bencana dan melakukan perawatan sarana dan prasarana pendidikan.

Selain itu melakukan penataan ruang kelas agar aman di saat ancaman bencana terjadi, pengadaan fasilitas pendukung seperti adanya perlengkapan tanggap darurat di setiap ruangan seperti alat pemadam kebarakaran, tanda evakuasi, dan lainnya. Tidak lupa juga pengawasan secara berkala mengenai keamanan gedung sekolah.

Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Indonesia juga memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, 127 buah, beberapa di antaranya merupakan letusan gunung api terkuat yang pernah ada.

Selain mendemonstrasikan penyelamatan diri dan evakuasi ke tempat aman, siswa dan guru juga dilatih tim jurnalisme warga Balebengong mengenal berita bohong (hoaks) agar tidak mudah panik dan menyebar informasi salah.

baca juga :  Ketika Laut jadi Alternatif Transportasi Mitigasi Bencana

 

Tim teater mitigasi bencana SMPN 3 Bebandem, Karangasem, Bali merespon kesiapsiagaan dan mengampanyekan siaga bencana untuk siswa. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Teater mitigasi bencana

Sekelompok siswa di SMPN 3 Bebandem, Karangasem, Bali memiliki cara untuk mengingat dan melatih pengetahuan mitigasi bencana. Mereka membuat teater siaga bencana bertajuk Alam Guru Abadi. Sekolah ini pada September lalu juga jadi lokasi sosialisasi Sekolah Siaga Bencana oleh ITB.

Lokasi sekolah berdampingan dengan sungai Tukad Mbahapi, dinamakan demikian karena jalur lahar dingin dan lava di letusan sebelumnya. Saat hujan deras, air penuh material pasir dan batu juga bisa berisiko bencana jika meluap.

Murid dan gurunya sekitar 365 orang juga pernah mengungsi ke sejumlah lokasi, sekolah terpencar-pencar mengikuti lokasi mengungsi orang tuanya. Pengalaman mengungsi inilah menjadi inspirasi lahirnya teater yang memperlihatkan kesedihan seorang anak mengungsi dan pindah sekolah. Ia dihibur teman-temannya sampai semangat menghadapi bencana dengan membekali diri dengan pengatahuan dan simulasi.

“Teater itu seru, tidak bikin jenuh,” urai Bawa dan temannya soal pilihannya merespon cara mendekatkan istilah mitigasi bencana ini ke pelajar.

Exit mobile version