Mongabay.co.id

Palembang Banjir, Tidak Mengejutkan. Apa yang Harus Diperbaiki?

 

Palembang banjir, bukan sesuatu yang mengejutkan. Bahkan, jika pemerintah maupun masyarakat Palembang tidak mengubah perilakunya dalam menata lingkungan, beberapa tahun ke depan sebagian wilayah Palembang bukan tindak mungkin tenggelam.

Hujan deras yang turun pada Senin dan Selasa (12-13/11/2018), membuat sebagian besar wilayah Palembang tergenang air. Genangan air pada wilayah tertentu, yang mencapai satu meter, terlihat di Jalan R Sukamto atau di sekitar Hotel Al-Furgon hingga Palembang Trade Center (PTC) Mall, serta kawasan Sekojo, Sekip, Kalidoni, Gandus, Lemahbang, Plaju, dan Jakabaring.

Dampaknya, aktivitas warga terganggu, terutama saat berkendaraan. Di rumah, warga sibuk membuat bendungan di pintu, membersihkan dan menjemur perabotan, dan bahkan pelajar diliburkan karena sekolahnya terendam.

“Ini menunjukkan pembangunan tidak sesuai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan ada pelanggaran tata ruang,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Sumatera Selatan, Kamis (15/11/2018).

“Kondisi ini juga dikarenakan minimnya ruang terbuka hijau (RTH), menyebabkan terganggunya sistem distribusi air. Serta, banyak daerah resapan air telah ditimbun,” lanjutnya.

Baca: Jakabaring Palembang, Kisah Perubahan Rawa Gambut dan Harapannya

 

Kendaraan menerobos banjir di jalan Sudirman KM 7 Palembang, Sumatera Selatan (12/11/2018). Memasuki musim penghujan banyak genangan air di jalan protokol Palembang. Foto: Nopri Ismi

 

Dijelaskan Sobri, berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya 30 persen dari luas kota. Saat ini, RTH di Palembang hanya 3.645 hektar dari kewajiban seluas 10.756 hektar.

Luas Palembang sekitar 35.855 hektar, sebagian besar topologi lahan basah atau rawa. Saat ini, tersisa 2.372 hektar luasan rawanya. Dengan kondisi tersebut Palembang harusnya memiliki 77 kolam retensi, tapi sekarang baru ada 26 kolam.

“Jika pemerintah berorientasi solusi, perhatian harus pada penyebab banjir. Aspek-aspek lingkungan perkotaan seperti perluasan RTH, pemulihan rawa yang tersisa, perbaikan drainase dan kolam retensi harus dilakukan. Pemerintah juga harus memastikan tidak ada lagi proses pembangunan tanpa KLHS dan AMDAL,” jelasnya.

Dengan konsisi sekarang, tidak mengejutkan jika Palembang banjir saat hujan datang. “Pembangunan harus mempertimbangkan aspek lingkungan,” urai Sobri.

Amiruddin Sandy, Kepala Bagian Humas Pemerintah Palembang, seperti dikutip Sriwijaya Post mengatakan penyebab banjir di Palembang sebagai dampak tersumbatnya saluran air di sejumlah wilayah karena tumpukan sampah. Termasuk pula box culvert yang rusak dan pecah akibat pembangunan LRT, yang saat ini tengah diperbaiki pemerintah Palembang. Ditambah pula, kurangnya kolam retensi.

Baca juga: Banjir di Palembang Belum Berlalu, Mengapa Begitu?

 

Seorang anak berjalan di genangan banjir di jalan Rawajaya KM 3.5 Palembang, Sumatera Selatan, Senin (12/11/2018). Buruknya saluran drainase membuat sering terjadi banjir di permukiman warga. Foto: Nopri Ismi

 

Camat, Lurah hingga RT harus peduli

Perilaku masyarakat Palembang yang tidak peduli dengan kawasan resapan air dan drainase juga menjadi penyebab kota tertua di Indonesia ini selalu banjir.

Zulvan, penggiat lingkungan di Palembang menyatakan, banyak aliran sungai di Palembang yang ditimbun atau dipersempit menjadi parit atau kawasan rawa ditimbun menjadi rumah, toko dan lainnya. “Akibatnya air yang biasa mengalir lancar, kini terhambat dan tergenang,” katanya, Kamis (15/11/2018).

Menghadapi keadaan ini, pemerintah kota Palembang harus menginstruksikan camat, lurah, hingga ketua RT, untuk menertibkan bangunan liar. Mereka yang tidak memiliki parit diwajibkan membuat saluran air.

“Kondisi ini diperburuk dengan rusaknya kawasan hutan di hulu sehingga air hujan tidak tertampung. Juga, rusaknya rawa gambut di pesisir yang menyebabkan tidak ada resapan atau penahan air laut, sehingga begitu mudah masuk ke daratan,” jelas aktivis yang sering melakukan pemetaan hutan di Sumatera Selatan.

 

Warga menunggu air surut yang membanjiri rumahnya di Jalan Rawajaya KM 3.5 Palembang, Sumatera Selatan (12/11/2018). Foto: Nopri Ismi

 

Bagaimana respon warga Palembang terkait usulan tersebut? “Itu bagus, tapi apa mau pejabat pemerintah melakukan penertiban? Pembangunan yang dilakukan pemerintah saja seperti membuat saluran pipa air dan gas tidak ada pemantauan, banyak jalan dan parit rusak,” kata Basri, warga Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan.

“Namun, banjir yang terjadi setiap tahun, termasuk tahun ini, semoga membuat hati dan pikiran mereka terbuka,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version