Mongabay.co.id

Jalan Panjang Menuju Penyelesaian Perubahan Iklim

Sesi terakhir dari perundingan perubahan iklim COP24 di Katowice, Polandia telah ditunda beberapa kali karena lebih dari 100 Menteri dan lebih dari 1.000 negosiator mencoba untuk mengatasi perbedaan mereka tentang bagaimana ‘Rulebook of Paris’, akan diimplementasikan di setiap negara. Setelah melalui perdebatan yang sengit, Konferensi Perubahan Iklim Sedunia yang seharusnya selesai pada Jum’at (14/12/2018) itu, baru ditutup pada Minggu (16/12/2018) pagi jam 0.33 waktu setempat.

Tiga tahun lalu di Paris semua negara bersepakat untuk menahan kenaikan suhu global hingga di bawah 2°C di atas suhu jaman pra-industri, dan mengupayakan agar kenaikan suhu tersebut maksimal 1,5°C saja. Di Katowice, para pihak mencoba untuk menyepakati tentang bagaimana mereka akan mencapai komitmen Paris secara kolektif, membangun kepercayaan di antara masing-masing negara, dan membawa kesepakatan Paris untuk dilaksanakan secara konsekuen.

Secara historis, negosiasi perubahan iklim multilateral sulit dilakukan karena semua negara berusaha untuk melindungi kepentingan nasional mereka, termasuk ekonomi, sosial dan politik. Itulah sebabnya mengapa komitmen yang dibuat di Paris dianggap sebagai terobosan yang berhasil.

Kesepakatan itu, selain menetapkan target kenaikan suhu global 2°C/1,5°C, juga termasuk komitmen untuk meningkatkan pembiayaan untuk perubahan iklim, dukungan keuangan dari negara-negara industri ke negara-negara berkembang, mengembangkan rencana mitigasi nasional pada tahun 2020 dengan tujuan dan target yang ditentukan sendiri; melindungi ekosistem, memperkuat adaptasi dan mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.

Walaupun diselingi dengan perdebatan yang alot, COP24 Katowice berhasil mendongkrak komitmen negara-negara maju untuk membantu implementasi Paris Agreement di negara-negara miskin dan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di Katowice, untuk pertama kalinya mobilisasi dana Adaptasi menembus batas psikologis yaitu sebesar USD100 juta. Jerman menjadi contoh negara maju yang melipatgandakan komitmen bantuannya, yaitu dari Euro 750 juta menjadi Euro 1,5 M per tahun sampai 2020.

baca :  Katowice, Janji Perubahan Iklim dan Nasib Generasi Mendatang

 

Michał Kurtyka (tengah) Presiden COP 24, melompat dari podium disaksikan kepala delegasi COP24 setelah ‘Katowice Climate Package’ diadopsi pada Sabtu (15/12/2018) malam waktu setempat. Foto : Kiara Worth/enb.iisd.org/Mongabay Indonesia

 

Menyepakati bagaimana membuat semua hal di atas terjadi, adalah masalah yang kompleks secara politis dan teknis, yang kadang-kadang bertentangan dengan berbagai realitas di tingkat nasional dan lokal, tingkat kemajuan sosial, politik dan ekonomi tiap negara, isu-isu ilmiah, masalah anggaran, dan pada ujungnya adalah mempertanyakan tingkat kepercayaan setiap negara.

Persoalan perubahan iklim sifatnya darurat krisis iklim. Laporan terakhir dari ratusan ilmuan yang tergabung dalam Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC) memperjelas bahwa kita perlu bertindak sekarang untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam 12 tahun ke depan. Akan tetapi nampaknya respon Pemerintah di setiap negara dalam menanggapi krisis iklim ini dianggap kurang memadai.

  

Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Perubahan iklim bukanlah mimpi buruk, tetapi kenyataan yang harus dihadapi bersama. Dampak terjadinya perubahan iklim sudah bisa kita lihat dimana-mana. Produksi pertanian yang menurun akibat ketidak pastian musim, banjir, dan kekeringan; munculnya hama dan penyakit baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya; dan merosotnya produksi perikanan karena berubahnya ecosystem lautan dan rusaknya terumbu karang; serta berbagai bencana yang sering kita lihat akhir-akhir ini. Menurut Badan Penanganan Bencana Alam (BNPB), lebih 80% bencana nasional yang terjadi di Indonesia adalah akibat perubahan iklim.

Penurunan emisi GRK adalah pekerjaan rumah besar yang perlu kita selesaikan bersama-sama. Bukan hanya di tingkat nasional dan lokal, tetapi juga internasional. Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras melakukan berbagai upaya penurunan emisi GRK. Termasuk diantaranya adalah moratorium penundaan pemberian izin baru pengusahaan hutan alam, pembanguan ekonomi rendah karbon, dan pendirian Badan Restorasi Gambut.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan BAPPENAS adalah dua lembaga pemerintah yang selama ini menjadi leading agents dalam mengurus permasalahan yang terkait dengan perubahan iklim. Sementara Kementerian Keuangan mendukungnya dengan berbagai kebijakan pendanaan perubahan iklim.

baca juga :  Upaya Atasi Perubahan Iklim Mustahil Tanpa Sinergi

 

Area persawahan. Petani yang tergantung pada hasil pertanian amat terpengaruh pada dampak perubahan iklim yang terjadi. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Yang diperlukan dari pemerintah saat ini hanyalah persoalan kepemimpinan dan tata kelola dalam perubahan iklim (leaderships and governance), baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di tingkat Pusat, mutlak diperlukan kekompakan antara Kementerian/Lembaga (K/L) yang banyak terlibat dalam perubahan iklim agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan kewenangan. Peran Kementerian Koordinator Perekonomian dituntut jauh lebih besar lagi agar terjadi koordinasi yang sinergis, efektif dan efisien antara K/L yang terlibat dalam urunan emisi dan pembangunan rendah karbon.

Di tingkat daerah, juga diperlukan keserasian antara peran dan kewenangan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Dinas Teknis terkait. Tolok ukur keberhasilan penanganan perubahan iklim adalah implementasi di daerah, sehingga segala upaya dan dukungan teknologi, pendanaan, dan kapasitas penanganan perubahan iklim difokuskan di tingkat daerah, bukan di pusat pemerintahan.

Pemerintah tidak akan sanggup bekerja sendirian saja, dan perlu bantuan para aktor di luar pemerintahan (non-state actors). Mereka adalah para pelaku bisnis, LSM, ilmuwan, akademisi, praktisi lapangan, para pendidik, pemuka masyarakat dan masyarakat itu sendiri.

baca juga :  Kelembagaan Nasional yang Kredibel,  Kunci Tata-Kelola Perubahan Iklim

 

Kawasan pemukiman di Kepulauan Jemaja, Anambas, kepulauan Riau. Pulau ini terancam rusak karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan karet. Foto : anambaskab.go.id

 

Yoichi Kaya, seorang ekonom Jepang menyampaikan argumennya bahwa besarnya emisi suatu negara berbanding lurus dengan jumlah populasi, GDP, dan jenis energi yang digunakan di negara tersebut. Makin tinggi populasi dan GDP suatu negara, maka emisinya akan semakin tinggi. Apalagi bila energi yang digunakan bukan energi yang terbaharukan, dan digunakan secara berlebihan/boros. Tantangan terberat bagi Indonesia adalah bagaimana emisi GRK dapat diturunkan sebanyak mungkin namun dengan menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi.

Solusi perubahan iklim bukanlah hanya wacana yang ramai diperdebatkan di ruang berpendingin udara (AC) di kota-kota besar, dan di hotel-hotel mewah, tetapi perlu dituangkan dalam aksi nyata di lapangan. Pemerintah dan non-state actors sesungguhnya merupakan para pelaku utama yang dapat merubah keadaan. Pemahaman tentang perubahan iklim harus dilakukan lebih intensif, serius, dan diulang terus menerus oleh semua pihak agar dapat merubah tingkah laku dan pola hidup masyarakat yang boros energi.

KTT Perubahan Iklim COP24 di Katowice hanyalah salah satu sarana untuk mencari solusi perubahan iklim dunia, tetapi kunci keberhasilannya tergantung pada kita masing-masing. Meminjam kata-kata Ustadz A. Gymnastiar (Aa Gym), maka solusi yang paling pragmatis adalah 3M: Mulai dari diri sendiri; Mulai dari keluarga dan kerabat terdekat; dan Mulailah dari sekarang.

Semoga …

***

*Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, mantan negosiator Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim.

 

Exit mobile version