Mongabay.co.id

Informasi ke Masyarakat dan Skema Pembiayaan Listrik Surya Atap Masih Minim

Modul surya di atas carport di kediaman Bambang Sumaryo. Foto: dari buletin Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM

 

 

Sebuah survei pada masyarakat kelas menengah atas di wilayah Jabodetabek menunjukkan informasi ke masyarakat maupun dukungan perbankan mengenai energi listrik surya atap masih minim.

Baca juga: Menanti Aturan Listrik Surya Atap

Astiti Suhirman, direktur bisnis perusahaan riset pasar Kantar TNS memaparkan, hasil survei terhadap 500 responden kelas menengah atas di Jabodetabek dengan karakteristik tipe rumah minimal 45 dan daya listrik 1.300 watt atau 2.200 watt.

Dalam survei itu, 30% responden tertarik membeli, sisanya tak berminat karena harga mahal dan pengetahuan masyarakat soal informasi listrik surya atap masih rendah.

Ada 10 faktor pertimbangan masyarakat membeli solar panel, antara lain, 45% terkait harga instalasi terjangkau, 37% bisa mengurangi biaya listrik PLN, 33% faktor pemeliharaan.

”Sebanyak 30% tertarik membeli, saat kita beritahu harga instalasi solar panel hanya 20% tertarik. Saat kita perlihatkan harga itu dengan manfaat, keinginan membeli naik lagi jadi 30%,” katanya. Adapun, harga beli alat listrik surya atap Rp15.000.000 per satu kilo watt (KW).

Responden yang tak tertarik membeli energi surya atap karena harga mahal, masih banyak tak yakin ada layanan setelah pembelian, dan kurang percaya teknologi ini.

”Jadi 30% target market kami, potential buyer saat ini, hanya 2% benar-benar early adopter dengan harga dan manfaat yang kita tawarkan. Pengikut awal 11%.” Sebagian besar warga berharap, produk lokal dan ada dukungan pemerintah.

Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, KESDM sedang menyiapkan peraturan menteri soal surya atap.

”Peraturan sedang didiskusikan internal. Kami sudah public hearing, sudah mendapatkan masukan dari stakeholder,” katanya, seraya bilang, regulasi akan beri kemudahan dan insentif kepada berbagai pihak, seperti sektor rumah tangga, komersial, sosial, dan pemerintah. Namun, katanya, industri tak boleh memasang panel surya.

Soal batas kapasitas memasang panel surya, tak melebihi 90% daya listrik dari PLN. Kalau kapasitas 10.000 watt, boleh memasang 9.000 watt. Terakhir, soal menghitung transaksi listrik dari pembangkit itu ke PLN.

Dari tahun ke tahun, katanya, tren global harga listrik tenaga surya makin murah. Bahkan, turun jauh, dari Rp100 juta, kini Rp14 juta-Rp18 juta per satu kilowatt. ”Di Indonesia harga listrik tenaga surya turun jadi US$3 sen hampir Rp500 per KW.”

 

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto: dari buletin Kementerian ESDM

 

Minim dukungan lembaga keuangan

Andhika Prastawa, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia mengatakan, Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap perlu dukungan lembaga keuangan, terutama perbankan dengan kredit untuk pembelian alat.

Baca juga: Dorong Pengembangan Listrik Surya Atap, Berikut Masukan kepada Pemerintah

Berdasarkan riset Kantar TNS, 65% responden menginginkan pembelian cara kredit, termasuk pada operation and maintenan services (O&M Services) dan skema kredit tenor 1-3 tahun. Juga perlu peningkatan pengetahuan dan informasi pembangkit listrik atap surya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, ada potensi permintaan besar dari masayrakat, hanya perlu dukungan edukasi dan produk pembiayaan yang diperlukan.

Selain itu, perlu ada inovasi dan peluang pembiayaan baru agar gerakan ini berkembang luas. Hingga kini, baru ada satu lembaga perbankan yang memberikan kredit solar panel atap, yakni, BPRS Lantabur Tebuireng di Jawa Timur.

”Akadnya jual beli. Prinsip jaminan nasabah ini akan serius dan memenuhi kewajiban. Kita tinggal atur DP (uang muka-red) untuk pembelian peralatan,” kata Muhammad Ghozi, Direktur Utama BPR Syariah Lantabur Tebuireng.

Dia mengatakan, solar panel ini energi terbarukan dan keperluan masa depan. BPRS pun memberikan simulasi pembiayaan untuk rumah 4.400 watt dengan tagihan Rp2 juta per bulan. Pembeli memasang PV surya atap 2.000 WP biaya Rp40 juta dengan angsuran Rp1,5 juta per bulan jangka waktu tiga tahun dan Rp 1,1 juta per bulan jangka waktu lima tahun.

”Setelah pasang PV surya atap, tagihan PLN jadi Rp1 jutaan, penghematan Rp1 jutaan bisa untuk angsuran,” katanya.

Menanggapi ini, kata Andhika, sangat mungkin diikuti bank lain. “Simulasi BPRS menunjukkan penghematan tadi bisa untuk membayar pinjaman, penghematan dari rekening listrik. Dalam waktu lima tahun membayar pinjaman, setelah lima tahun bukan sekadar bebas, dapat listrik gratis.”

Adapun, alat listrik surya panel memiliki jaminan dari pabrik bisa bertahan hingga 25 tahun. Setelah 20 tahun, kemungkinan kinerja penyerapan energi matahari, berkurang, hanya 4-5%.

Harris bilang, regulasi akan mempertimbangkan panel surya diminati perbankan. ”Kami masih merumuskan skema pembiayaan seperti apa.”

Komitmen pemerintah dalam Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap diharapkan mampu memberikan kontribusi 6,4 gigawatt pada 2025. Hingga kini pemanfaatan energi matahari melalui surya atap baru 2% atau 90 megawatt.

Menurut Fabby, pengembangan energi terbarukan di Indonesia, masih lambat. Dari bauran energi terbarukan 23% pada 2025, realisasi baru 7%.

 

Keterangan foto utama:    Modul surya di atas carport di kediaman
Bambang Sumaryo. Foto: dari buletin EBTKE, Kementerian ESDM

 

Panel surya atap. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version