Mongabay.co.id

Produksi Perikanan Budidaya untuk Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Isu dampak perubahan iklim saat ini sudah bukan lagi menjadi perbincangan yang terbatas. Semua sektor kehidupan, secara bertahap sudah melibatkan isu tersebut dalam pengembangan konsep masing-masing. Tak terkecuali, pada sektor kelautan dan perikanan yang juga sudah melibatkan isu tersebut dalam pengembangan produksi secara nasional.

Hal itu ditegaskan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto di Jakarta pekan lalu. Menurut dia, pelaksanaan produksi menjadi fokus dari KKP untuk semua sektor yang menjadi wewenang, termasuk perikanan budidaya yang dalam beberapa tahun terakhir semakin memperlihatkan kemajuannya.

“Sekarang ini bagaimana menggenjot produktivitas di tengah tantangan penurunan daya dukung dan perubahan iklim global seperti saat ini,” ucapnya.

Untuk itu, Slamet mengatakan, dalam melaksanakan produksi, perikanan budidaya berusaha untuk selaras dengan program Pemerintah yang sedang melaksanakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dengan cara seperti itu, dia meyakini kalau perikanan budidaya tidak akan terkena dampak negatif akibat perubahan iklim, dan sebaliknya justru menjadi positif.

“Upaya yang dilakukan, adalah dengan melaksanakan produksi perikanan yang ada di darat dan laut dengan prinsip berkelanjutan,” tuturnya.

baca :  Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Keramba budidaya ikan napoleon dan ikan kerapu di Pulau Sedanau Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ikan napoleon dijual Rp1,2 juta per ekor dan kerapu Rp300 ribu per ekor. Perikanan menjadi sektor ekonomi utama di Natuna. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Menurut Slamet, upaya untuk menggenjot produksi perikanan budidaya, menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan pangan nasional dari sektor kelautan dan perikanan. Akan tetapi, upaya tersebut saat ini sedang mendapat gangguan karena adanya ancaman dampak perubahan iklim yang sedang menerjang seluruh dunia.

Ancaman itu, dinilai akan bisa menurunkan produktivitas dan juga ketersediaan sumber daya air dan lahan. Padahal, kedua item itu diketahui menjadi faktor penentu keberhasilan produksi komoditas di kelautan dan perikanan. Bagi Slamet, permasalahan tersebut harus dicarikan solusi yang efektif dalam pelaksanaannya.

“Terlebih, Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) utamanya pada goal kedua, yakni pengentasan kelaparan,” jelasnya.

 

Produksi Berkelanjutan

Slamet menyebutkan, karena ada tanggung jawab yang besar untuk Indonesia, maka dalam pencarian solusi yang efektif, perlu dipertimbangkan berbagai faktor, terutama tentang pengembangan produksi dengan tetap berlandaskan pada prinsip berkelanjutan. Cara tersebut, diharapkan bisa memecahkan persoalan pemenuhan pangan, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia.

Di antara upaya yang bisa dilakukan, menurut Slamet, adalah dengan membuat inovasi produksi perikanan budidaya yang berkelanjutan dengan berlandaskan pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Cara seperti itu, bisa dipertimbangkan, karena di masa mendatang perikanan budidaya diprediksi akan menjadi andalan dunia untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

baca :  Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?

 

Hamdani, kepala bagian pembesaran PT Bali Barramundi, Buleleng, Bali pada Kamis (10/5/2018) memberikan pakan pada ikan budi daya di keramba. Perusahaan itu telah menerapkan prinsip Seafood Savers untuk perikanan berkelanjutan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

“Kalau kita lihat data FAO (lembaga pangan dunia PBB) dan prediksi akuakultur ke depan, maka sudah saatnya kita melakukan inovasi teknologi akuakultur berkelanjutan yang berbasis mitigasi perubahan iklim,” ungkapnya.

Dengan melakukan inovasi, Slamet berkeyakinan bahwa produksi perikanan budidaya akan tetap berjalan normal dan bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional dan dunia. Kemudian, di saat yang sama juga dampak dari perubahan iklim bisa tetap dikendalikan oleh seluruh negara di dunia, utamanya adalah Indonesia.

“Saya rasa ini jadi pekerjaan rumah kita, dan harus memulai dari sekarang,” tegasnya.

Dampak perubahan iklim yang diprediksi akan masuk ke semua sektor kehidupan, menurut Slamet, memang sudah diprediksi oleh KKP dan karenanya sudah disiapkan berbagai langkah untuk mengatasi dampak tersebut. Termasuk, menghadapi tantangan dari sektor perikanan budidaya yang juga terkena dampak dari perubahan iklim.

Untuk itu, KKP mendorong kepada semua pembudidaya ikan untuk bisa melaksanakan produksi demi terwujudnya pemenuhan pangan dengan menerapkan prinsip berkelanjutan. Dan, salah satu yang bisa mendorong terwujud tujuan tersebut, adalah dengan membuat inovasi yang bisa mewujudkan peningkatan produksi sekaligus beradaptasi dan mitigasi dengan dampak perubahan iklim.

Adapun, Slamet menyebutlan, inovasi yang bisa dilakukan adalah dengan mengadopsi teknologi mutakhir untuk perikanan budidaya. Seperti:

  1. Penerapan integrated multitrophic aquaculture (IMTA);
  2. Pengembangan teknologi bioflok yang memungkinkan peningkatan produktivitas tinggi, ramah lingkunganan efisien dalam penggunaan lahan dan sumber daya air;
  3. Pengembangan sistem minapadi;
  4. Pengembangan recirculating aquaculture system (RAS) atau close system yang mampu menggenjot produktivitas hingga 100 kali lipat, efisien dalam penggunaan air dan lahan;
  5. Teknologi ultrafine bubble oxygen yang mampu meningkatkan produktifitas; dan
  6. Mendorong pengembangan budidaya ikan lokal seperti papuyu, belida, tawes, semah, gabus, ikan batak, dan jenis lokal lainnya.

baca :  Mina Padi, Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Menekan Perubahan Iklim. Seperti Apakah?

 

Delegasi negara-negara anggota FAO melepaskan benih ikan saat mempelajari sistem minapadi di Sukoharjo, Jawa Tengah. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Inovasi Teknologi

Deretan inovasi yang disebutkan di atas, menurut Slamet, bisa menyelamatkan sub sektor perikanan budidaya di Indonesia dari keterpurukan akibat terkena dampak dari perubahan iklim. Inovasi-inovasi tersebut, menjadi langkah yang strategis bagi Indonesia untuk mendorong terwujudnya pemenuhan pangan dengan prinsip berkelanjutan.

“Inovasi-inovasi teknologi semacam inilah yang akan terus kita dorong dan diaplikasikan di masyarakat secara massif, sehingga tantangan berkaitan dengan penurunan daya dukung dan perubahan iklim ini dapat diantisipasi sejak dini,” katanya.

Lebih lanjut, Slamet memaparkan tentang strategi kebijakan dalam upaya melaksanakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan lingkungan global terhadap usaha akuakultur. Menurut dia, ada empat langkah yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk bisa mengendalikan situasi di saat dampak perubahan iklim tidak bisa dibendung.

Keempatnya adalah, pengelolaan akuakultur melalui pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach for Aquaculture), asuransi pembudidaya ikan sebagai bagian dari langkah adaftif dari sisi ekonomi, pengembangan teknologi akuakultur yang adaptif dan berbasis mitigasi, dan penentuan zonasi akuakultur yang tepat sebagai langkah adaptasi yang penting dalam mengantisipasi perubahan iklim.

“Saya kira itu yang akan kita dorong mulai saat ini. Kita semua memiliki tanggungjawab bersama dalam mecukupi kebutuhan pangan masayarakat dunia,” tandas dia.

Slamet kemudian membeberkan, berdasarkan data FAO, sampai dengan 2021 mendatang diperkirakan tingkat konsumsi ikan dunia per kapita bisa mencapai 19,6 juta ton per tahun. Angka tersebut diprediksi akan naik lagi pada 2030 menjadi 22,5 ton per tahun. Kenaikan tersebut diprediksi akan memacu peningkatan produksi perikanan budidaya hingga mencapai 172 juta ton.

Akan tetapi, di sisi lain FAO juga mempediksi, hingga 2030 nanti, kontribusi perikanan budidaya terhadap kebutuhan perikanan dunia diperkirakan akan naik lagi hingga mencapai 58 persen dari total kebutuhan dunia. Dengan demikian, kontribusi perikanan budidaya akan menjadi dominan di masa mendatang. Terlebih, FAO memprediksi pada 2050 mendatang penduduk bumi sudah mencapai9,7 miliar jiwa.

baca juga :  Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?

 

Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia sendiri, KKP merilis data bahwa pada 2019 mendatang tingkat konsumsi ikan diproyeksikan bisa mencapai 50 kilogram per kapita per orang. Angka tersebut, menjelaskan bahwa suplai pangan untuk perikanan akan sangat bergantung pada perikanan budidaya. Diprediksi, pada 2019 mendatang 60 persen dari total kebutuhan ikan nasional akan dipasok dari perikanan budidaya.

“Jadi, tantangannya adalah, bagaiman mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dunia, khususnya Indonesia di tengah permasalahan penurunan daya dukung lingkungan dan perubahan iklim secara global. Satu-satunya cara, adalah dengan menyediakan pangan secara berkelanjutan,” pungkas dia.

 

Exit mobile version