Mongabay.co.id

Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Ramai-ramai Gugat Pemerintah

Protes warga kepada Pemerintah Jakarta, yang tak berupaya serius memperbaiki kualitas udara yang buruk. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

Kualitas udara Jakarta, buruk dan membahayakan kesehatan warga. Berbagai elemen masyarakat menyampaikan notifikasi gugatan warga kepada pemerintah di Balai Kota Jakarta. Mereka menunggu balasan selama 90 hari, kalau tidak ada respon, bakal lanjut ke pengadilan.

 

Mendung tak menyurutkan puluhan pegiat lingkungan berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (5/12/18). Rintik hujan mulai turun. Mereka hendak bersepeda dari Bundaran HI menuju Balai Kota Jakarta. Tiga dari mereka mengenakan baju serba oranye, khas petugas kebersihan. Di atas sepeda mereka, terpasang berbagai jenis poster.

“Bersihkan Udara Ibukota.” Wajah mereka tertutup masker. Sebelum mengayuh pedal sepeda, mereka terlebih dulu membentangkan spanduk. Aksi mereka kontras dengan deru berbagai jenis kendaraan lalu lalang memadati pusat Ibukota. Macet di pagi hari jelang jam masuk kantor, tak terhindari.

“Bersihkan udara Jakarta!” pekik salah satu dari mereka.

“Sekarang juga!” jawab pesepeda lain.

Setelah itu mereka ke Balai Kota Jakarta. Tujuan ke sana untuk menyampaikan surat notifikasi gugatan warga (citizen law suit). Mereka resah dengan se kualitas udara Kota Jakarta, makin buruk. Beberapa pihak akan mereka gugat, seperti Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa barat.

Baca juga: Bakal Perburuk Kualitas Lingkungan, Koalisi Tolak Pembangunan Enam Ruas Tol Jakarta

Inayah Wahid, puteri Presiden Indonesia IV, Abdurahman Wahid ikut jadi salah satu penggugat. Dia bilang, polusi udara Jakarta, sudah sangat mengkhawatirkan.

“Kami peduli. Kami meminta pemerintah serius menangani polusi udara hingga tak memakan korban terutama masyarakat,” katanya.

Kedatangan ke Balai Kota Jakarta adalah untuk menyampaikan surat notifikasi gugatan CLS. Sesuai aturan, tergugat CLS terlebih dahulu mengirimkan notifikasi gugatan. Dalam waktu 90 hari agar tergugat bisa merespon tuntutan penggugat. Kalau mencapai kesepakatan, gugatan hukum tak jadi dilakukan. Kalau tidak, gugatan masuk ke pengadilan negeri.

“Sebenarnya, yang diharapkan upaya-upaya jelas dan fokus melakukan sesuatu atas pencemaran udara yang mengkhawatirkan. Jangan sampai sudah gawat, baru dilakukan sesuatu,” katanya.

Penyanyi Melanie Subono juga ambil bagian sebagai penggugat. Dia bilang, andai bernafas dengan baik saja sudah tak jadi hak manusia, sama saja pemerintah membunuh massal masyarakatnya.

Baca juga: Udara Jakarta Buruk Berisiko bagi Atlet Asian Games

Warga lain yang turut jadi penggugat seperti Anwar Ma’ruf, Hermawan Sutantyo, Nur Hidayati, Kholisoh, Tubagus Soleh Ahmadi, Sudirman Asun, Ohiongyi Marino, dan Merah Johansyah. Lalu, Leonard Simanjuntak, Asfinawati, Elisa Sutanudjaja, Sandyawan Soemardi, Yuyun Ismawati, Sonny Mumbunan, Jalal, Ari Muhammad dan Adhito Harinugroho.

Alasan mereka menggugat antara lain, mereka menganggap pemerintah lalai dalam penanggulangan pencemaran udara. Menurut mereka, 10.374.235 penduduk Jakarta dan sekitar 28 juta warga di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, selama ini dirugikan karena kualitas udara buruk Jakarta.

 

Inayah Wahid, dan belasan warga lain maju sebagai penggugat pemerintah karena udara Jakarta, buruk. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Ahmad Syafrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal mengatakan, presiden tak kunjung merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Menteri Lingkungan dan Kehutanan, katanya, tak memberikan pembinaan dan atau bimbingan teknis bagi Jakarta guna penaatan baku mutu emisi kendaraan bermotor lama.

Selain itu, katanya, KLHK tak gunakan kewenangan mengevaluasi penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama. Padahal, terdapat cukup bukti ada permasalahan serius dalam penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama di daerah–sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PermenLH No 5/2006.

Menteri LHK, kata Puput, sapaan akrabnya, tak mengoordinasikan pengawasan terhadap kualitas bahan bakar, terutama dalam memastikan ketaatan standar konten timbal dan sulfur dalam bahan bakar. Ia diatur Pasal 31 dan 32 PP Nomor 41/1999.

Dia menilai, Menteri LHK belum mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran udara lintas batas, menetapkan kebijakan nasional tentang pengendalian pencemaran udara lintas batas. Juga mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dalam pengendalian pencemaran udara lintas batas sesuai aturan Pasal 63 ayat (1) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Lemah upaya perbaiki kualitas udara

Leonard Simanjuntak, Direktur Eksekutif Greenpeace Indonesia mengatakan, udara Jakarta tak sehat terlihat dari indikator kunci seperti PM2,5 rata-rata harian lebih dari baku mutu bisa ditolelir kesehatan manusia.

Berdasarkan alat pemantau kualitas udara Jakarta, konsentrasi rata-rata tahunan untuk parameter ozon (O3), PM10 dan PM2,5 selalu terlampaui.

Dalam catatan alat pemantau kualitas udara Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, pada Januari-Oktober 2018, Jakarta Pusat udara tidak sehat 206 hari untuk parameter PM2,5. Di Jakarta Selatan, kualitas udara buruk 222 hari. Alat pemantau juga mencatat partikel PM2,5 lebih 38 µg/m³ bahkan mencapai 100 µg/m³ pada hari-hari tertentu. Batas aman PM2,5 dihirup manusia sesuai standar WHO yaitu 25 µg/m.³

“Angka di atas 100, ini menandakan bahaya.”

 

 

Pemerintah, katanya, harus jalankan tugas sesuai perintah Undang-undang dan peraturan. “Kita sudah identifikasi apa dan dimana selama ini abai, misal, uji berkala emisi kendaraan lama, gak ada.”

Gugatan kepada Menteri Dalam Negeri, karena dianggap tak membina dan mengawasi Gubernur Jakarta, Banten, dan Jabar dalam urusan pengendalian pencemaran.

Gugatan kepada Menteri Kesehatan dilayangkan karena dianggap lalai menjamin ketersediaan lingkungan yang bebas udara tercemar hingga menimbulkan gangguan kesehatan. Juga tak memberikan perhitungan penurunan dampak kesehatan karena pencemaran udara oleh Pemerintah Jakarta, Banten, dan Jabar.

Lalu gugatan kepada Gubernur Jakarta karena dianggap tak pernah uji emisi berkala terhadap kendaraan bermotor lama. Juga tak jalankan kewajiban hukum mengumumkan hasil uji emisi minimal satu tahun sekali kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik. Juga tak lakukan pengawasan dan penegakan hukum menyeluruh terhadap sumber tak bergerak yang mengeluarkan emisi.

“Gubernur Jakarta , Banten dan Jabar, tak menginventarisasi emisi dan menetapkan status mutu udara ambien di daerah masing-masing,” katanya.

Pemerintah daerah ini juga tak mengendalikan pencemaran udara melalui penyusunan dan implementasi strategi maupun rencana aksi terfokus dan terukur. “Belum mempertimbangkan kondisi meteorologis dan geografis dalam mengendalikan sebaran pencemar di wilayah administrasi ke provinsi lain,” kata Margaretha Quina, peneliti Indonesia Centre for Environmental Law.

Dia bilang, tindakan yang diambil hanya upaya biasa, tidak didisain berdasarkan tren data, inventarisasi emisi dan rencana aksi terfokus. “Pastinya tren akan makin memburuk dari tahun ke tahun.”

Pembangunan Jakarta, katanya, terus bertumbuh. Kendaraan setiap tahun bertambah, daerah industri di Jabar dan Banten, yang mengepung Jakarta juga berkembang.

“Kalau gak ada mitigasi yang baik, pasti tak akan bisa diperbaiki.”

Dia menuntut pemenuhan aturan. Pertama, penegakan hukum baik mobil-mobil sumber bergerak, maupun sumber tak bergerak seperti pabrik-pabrik industri termasuk pembangkit listrik. Kedua, menetapkan strategi dan rencana aksi pemulihan kualitas udara—ada dalam Undang-undang. Ketiga, ada mekanisme koordinasi antara Pemerintah Jakarta dengan Banten dan Jabar.

Dia juga meminta, presiden segera merevisi PP 41/1999 soal pengendalian pencemaran udara.

Pada 2006, WHO mengeluarkan pedoman tentang baku mutu udara ambien yang cukup protektif bagi kesehatan. Seharusnya, kata Quina, baku mutu ambien udara di Indonesia juga mengikuti standar WHO.

 

Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Yuyun Ismawati dari Bali Fokus mengatakan, tergerak ambil bagian karena peduli dengan kesehatan bayi dan balita. Selama ini, mereka paling rentan pencemaran udara.

“Saya punya cucu masih enam bulan. Ketika menjemur cucu jadi khawatir. Saya tinggal di Jakarta Pusat.”

Yuyun menuntut, pemerintah membuat kebijakan dan menerapkan standar ketat untuk beberapa parameter pencemaran udara. Juga monitoring terus menerus dan kebijakan lebih berkelanjutan untuk membatasi kendaraan bermotor.

“Menjamin kualitas udara sesuai standar kan membutuhkan banyak upaya. Persoalan menetapkan standar itu satu hal. Kemudian mengeluarkan kebijakan dan menjalankan supaya bisa mencapai standar ini, itu perjuangan.”

Dia meminta, Jakarta bekerjasama lebih erat lagi dengan Banten dan Jabar. Karena pencemaran udara di Jakarta, bukan hanya dari daerah ini sendiri.

“Presiden harus lebih serius lagi menyuruh, memerintahkan pembantu-pembantunya. Menteri dan gubernur itu kan pembantu presiden. Jadi Menteri LHK, Menteri Kesehatan, Mendagri, supaya berkoordinasi lebih baik lagi supaya hak hidup sehat. Hak untuk mendapatkan udara segar itu dijamin negara,” katanya.

Tuntutan mereka, kata Yuyun, sebenarnya ringan, tak ada tuntutan ganti rugi. “Jadi, tanpa ada gugatan ini pun sebenarnya harus dilakukan pemerintah tapi ini kan tidak dilakukan.”

 

Keterangan foto utama:   Protes warga kepada Pemerintah Jakarta, yang tak berupaya serius memperbaiki kualitas udara yang buruk. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Aksi pegiat lingkungan dan organisasi masyarakat sipil yang mengajukan notifikasi gugatan warga di pemerintah di Balai Kota Jakarta, Rabu (15/12/18). Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version