Mongabay.co.id

Pelaku Penangkapan Ikan Ilegal Pakai Modus Baru di Indonesia?

Di tengah keberhasilan Pemerintah Indonesia melaksanakan penegakan hukum di atas laut, terungkap fakta baru berkaitan dengan aktivitas illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) yang dilakukan oleh kapal ikan asing (KIA). Modus baru pelanggaran hukum Indonesia itu, dilakukan hampir semua KIA yang ditangkap setahun terakhir ini.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan tentang fakta tersebut saat memberi keterangan resmi kepada publik di Jakarta, akhir pekan lalu. Modus tersebut berhasil diungkap, setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui tim Satuan Tugas Pemberantas Penangkapan Ikan secara Ilegal atau Satgas 115 menangkap 267 KIA sejak pertengahan 2017 hingga November 2018.

Menurut Susi yang juga Komandan Satgas 115, penemuan berbagai modus baru pelanggaran tersebut, menegaskan bahwa upaya untuk mencuri ikan dari perairan Indonesia tidak pernah berhenti dilakukan oleh KIA. Modus tersebut, digunakan di seluruh kapal yang berlayar di berbagai wilayah perairan di seluruh Indonesia.

“Di antara modus yang digunakan, adalah penggunaan flag of convenience (FOC),” ungkapnya.

baca :  Penegakan Hukum di Atas Laut Sudah Berjalan Baik?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang juga Komandan Satuan Tugas Pemberantas Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) di Jakarta, Kamis (22/11/2018) menyampaikan hasil kinerja Satgas 115 sejak pertengahan tahun 2017 hingga November 2018. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

FOC artinya penggunaan bendera di negara yang akan dilayari oleh kapal ikan dan izin tersebut diterbitkan oleh pemilik kebijakan yang justru berada di luar Indonesia. Modus tersebut, dinilai sudah mengecoh banyak orang dan juga aparat pemerintah Indonesia di lapangan.

Modus lain yang juga mulai banyak digunakan oleh KIA saat berlayar di perairan Indonesia, lanjut Susi, adalah penggunaan dokumen palsu sertifikat pendaftaran untuk kapal yang akan digunakan. Modus tersebut dikenal juga dengan sebutan false claim dan saat ini sudah banyak digunakan KIA yang melakukan IUUF di Indonesia.

Modus berikutnya yang sudah mulai digunakan KIA yang berlayar di Indonesia, kata Susi, adalah dengan mempekerjakan anak buah kapal (ABK) dari negara lain dan tanpa melampirkan dokumen perizinan yang lengkap sesuai yang disyaratkan. Lalu, ada juga yang menggunakan modus dengan tidak melaporkan jenis dan jumlah ikan yang benar di atas kapal atau fraud landing.

Tak lupa, Susi juga menyebutkan banyak kapal yang melakukan penangkapan ikan, baik KIA atau KII (kapal illegal Indonesia) dengan menggunakan bahan peledak dan memanfaatkan pelayaran tersebut untuk melakukan penyelundupan barang terlarang seperti narkoba. Modus-modus seperti itu, saat ini mulai menjadi modus biasa yang dilakukan kapal pelanggar.

baca :  Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

 

Kapal FV STS-50 yang merupakan buronan Interpol karena melakukan IUU Fishing dilabuhkan di Pelabuhan Sabang, Aceh setelah ditangkap pada Kamis (5/4/2018) di perairan tenggara Pulau Weh, Sabang, Aceh oleh Satgas 115, KKP, TNI AL dengan Interpol dan LSM internasional. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Efek Jera

Secara keseluruhan, selain 267 KIA yang ditangkap dalam setahun terakhir, Satgas 115 juga menangkap 366 KII di sejumlah wilayah perairan. Dengan demikian, total ada 633 kapal pelaku IUUF yang berhasil ditangkap Satgas 115 selama kurun waktu setahun terakhir.

Selain menangkap, Susi mengatakan, pada periode yang sama tim Satgas 115 juga berhasil menangani 134 kasus IUUF dan 41 kasus di antaranya sudah mendapatkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, sebanyak 488 kapal pelaku IUUF juga berhasil ditenggelamkan berdasarkan penetapan dan atau putusan pengadilan.

Dengan keberhasilan itu, Susi menyebut bahwa kinerja Satgas 115 sudah baik. Tetapi, dia tidak mau kedatangan kapal-kapal pelaku IUUF tetap terjadi dan bahkan terus bertambah jumlahnya. Dia berharap, dengan penangkapan setahun terakhir dan penenggelaman kapal-kapal pelaku IUUF, bisa menjadi efek jera bagi pemilik kapal di seluruh dunia.

“Kita berharap demikian. Malah, tidak ada lagi yang harus kita tangkap. Tapi, rupanya begitu musim angin baik, musim ikan datang, (tetap) masih ada yang mencoba beberapa kali,” ucapnya.

Satgas 115 juga berhasil menangkap kapal FV STS-50 yang merupakan buronan internasional karena melakukan kejahatan perikanan di berbagai negara. Satgas 115 telah membentuk working group yang terdiri dari beberapa negara untuk menindaklanjuti temuan-temuan dari investigasi kapal FV STS-50.

Working group ini diinisiasi melalui Regional Investigative and Analytical Case Meeting (RIACM) yang diselenggarakan di Jakarta pada 4–5 Juli 2018. Saat ini, kasus tersebut telah selesai dan sedang menunggu permohonan untuk dikabulkan oleh Kementerian Keuangan. Rencananya, kapal STS 50 ini akan digunakan sebagai alat kampanye anti IUUF keliling di seluruh pelabuhan-pelabuhan Indonesia.

baca :  Indonesia Taklukkan Penjajah ‘Laut’ di Sabang

 

Kapal FV STS-50 yang merupakan buronan Interpol karena melakukan IUU Fishing ditangkap aparat keamanan Indonesia Kamis (5/4/2018) di perairan tenggara Pulau Weh, Sabang, Aceh. Foto : ccamlr.org/Mongabay Indonesia

 

Selain menangkap kapal pelaku IUUF, di periode yang sama Satgas 115 juga berhasil melaksanakan operasi pembersihan rumpon (fish aggregating device/FAD) ilegal yang ditanam di bawah perairan Indonesia. Dalam operasi itu, Satgas 115 berhasil menemukan 60 rumpon ilegal di perairan Laut Seram, Provinsi Maluku.

Meski jumlah yang ditemukan hanya 60 rumpon, namun Susi menduga masih sangat banyak rumpon yang belum ditemukan di bawah perairan Indonesia. Dia berani menyebut, jumlahnya bisa mencapai sedikitnya sepuluh ribu rumpon dan itu didasarkan pada data satelit terakhir yang diterima KKP dan Satgas 115.

Menurut Susi, penggunaan rumpon menjadi persoalan besar yang harus diselesaikan segera. Hal itu, karena prinsip kerja rumpon adalah mengumpulkan ikan-ikan untuk berkeliaran di wilayah ujung dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan karenanya itu adalah pencurian ikan dekat dari perairan Indonesia. Selain merugikan secara ekonomi, rumpon juga merusak ekologi perairan Indonesia.

“Dengan menepinya ikan-ikan di batas perairan kita, itu (sudah) merusak ekologi. Walaupun betul sekarang ikan sudah banyak, tapi alangkah lebih bagus lagi kalau kita bisa mengangkat rumpon yang dipasang oleh asing,” tegasnya.

Dengan dampak buruk yang ditimbulkan, Susi menyebut bahwa pihaknya akan menjadikan program pembersihan rumpon ilegal sebagai salah satu fokus kerja di masa mendatang. Dengan tidak ada rumpon, maka kelestarian alam di laut bisa tetap terjaga dan pada akhirnya prinsip perikanan berkelanjutan juga bisa terwujud.

baca :  Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia?

 

Salah satu contoh alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon. Sumber : pusluh.kkp.go.id

 

Industri Perikanan

Sementara, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan berpendapat, apa yang dilakukan Pemerintah selama empat tahun terakhir dalam mengusir pencuri ikan dari perairan Indonesia, patut diapresiasi. Upaya yang dilakukan dengan memberi sanksi seperti penenggelaman kapal itu, dinilai sudah berhasil memberi efek jera kepada para pemilik kapal asing yang biasa melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

“Dengan kebijakan tersebut, pelaku perikanan ilegal berpikir dua kali untuk kembali memasuki perairan Indonesia,” ucapnya.

Akan tetapi, Abdi mengingatkan, setelah mengusir, sebaiknya Pemerintah membuat rencana dan strategi pengelolaan perikanan melalui pembangunan industri perikanan. Pembangunan industri perikanan nasional diperkirakan bisa menyerap 3,8 juta penduduk Indonesia yang bekerja dari industri perikanan dari hulu ke hilir.

Dengan membangun industri perikanan, Abdi menyebutkan, ada semangat Nawacita yang diaplikasikan dan itu dilaksanakan dalam bentuk pembangunan di daerah pinggiran yang bertujuan untuk mengurangi disparitas infrastruktur perikanan di Jawa dan luar Jawa. Semangat Nawacita itu, termaktub juga dalam Peraturan Presiden No.3/2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

“Agar itu bisa terwujud, maka perlu ada skala prioritas pembangunan infrastruktur perikanan di luar pulau Jawa. Selain itu, memperkuat kelembagaan nelayan, melengkapi regulasi pengelolaan perikanan dan melancarkan transportasi perhubungan,” jelasnya.

Abdi memaparkan, di dalam Perpres No.3/2017, terdapat 5 program dan 28 kegiatan yang harus dilakukan secara strategis dan intensif oleh berbagai kementerian. Beberapa amanat Perpres tersebut yang saat ini pelaksanaannya sangat lamban, yaitu pembangunan 4.787 kapal ikan berukuran di bawah 30 gros ton (GT) oleh Pemerintah dan 12.536 kapal ikan diatas 30 GT oleh swasta.

Kemudian, amanat berikutnya adalah pembangunan sistem rantai dingin di 31 lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), penambahan jumlah pelabuhan ekspor hasil perikanan melalui penetapan bandara dan pelabuhan laut untuk ekspor di 20 lokasi SKPT, serta 3000 usaha kecil menengah (UKM) perikanan yang berbadan hukum koperasi.

Dari semua amanat yang terkandung dalam Perpres, Abdi menyebutkan, Pemerintah inkonsisten dalam pelaksanaan SKPT yang berdampak pada keterlambatan pembangunan infrastruktur perikanan. Selain itu, juga inkonsisten dalam penguatan kelembagaan nelayan di beberapa lokasi prioritas seperti Saumlaki (Maluku), Biak (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara), dan Mimika (Papua).

 

Exit mobile version