Mongabay.co.id

Jalinan Masyarakat Hukum Adat dengan Laut dan Pesisir Tak Terpisahkan, Seperti Apa?

Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan perhatian dari masyarakat lokal yang ada di wilayah tersebut. Bentuk perhatian itu, bisa dengan melibatkan struktur masyarakat adat yang mendiami kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Keberadaan mereka, akan menjaga laut tetap lestari dengan persediaan sumber daya alam tetap melimpah.

Demikian diungkapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Rabu (19/12/2018). Menurut dia, masyarakat adat memegang peranan sangat penting untuk pengelolaan laut di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, karena memiliki pengaruh kuat dan juga menguasai medan sekitarnya.

Brahmantya mengatakan, keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia sudah sejak lama secara alamiah melibatkan diri dalam pengelolaan ruang laut, terutama di kawasan perairan yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Kelompok masyarakat seperti itu, lazim dijumpai di kawasan Timur Indonesia.

“Ada Papua, Maluku, Nusa Tenggara, dan provinsi lain yang memiliki kearifan lokal luar biasa. Ini harus terus dijaga,” ucapnya.

baca :  Konservasi Laut Lebih Efektif dengan Keterlibatan Warga Lokal

 

Masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut, menarik sami bersama untuk mengumpulkan ikan dalam acara manam’mi pada Sabtu (21/5/2016). Manam’mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan masyarakat hukum adat tersebut, menurut Brahmantya, dalam melakukan pengolaan sumber daya alam secara berkelanjutan sudah mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia. Hal itu, dibuktikan dengan pengakuan mereka dan mendapat perlindungan seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B bab IV Perubahan Ke-2.

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.

Selain dilindungi penuh oleh UUD 1945, Brahmantya menyebutkan, perlindungan terhadap masyarakat hukum adat juga dilakukan KKP melalui Undang-Undang No.1/2014 Jo UU No.27/2007, UU No.32/2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.52/2014, dan PermenKP No.8/2018.

 

Kearifan Lokal

Perangkat hukum dan turunannya tersebut menguatkan posisi dan keberadaan masyarakat hukum adat dalam memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan dengan memperhatikan daya dukung yang ada. Juga, untuk mewujudkan kelestarian laut sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan melaksanakannya bersama kearifan lokal.

“Keberadaan masyarakat hukum adat, khususnya yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terluar merupakan aset bangsa. Mereka harus mendapat perhatian, khususnya dalam upaya menjaga ikatan asal usul dan kedekatan mereka dengan wilayah dan sumber daya alamnya,” ungkapnya.

Tak hanya dalam UUD, Brahmantya menyebut, prinsip perlindungan terhadap masyarakat adat juga termaktub dalam visi dan misi Presiden RI Joko Widodo. Di dalam Nawacita, disebutkan bahwa, “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan.”

baca :  Sasi Nggama di Kaimana: Perlindungan Adat untuk Sumber Daya Laut

 

Yohanes Fadimpo, tokoh adat di Kampung Folley, Kabupten Raja Ampat, Papua Barat sedang meletakkan sirih pinang dan penanaman pohon sebagai tanda berlangsungnya buka sasi selama 22 April – 6 Mei 2018. Foto : Nugroho Arif Prabowo/TNC/ Mongabay Indonesia

 

Mengingat pentingnya keberadaan MHA dalam pengelolaan ruang laut di Indonesia, Brahmantya menyebutkan, perlu ada sinergitas antara stakeholder terkait dengan Pemerintah, swasta, lembaga penelitian, perguruan tinggai, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan yang lainnya.

Lebih jauh Brahmantya mengungkapkan, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, MHA memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam di wilayahnya, termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketergantungan tersebut, secara tidak langsung memaksa masyarakat di sana harus menjaga sumber daya alam tetap lestari dan berkelanjutan.

“Itu sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan bagi mereka. Pengelolaan sumber daya alam secara lestari tercermin dari falsafah hidup mereka yang senantiasa menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan tuhan dan alamnya. Praktik pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat adat atau kearifan lokal tumbuh secara turun-temurun dan masih terjaga sampai saat ini,” paparnya.

Berkaitan dengan sinergi yang harus diwujudkan di antara semua pihak, Brahmantya mengatakan, antara satu pihak dengan yang lain pasti memiliki cara yang berbeda sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Untuk itu, dia mengapresiasi sekecil apapun upaya yang sudah dilakukan oleh banyak pihak dalam upaya melindungi keberadaan MHA.

Khusus untuk Pemerintah, Brahmantya menambahkan, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menerbitkan perangkat aturan untuk memberikan perlindungan penuh. Langkah seperti itu, kini sudah dilakukan 10 daerah yang ada di Indonesia. Kesepuluh daerah tersebut, dalam waktu hampir bersamaan sudah menerbitkan peraturan bupati ataupun peraturan daerah untuk melindungi MHA di wilayahnya.

“Selain itu dilaksanakan penguatan masyarakat hukum adat berupa pemberdayaan dalam bentuk dukungan kebutuhan bagi masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan pengakuan dan perlindungannya,” tandasnya.

baca juga :  Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal Di Raja Ampat

 

Yefta Mjam dan istri, warga Kampung Folley, Rajat Ampat, Papua Barat, merasa bersyukur dengan adanya pendampingan TNC terkait konservasi dan pengelolaan sasi di kampungnya. Hasil sasi yang bagus sangat membantu perekonomian masyarakat. Sasi diibaratkan sebagai tabungan bagi warga. Foto : Nugroho Arif Prabowo/TNC/ Mongabay Indonesia

 

Di antara daerah yang sudah menerbitkan peraturan untuk melindungi MHA, adalah Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Menurut Bupati Maluku Tenggara Muhammad Thaher Hanubun, pengakuan terhadap MHA di wilayahnya memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengingat, sebagai bagian dari Maluku yang dikenal dengan banyak adat istiadat, keberadaan MHA sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayahnya.

 

Pengelolaan Pesisir

Tetapi, menurut Thaher, dengan berubahnya kebijakan pengelolaan kawasan pesisir dan membaginya dengan pemerintah provinsi, maka pengelolaan menjadi tak menentu. Termasuk, berkaitan dengan penerbitan izin operasi untuk kapal ikan berukuran kecil atau di bawah 10 gros ton (GT). Di wilayahnya, hingga saat ini masih ada nelayan yang harus mengurus perizinan kapal berukuran tersebut ke provinsi.

“Ya bayangkan saja, untuk ke Ambon (ibu kota Maluku) itu jaraknya bukan saja jauh, tapi mahal. Itu hanya untuk urus perizinan kapal saja. Jadi, kami berharap untuk permasalahan ini bisa dicarikan solusinyua,” jelasnya.

Selain Maluku Tenggara, daerah lain yang sudah memiliki peraturan, adalah Kabupaten Seram Timur, Maluku Tengah dan Kota Tual (Maluku), Kabupaten Sorong (Papua Barat), Kabupaten Buton, Buton Selatan, dan Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Kabupaten Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara).

baca :  Semaraknya Menangkap Ikan Secara Tradisional di Pulau Miangas. Seperti Apa?

 

Seorang warga Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut, menggigit ikan hasil tangkapannya dalam acara manam’mi pada Sabtu (21/5/2016). Manam’mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Tentang MHA, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria pernah mengatakan bahwa keberadaan mereka di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangatlah vital. Hal itu, karena MHA diketahui sudah lama melaksanakan praktik pengelolaan alam berkelanjutan dan memelihara wilayah perairan di sekitar mereka.

“Ini yang menjadi kelebihan dibandingkan masyarakat biasa. Hanya, perlu diluruskan dulu persepsi keberlanjutan ini kepada masyarakat adat. Intinya, harus ada prinsip keberlanjutan di antara mereka,” ucapnya.

Arif menuturkan, dengan adanya hukum adat, antara laut dan masyarakat bisa terjalin ikatan yang kuat. Kondisi tersebut, terutama ada di wilayah pulau kecil yang ada di kawasan pesisir. Sementara, untuk pulau berukuran sedang di pesisir, ikatannya menjadi terbagi dua antara laut dan daratan.

“Kelebihan adat, dia memiliki kelebihan berupa mekanisme. Itu tidak dimiliki oleh masyarakat biasa,” ucapnya.

Arif mencontohkan, melalui hukum adat, masyarakat bisa mengakses sumber daya ikan dengan mekanisme yang jelas dan teratur. Biasanya, akses yang dilakukan adalah dengan melalui lelang ikan oleh hukum adat. Dengan demikian, semua warga akan mendapatkan akses yang sama.

Dalam melaksanakan prinsip berkelanjutan, Arif mengatakan, masyarakat adat sangat dipengaruhi oleh pemuka agama, hukum adat, dan juga pemerintah lokal seperti desa atau dusun. Kekuatan tiga elemen tersebut, menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Pemuka agama, Adat, dan Desa memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat adat,” ungkapnya.

menarik dibaca :  Nyepi Segara, Ketika Laut Rehat di Bali

 

Sebuah jukung nelayan ditambatkan di karang saat Nyepi Segara. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Mengingat kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, menurut Arif Satria, maka potensi konflik akan muncul setiap saat. Potensi seperti itu, terutama sudah muncul di kawasan pesisir seperti di Pulau Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan Australia.

“Ada yang rentan terhadap konflik dan ada juga yang tidak. Di Rote, konflik meruncing, karena ada lokasi penangkapan ikan yang diklaim Australia sebagai lokasi tangkapan tradisional mereka. Itu pemicunya,” paparnya.

 

Exit mobile version