Mongabay.co.id

Burung Air Makin Terancam, Ini Penyebabnya…

Burung air jenis tikusan merah (Porzana fusca) yang terpantau di Wonorejo. Foto: Alfa Hardjoko

 

Burung air terus terancam karena habitat tergerus dan perburuan marak. Hadi Sukadi Alikodra, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Institut Pertanian Bogor (IPB) lakukan penelitian tertuang dalam buku berjudul “Konservasi Burung Air-Perjuangan Melawan Kepunahan.”

Baca juga: Burung Migran dan Kecemasan Lingkungan di Sembilang

Dia lakukan peneltiian di Pantai Utara Indramayu-Cirebon dan Rawa Gelam Sungai Muning di Tapin, Kalimantan Selatan. Pemilihan kedua wilayah ini karena itu daerah penting bagi kelestarian burung air baik menetap, maupun migrasi.

“Kedua wilayah ini di luar suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Terbuka bagi siapapun mengubah habitat dan seringkali dengan cara melanggar tata ruang,” katanya di Jakarta, Oktober lalu.

Kedua wilayah ini, katanya, merupakan daerah perburuan burung baik rawa maupun pantai hingga keberadaan makin sulit. Wilayah itu juga tempat singgah bagi spesies migran. Meski Pemerintah Indramayu dan Tapin mendukung pembangunan ekowisata, tekanan pembangunan di kedua wilayah itu juga relatif tinggi.

“Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang terus menekan dan mengubah rawa dan pantai jadi pemukiman, perkebunan dan pertanian,” kata Hadi.

Burung-burung air di Pantura Indramayu-Cirebon dan Rawa Gelam Muning, katanya, jadi obyek perburuan warga sekitar. Setidaknya, ada 12 jenis burung air, lima jenis burung rawa yang diburu penduduk sekitar Rawa Gelam Sungai Muning.

“Mereka berburu burung air karena berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi. Upaya perlindungan dan pelestarian burung air belum jadi perhatian masyarakat dan pemerintah daerah,” katanya, seraya sebutkan beberapa jenis burung buruan, seperti gajahan (Numenius spp) dan jenis-jenis kuntul (Egretta spp).

“Jika praktik perburuan terus berlangsung seperti saat ini, akan sangat mengancam keberlanjutan spesies burung air,” katanya.

Selain itu, katanya, ancaman lain mengintai keberadaan burung air, seperti pencemaran perairan yang meracuni rawa dan perairan pantai karena penggunaan pestisida, intektisida dan merkuri.

Baca: Burung Air, Kenapa Harus Disensus?

Pengeboran minyak lepas pantai, kecelakaan pipa minyak bawah laut, lalu lintas kapal laut dan tanker menyebabkan makin terakumulasi pencemaran minyak di perairan pantai. Kondisi itu, katanya, menyebabkan sistem biologi burung air terganggu. Ancaman kenaikan suhu bumi juga berpengaruh besar terhadap keberlangsungan burung air.

“Kondisi ini secara keseluruhan sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan kesehatan lingkungan hingga sangat berdampak dan mengubah kehidupan burung air. Terutama pola pergerakan musiman dan pergerakan harian spesies migran,” katanya.

 

Status terkini burung air di Indonesia. Grafis: Wetlands International Indonesia

 

Di Rawa Gelam Sungai Muning, dampak kebakaran hutan dan lahan hebat pada 2015 sangat terasa. Pohon, sarang, tempat bersembunyi , dan pohon tidur burung air terbakar habis.

Perhatian peneliti bagi spesies burung air, katanya, masih sangat kurang. Selama ini, para peneliti lebih banyak fokus spesies burung pantai. Penelitian burung rawa di pedalaman masih sangat kurang. Hal ini, katanya, membuat edukasi kepada masyarakat sekitar juga kurang.

Padahal, katanya, walau sensitivf terhadap perubahan lingkungan, burung air bermanfaat sebagai pengendali hama.

Berbagai penelitian sebelumnya, kata Hadi, membuktikan populasi burung air terus menurun. Pada 2009, di Saemangeum, Korea Selatan, tempat selama ini jalur migrasi burung air kedidi besar (Calidris tenuirostris) dari Siberia menuju Australia, populasi berkurang 20%. Penyebabnya, ada reklamasi di sepanjang Pantai Saemangeum.

Sebelumnya, wilayah itu hamparan lumpur luas dan sangat produktif menyediakan pakan burung-burung bermigrasi.

Dia bilang, kelestarian burung air sangat berkaitan dengan kecukupan kuantitas dan kualitas habitat. Saat ini, katanya, sangat sulit mendapatkan lingkungan ideal bagi kehidupan burung air, kecuali di kawasan suaka dan pelestarian alam.

“Tekanan sangat tinggi terhadap rawa dan pantai karena pertumbuhan manusia dan pembangunan sangat pesat, merupakan penyebab utama makin tinggi ancaman kelestarian burung air,” katanya.

Di Pantura Indramayu-Cirebon, saat ini secara terbatas masih mampu mendukung kehidupan burung air. Namun, katanya, kalau tak ada perlindungan dan pelestarian, kondisi akan makin mengkhawatirkan.

Saat ini, hanya di beberapa lokasi di Indramayu-Cirebon masih bisa terlihat burung air, seperti hutan mangrove Karang Song, hutan mangrove Tambak Desa Rambatan (Indramayu), dan jalur-jalur sempit mangrove yang tumbuh di tepi-tepi sungai berlumpur terkena pasang surut air laut seperti di Desa Bungko, Cirebon.

“Di rawa-rawa Kalsel khusus Rawa Gelam Sungai Muning sedang mengalami kerusakan serius. Banyak menjadi sawah, pemukiman dan kebun sawit.”

“Pohon gelam ditebang masyarakat untuk cerucuk bangunan, rumput-rumput rawa jadi bahan kerajinan rakyat. Memancing ikan rawa juga sangat intensif. Jika tak diatur tepat, fungsi lahan basah dan rawa tidak mampu lagi mendukung kehidupan burung air secara optimal,” kata Hadi.

 

Burung pantai migran di Waigeo. Foto: Andhy PS/FFI-IP

 

Dia menyebut, 75% lahan basah Rawa Gelam Sungai Muning jadi lahan kering. Kondisi kehidupan burung air baik migran maupun non migran makin mengalami kesulitan.

Perubahan musim tanam padi, katanya, juga berpotensi pada kebiasaan dan pergerakan baik harian maupun musiman burung pantai ataupun rawa. “Pergeseran musim global berdampak terhadap kondisi bio ekologi setempat. Berpotensi mengancam wilayah jelajah dan pergerakan burung air.”

Selain perubahan tata ruang, perburuan masif juga ancaman kelestarian burung air. Menurut Hadi, perburuan burung air sangat masif di Pantura Indramayu-Cirebon. Ia banyak ditemui di Desa Bungko dan Pegagan, Cirebon.

Secara geografis, Desa Bungko merupakan desa pantai, Desa Pegagan satu kilometer dari garis pantai.

“Asal desa pemburu burung air makin meluas ke desa-desa lain, seperti Desa Kapetakan, Karang Kendal, Singakerta, Krangkeng, Dukuh Jati, Srengseng, dan Kedokan Bunder. Bahkan hingga pesisir Jawa Tengah.”

Makin lama, katanya, para pemburu makin paham dengan perilaku burung air. “Kapan waktu datang burung, pakan kesukaan, tempat berlindung dan bersembunyi, serta tempat sarang,” katanya.

Masyarakat, katanya, berburu burung air karena kebutuhan ekonomi. Penghasilan cukup tinggi. Buruh, berkisar Rp75.000-Rp125.000 per hari. Kalau berburu burung air semalam, bisa dapat Rp105.000-Rp158.000.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015 menyebut, luas kawasan konservasi 27, 429 juta 99 hektar, terdiri dari konservasi perairan 5.320.929 hektar dan konservasi daratan 22.108.630,99 hektar. Meski demikian, katanya, kehidupan burung air lebih banyak di luar konservasi. Habitatnya, kerapkali beralihfungsi untuk penggunaan lain.

 

Pencegahan

Untuk itu, katanya, perlu upaya pencegahan perburuan burung air. Caranya dengan pendekatan sosial budaya dan ekonomi yang rasional. Juga perlu meningkatkan produktivitas perairan rawa dan pantai yang terus merosot karena pencemaran, vegetasi rawa dan pantai hilang.

“Perlu juga restorasi pantai dan muara-muara sungai berlumpur, terkena pasang surut dan berkadar garam dengan vegetasi hutan mangrove. Juga restorasi rawa gelam dengan tumbuhan asli.”

Dia juga menyarankan, mengembangkan budidaya penangkaran jenis burung mandar batu dan belibis kembang hingga perburuan di alam bisa berkurang.

“Perlu membangun dan mengembangkan ekowisata di Muara Cimanuk dan Rawa Gelam Sungai Muning secara berkelanjutan.”

Wiratno, Dirjen Konservasi Sumber Daya dan Ekosistemnya (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, akan terus sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat di berbagai daerah dengan bersama-sama berbagai pihak.

“Perlu kesadaran bersama mengelola kawasan konservasi. Terutama masyarakat sekitar harus mendapatkan manfaat. Bisa dengan mengembangkan ekowisata bird watching, riset, survei masyarakat lokal harus ikut,” katanya.

Dia sadar, perburuan burung air ini masih banyak. “Kita akan terus mendorong sosialisasi seluruh sampai tingkat bawah,” katanya.

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Ramsar sejak 19 Oktober 1991 melalui Keputusan Presiden Nomor 48/1991. Di Indonesia, ada tujuh lokasi situs Ramsar, yakni Taman Nasional Berbak (Jambi), TN Sembilang (Sumatera Selatan), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Jakarta), Danau Sentarum bagian TN Betung Kerihun (Kalimantan barat), TN Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), TN Wasur (Papua), dan TN Tanjung Puting (Kalimantan Tengah).

Wiratno bilang, pemantauan burung air rutin oleh KLHK setiap bulan Januari. Kegiatan itu, katanya, melibatkan berbagai peneliti, pengamat burung, sukarelawan dan mitra terkait.

Pada 2016, pemantauan burung air pada 16 provinsi di Indonesia dan dua provinsi Timor Leste. Saat pemantauan itu, katanya, burung air terpantau ada 88 jenis (45%) dari jenis yang ada di Indonesia.

Jenis burung kuntul kerbau (Bubulcus ibis)., katanya, jenis paling banyak terpantau, disusul kuntul kecil (Egretta garzetta) dan kowakmalam abu (Nyticorax nyticorax).

Selain wilayah perlindungan burung air, katanya, Indonesia juga penting bagi jalur terbang 121 jenis burung air bermigrasi dari bagian benua utara ke selatan. “Komitmen Indonesia melindungi jalur burung terbang ini dinyatakan dengan bergabung ke dalam Kemitraan Jalur Burung Terbang Asia-Australia atau EAAF.”

Wiratno mengatakan, dua lokasi burung air bermigrasi juga sudah ditetapkan, yakni Taman Nasional Sembilang dan Taman Nasional Wasur. Selain itu, ada juga 40 lokasi penting jalur terbang lain yang perlu pengamatan dan perlindungan.

 

Keterangan foto utama;  Burung air jenis tikusan merah (Porzana fusca) yang terpantau di Wonorejo. Foto: Alfa Hardjoko

Pencemaran. Beberapa burung migran terkena tumpahan minyak di perairan sekitar Pelabuhan Benoa, Bali. Foto: Yuyun Yanwar
Exit mobile version