Mongabay.co.id

Menilik Eksploitasi Alam Papua Setelah 17 Tahun Otonomi Khusus

Hutan Papua, berubah wujud, antara lain jadi kebun-kebun sawit.

 

 

Dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua, Bab 19, mengatur tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Sayangnya, sudah 17 tahun UU Otsus berjalan, tak mampu membendung eksploitasi sumber daya alam Papua, malah makin menggila. Orang Papua sendiri jadi penonton, penikmat terbesar korporasi. Mengapa?

 

Bertempat di ruang rapat Sasana Krida Kantor Gubernur Papua, Basaria Panjaitan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan sambutan pada September lalu.

“Harapan kita untuk hutan (Papua), hanya satu-satunya sekarang. Sumatera sudah habis. Apalagi Jawa. Saya tidak tau apakah Jawa masih ada hutan atau tidak. Sulawesi, Kalimantan juga sudah habis. Bahkan di Papua ini baru. Yang lama habis. Kalau yang baru juga kita habiskan, ya habis. Itu sebabnya kita utamakan masalah hutan di Papua,” katanya.

Hari itu, awal September 2018, KPK bersama berbagai instansi pemerintah di Papua, adakan monitoring dan evaluasi atas impelentasi rencana aksi Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Papua.

Hadir pejabat Gubernur Papua beserta sekda dan para kepala dinas, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua, Kapolda Papua, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta lima bupati dari daerah prioritas yaitu Merauke, Keerom, Jayapura, Sarmi, Nabire dan Yahukimo.

“Berulang kali kita ada di sini ternyata tidak jalan juga, mau tidak mau kita naik ke tahap kedua, tahap penindakan bapa ibu semua. Tapi kita tidak mau yang ini. Akan lebih baik tim pencegahan membenahi mana yang kurang daripada nanti tim lidik yang bergerak diam-diam dan dicopot,” katanya.

Dia menekankan, yang mendapatkan dana otonomi khusus jadi atensi KPK. “Aceh dan Papua jadi atensi KPK.”

Tim pencegahan KPK menemukan, berulangya kasus pencurian kekayaan alam karena dua hal, pertama, aparat termasuk penegak hukum tak peduli, kedua, aparat terlibat di dalam kasus-kasus itu.

Data KPK menyebutkan, hingga 2017, di Papua, terdapat 40 izin hak pengeloaan hutan (HPH), 249 izin pertambangan luas 5.848.513 hektar dan 56 izin pelepasan kawasan hutan 1.291.240 hektar.

Untuk kehutanan, KPK menemukan marak praktik illegal logging. Di Kabupaten Sarmi, saja, ada 100 meter kubik kayu beredar tiap hari. Potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan dana bagi hasil (DBH) hilang berturut-turut Rp 13, 140 miliar dan Rp4, 204 miliar pertahun.

Modus mereka, katanya, antara lain pengusaha mengatasnamakan masyarakat pemilik ulayat menebang kayu, lalu pemilik ulayat dapat kompensasi. Kayu-kayu ini disebut ilegal karena asal tidak jelas dan tak memiliki izin penebangan.

 

Mobil beserta kayu sitaan di Halaman Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

KPK menemukan, kayu-kayu ini lolos dalam pengangkutan dengan membayar sejumlah uang di pos-pos pemeriksaan hasil hutan yang dilakukan TNI, polisi, masyarakat adat dan Dinas Kehutanan. Kayu-kayu ilegal ini jadi legal dengan dokumen surat keterangan sah hasil hutan kayu oLahan (SKSHH-KO) dan faktur angkut dari tempat penampungan terdaftar (TPT). Kayu lalu dikirim melalui ekspedisi ke Pelabuhan Port Numbay, Jayapura ke Surabaya.

Untuk pertambangan, ada 103 izin pertambangan di Papua, 69 berstastus clean and clear (CnC) dan 34 non CnC. Dari 69 terdapat 50 aktif dan 19 habis masa berlaku. Semua IUP masih sebatas eksplorasi. Jadi, katanya, hasil tambang yang keluar dari Papua saat ini dipastikan ilegal.

Laporan Direskrim Polda Papua menyebutkan, tambang-tambang liar menyebar di Nabire, Paniai hingga Yahukimo. Potensi kerugian negara juga tinggi. Namun, pengusaha-pengusaha tambang membayar masyarakat setempat yang membela pengusaha tambang liar ini ketika berhadapan dengan hukum. Saat pertemuan berlangsung, Polda Papua sedang menangani empat kasus tambang ilegal di Nabire.

 

 

Tambang di hutan lindung dan konservasi

Selain ilegal, banyak tambang di Papua berada dalam kawasan lindung dan konservasi. Data Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Lingungkan Hidup (KLHK) menyebutkan, dari seluruh izin usaha tambang, kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKPPB) di Papua, terdapat 28 perusahaan seluas 324.342,23 hektar dalam kawasan konservasi dan 77 perusahaan 1.409.976,15 hektar dalam hutan lindung.

Untuk perkebunan, KPK menemukan tumpang tindih hak guna usaha sawit dengan perizinan lain. Tumpang tindih HGU sawit dengan izin pertambangan 35.000 hektar, dengan HPH seluas 27.054 hektar dan kubah gambut 20.955 hektar. Data perkebunan sawit juga masih menyebar di kabupaten, provinsi dan pusat.

Untuk perikanan dan kelautan, Papua, masih tahap penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Saat rapat ini, penyusunan masih menunggu surat keputusan dan anggaran.

KPK menyimpulkan, dua persoalan pengelolaan sumber daya alam di Papua, yakni, pertama, tata kelola buruk, kedua penegakan hukum lemah.

 

Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Hutan hancur, air tercemar. Mudah-mudahan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, bergabung menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlindungan terhadap alam dan lingkungan lebih kuat. Struktur yang dibuat pun bisa menjawab penyelesaian masalah-masalah lingkungan, termasuk lingkungan di kawasan  hutan. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

 

 

Perdasus tak jalan

Pada 21 November 2018, genap 17 tahun perjalanan otonomi khusus Papua. Dengan status otsus, Pemerintah Papua memiliki kewenangan khusus mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

UU Nomor 21/2001 ini mengatur antara lain tentang perekonomian, perlindungan hak-hak masyarakat adat, dan pembangunan berkelanjutan maupun lingkungan hidup. Atas dasar ini, Pemerintah Papua membentuk sejumlah peraturan provinsi dan peraturan daerah khusus.

Perdasus-perdasus terkait yang sudah disahkan antara lain, Perdasus Nomor 6/2008 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup, Perdasus Nomor 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua. Lalu, Perdasus Nomor 22/ 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat di Papua dan Peraturan Daerah Khusus Nomor 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Meski sudah sah perdasus-perdasus ini tidak berjalan.

Dalam pertemuan dengan KPK, Pemerintah Papua, diwakili Asisten II Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat, Noak Kapisa, menyampaikan, beberapa persoalan.

Antara lain, UU Otsus Papua namun kebijakan pengelolaan sumber daya alam nasional tak mempertimbangkan kekhususan Papua. Selain itu, persepsi masyarakat adat bahwa seluruh tanah dan hutan di Papua, merupakan tanah adat sisi lain mereka tak memiliki akses mengelola sumber daya alam secara legal dan berkelanjutan.

 

 

Kontribusi ke daerah sangat rendah

Hal sama disampaikan Foker LSM Papua Regio Utara dalam rilis kepada media. Nico Wamafma dari Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT-PPMA) Papua menyebutkan, sepanjang otsus di Papua, politik pengelolaan sumberdaya alam lebih berpihak korporasi.

Padahal, katanya, otsus dibuat dalam semangat afirmasi demi keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang adat Papua sebagai subyek dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka terlibat semua tahapan dan proses pembangunan. “Terutama memanfaatkan potensi kekayaan alam agar bermanfaat dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup,” katanya.

Hal sama disampaikan Aish Rumbekwan dari Walhi Papua. Dia bilang, meski ada otsus, pemerintah daerah maupun pusat masih menutup akses legal masyarakat adat mengelola dan menikmati sumber alam. Padahal, katanya, akses legal itu amanat UU Otsus dan ada dalam bentuk perdasus.

“Ini menunjukkan, pemerintah melihat otsus hanya bertumpu pada besaran uang namun tak mengubah kehidupan masyarakat. Ini kegagalan membangun orang Papua.”

 

Tampak pipa-pipa dan galian dari aktivitas tambang emas di hutan Korowai. Foto: dukumen warga dari Facebook

 

GNPSDA KPK bersama pemerintah di Papua, katanya, akan sia-sia, tanpa memberikan askses legal kepada masyarakat adat atau pemilik ulayat.

“Sebenarnya, pengusaha masuk tidak tebang sendiri tapi atas izin masyarakat. Kalau kita ingin agar masyarakat tak langgar aturan, berikan akses legal supaya tidak langgar aturan. Bisa makan baik dan penuhi kebutuhan,” katanya.

Sisi lain, izin-izin pemerintah tidak memiliki kontribusi signifikan baik terhadap penerimaan Papua maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan beroperasi.

Foker LSM menggunakan data Laporan Realisasi Anggaran (LRA) 2017 yang menunjukkan, setoran kehutanan, dana bagi hasil dari iuran hak pengusahaan hutan Rp615,81 juta, dana bagi hasil dari provisi sumber daya hutan Rp6,39 miliar. Lalu dana bagi hasil dari dana reboisasi Rp14,93 miliar.

Sektor pertambangan menunjukkan, dana bagi hasil iuran tetap (land-rent) hanya Rp3,61 miliar dan dana royalti Rp129,63 miliar. Bahkan perusahaan sawit begitu marak di Papua, kontribusi hanya dari pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp1,03 miliar.

Jadi, begitu banyak perusahaan kehutanan, pertambangan dan perkebunan tak berbanding lurus dengan besaran penerimaan Papua. Data Badan Pusat Statistik 2017 menunjukkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan sangat tinggi, 27,76% atau 901.195 jiwa.

 

 

***

Otsus Papua berlatarbelakang sejarah panjang konflik antara rakyat Papua dengan Indonesia. Sejak lepas dari Belanda dan masuk dalam kolonialisme Indonesia, tuntutan penentuan nasib sendiri terus muncul.

Bersamaan rezim orde baru runtuh di Indonesia, suara tuntutan makin kuat. Pada 26 Februari 1999, tim 100 terdiri 100 orang perwakilan rakyat Papua menemuki Presiden Indonesia, BJ. Habibie. Mereka menuntut pemisahan dengan tiga alsasan utama, Papua Barat masuk ke Indonesia secara ilegal, warga Papua Barat jadi korban kejahatan kemanusiaan tentara Indonesia. Juga Pemerintah Indonesia mengabaikan hak-hak warga Papua atas pembangunan sosial, ekonomi dan kultural.

Di bawah Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, muncul tawaran otsus. Otsus lalu disahkan pada Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, lewat UU No 21 Tahun 2001.

Disebutkan, bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Papua, selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, dan belum memungkinkan kesejahteraan rakyat tercapai. Juga belum sepenuhnya mendukung penegakan hukum, penghormatan HAM, terutama orang Papua.

Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Papua belum optimal untuk meningkatkan taraf hidup orang Papua hingga terjadi kesenjangan antara Papua dan daerah lain. Belum lagi pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Untuk itulah, perlu memberikan otsus bagi Papua yang akhirnya keluar lewat Undang-undang. Selain kewenangan, otsus juga memungkinkan Pemerintah Papua, mendapat dana besar. Dana otsus untuk Papua dari 2002-2018 mencapai Rp76,22 triliun.

 

Keterangan foto utama:   Hutan Papua, berubah wujud, antara lain jadi kebun-kebun sawit. Foto: dari Mighty, SKP-KAM Merauke, Yayasan Pusaka, dan Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan.

 

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia
Sekitar 20 orang Papua, datang ke Jakarta, menyampaikan protes hutan adat terancam kebun sawit. Mereka desak, pemerintah cabut izin. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version