Mongabay.co.id

Mendorong Pembangunan Berbasis Ekologi dalam RPJMD Sulsel, Seperti Apa?

Proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan tahun 2018-2023 menjadi momentum sejumlah LSM berbasis lingkungan hidup untuk memberi masukan, sebagai upaya dalam mendukung pembangunan berbasis ekologi di Sulsel.

Tema ini mengemuka pada kegiatan Workshop Pengarusutamaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Sulsel yang diselenggarakan oleh Sulawesi Community Foundation (SCF) di Hotel Four Point, Makassar, asal Desember lalu.

Awaluddin, Program Manager di SCF, menyatakan bahwa dalam penyusunan RPJMD Sulsel ini Forum Civil Society Organization (CSO) memberikan tujuh rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi ini disusun berdasarkan hasil Lokakarya CSO terkait Isu Strategis Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan pada 22-23 November 2018 lalu, yang melibatkan 27 Lembaga yang terdiri dari CSO dan Pemerintah.

“Rekomendasi ini sebagai bentuk konfirmasi, verifikasi dan validasi, yang kemudian disampaikan kepada Tim Percepatan Pembangunan Daerah dan Bappeda Sulsel,” katanya.

baca :  Lima Rekomendasi untuk Pembangunan Pesisir dan Laut di RPJMD Sulsel

 

Workshop Pengarusutamaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Sulsel yang diselenggarakan oleh Sulawesi Community Foundation (SCF) di Hotel Four Point, Makassar, Rabu (5/12/2018), menjadi momentum LSM lingkungan hidup ‘warna’ untuk RPJMD Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ketujuh rekomendasi itu adalah, pertama, agar Perhutanan Sosial menjadi bagian dari kegiatan prioritas pembangunan bidang kehutanan.

“Selain sebagai upaya mewujudkan reforma agraria dan perhutanan sosial dalam mendukung penyelesaian konflik tenure, perluasan wilayah kelola rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan,” jelasnya.

Perhutanan Sosial diharapkan berkontribusi pada Misi 3 RPJMD, karena terbukti dapat mengembangkan pertumbuhan ekonomi baru dan juga berkontribusi pada Misi 5, terutama dalam memperkuat daya dukung lingkungan hidup dan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Rekomendasi kedua menurut Awaluddin, terkait keterbukaan informasi, yang diharapkan menjadi prasyarat penting pembangunan di Sulawesi Selatan, khususnya di bidang lingkungan hidup. Membuka data terkait perizinan usaha dan AMDAL merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan partisipasi publik di samping untuk pencegahan korupsi.

“Di samping itu, aspek tata kelola pemerintahan perlu menerapkan keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan daerah,” tambahnya.

Rekomendasi ketiga terkait kebijakan anggaran untuk pengelolaan lingkungan hidup, yang diharapkan melakukan terobosan baru melalui penerapan skema Transfer Anggaran Berbasis Ekologis (TAPE), yang mengedepankan capaian kinerja sebagai basis penilaiannya.

“Melalui skema ini, kebijakan alokasi dana transfer ke kabupaten dan kota dengan didasarkan pada indikator aspek ekologi dan inklusi.”

baca juga :  Sulawesi Alami Krisis Ruang, Tambang Mendominasi

 

Terdapat dua pabrik semen di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, yaitu PT Bosowa dan Tonasa. Selain itu terdapat puluhan izin pertambangan lainnya yang berpotensi mengganggu keberlangsungan ekosistem karst. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi keempat, Pemprov Sulsel diharapkan membangun kemitraan dengan KPK, ombudsman, instansi penegak hukum dan masyarakat sipil dalam menyelamatkan sumber daya alam.

“Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, bebas korupsi, transparansi dan hukum menjadi instrumen keadilan bagi segenap lapisan masyarakat maka perlu membangun sinergi dengan semua komponen penegakan hukum,” tambah Awaluddin.

Rekomendasi kelima terkait arah kebijakan pembangunan infrastruktur yang inklusif dengan mempertimbangkan aspek ekologis atau infrastruktur hijau (Green Growth Development).

“Rekomendasi ini berkontribusi pada Misi 2, karena pada banyak kasus pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan faktor ekologi.”

Rekomendasi keenam terkait penerapan skema investasi hijau sebagai dasar kebijakan dalam mendukung pusat pertumbuhan ekonomi baru, termasuk pengembangannya tidak tumpang tindih dengan kepemilikan lahan masyarakat.

“Dalam penetapan kawasan pertumbuhan ekonomi baru melalui pengkajian yang komprehensif dengan mempertimbangkan bentang alam, daya dukung dan daya tampung sumber daya alam serta wilayah yang dilindungi oleh masyarakat.”

Rekomendasi terakhir adalah pertimbangan keberlanjutan ekologis menjadi dasar utama dalam upaya peningkatan produktivitas dan daya saing produk.

“Di samping itu perlu mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung wilayah pengembangan, termasuk mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat adat dan bentang alam.”

menarik dibaca :  Ini Harapan Masyarakat Sipil untuk Gubernur Sulsel yang Baru

 

Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan ikan nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mulai berkurang. Dalam sehari mereka kadang hanya bisa menangkap beberapa ekor ikan dan bahkan kadang tidak ada tangkapan sama sekali. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menanggapi rekomendasi ini, Yusran Yusuf, Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) yang merupakan representasi Pemprov Sulsel dalam penyusunan RPJMD, menyatakan akan mendengarkan dan menampung segala aspirasi dari masyarakat termasuk dari LSM itu.

“RPJMD sudah dalam proses pendalaman di Kemendagri dan mudah-mudahan secepatnya bisa tuntas. Proses penyusunan ini kami lakukan secara partisipatif, termasuk kami melakukan pertemuan dengan beberapa stakeholders. Kami ingin melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan ini bukan karena tuntutan Sulsel tetapi juga tuntutan global,” ungkap Yusran.

Menurut Yusran, kekayaan sumber daya alam adalah sebuah berkah namun jika tidak dikelola dengan baik justru sebaliknya jadi malapetaka. Misi Gubernur, juga ingin mengembangkan sumber daya alam dengan komoditi unggulan.

“Saat ini beberapa wilayah Sulsel yang masih terisolir, yang akan dibuka untuk mengoptimalkan SDA yang ada. Tentu dalam semua ini patronnya adalah lingkungan. Itu yang kami kawal. Pertemuan hari ini ingin memastikan itu lagi,” katanya.

Yusran memastikan dalam penyusunan RPJMD ini dalam rangka mewujudkan visi misi gubernur didesain ke pembangunan yang berwawasan lingkungan.

“Ini tidak berarti tidak ada aktivitas pembangunan, tetapi tetap mempertimbangkan daya dukung, daya tampung, dan paling penting adalah melibatkan partisipasi masyarakat,” katanya.

Yusran juga menyambut baik usulan transfer anggaran berbasis ekologi yang disebut TAPE dan mempertimbangkan masukan tentang Inpres Moratorium Sawit dalam penyusunan RPJMD ini.

“Ini jangan diartikan bahwa kita anti sawit. Keberadaan Inpres Ini adalah sebuah upaya bagaimana sawit ini dikelola secara benar dan secara ekonomi menguntungkan masyarakat. Meski ada problem di daerah karena harga yang semakin menurun dan sekarang banyak masyarakat mulai menebang sawit.”

 

Hutan memiliki peran penting bagi masyarakat adat Kaluppini di Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sebagai ruang spiritual. Sejumlah hutan dikeramatkan karena memiliki beragam situs-situs penting, yang juga menjadi wilayah aktivitas bagi sejumlah aktivitas ritual adat dan keagamaan. Keberadaan sawit dikhawatirkan akan mengancam keberadaan situs-situs ini. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel menilai RPJMD Sulsel saat ini tak beda jauh dengan yang sebelumnya. Perspektif perjuangan Reformasi Agraria dinilai masih banyak yang harus diperbaiki.

“Paparannya sangat sektoral, bicara tentang tata kelola yang baik, transparansi, kemudian data integrasi dan bagaimana lintas sektor isu saling berkaitan.”

Menurutnya, di RPJMD Sulsel saat ini tidak ada secara khusus berbicara tentang persoalan-persoalan konflik-konflik agraria dan ketimpangan struktur agraria yang selama ini terjadi di Sulsel. Padahal bicara tentang sektor pangan, tata kelola hutan, atau tentang kelola lahan yang baik basisnya adalah reformasi agraria.

“Hari ini Sulsel menghadapi banyak sekali izin-izin investasi, pertambangan, HGU, reklamasi, beberapa program yang sifatnya nasional dan pemprov dan kabupaten kota yang menimbulkan konflik, merampas wilayah kelola rakyat, kemudian dampak-dampaknya sampai adanya kriminalisasi, ancaman terhadap wilayah-wilayah ruang produksi petani,” ujarnya.

Untuk sektor pertanian misalnya, beberapa wilayah kabupaten yang menjadi basis produksi pertanian atau support pertanian di Sulsel menghadapi banyak sekali persoalan, seperti alih fungsi lahan, konversi lahan terkait perkebunan sawit dan izin pertambangan di lahan-lahan produktif.

Rizki selanjutnya menyatakan pesimis melihat masa depan pengelolaan tata ruang di Sulsel, meski sudah banyak kebijakan terkait hal ini.

“Kita punya banyak aturan dan saling tumpang tindih. Bahkan pemerintah sendiri mengakui hal ini. Kita punya KLHS yang seharusnya menjadi dasar dari sebuah perencanaan pembangunan, tapi itu juga tidak menjadi fondasi yang harus dilihat bagaimana daya lingkungan yang seharusnya.”

Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel, menyatakan bahwa dari draf RPJMD yang ada, dari sisi masyarakat adat sudah memuat apa yang menjadi kebutuhan masyarakat adat di Sulsel.

“Di dalam draf sudah memuat bagaimana pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan upaya-upaya untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Apa yang disampaikan pemerintah tadi juga sudah sesuai kebutuhan masyarakat adat bagaimana perlindungan hutan dan wilayah adat yang tentunya pengelolaannya harus lestari dan memberi dampak ekonomi bagi masyarakat adat,” katanya.

 

Exit mobile version