Mongabay.co.id

Menagih Peran Para Pihak Tangani Sampah Plastik di Laut

Sampah di pesisir Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Biasa menjadi tempat kapal nelayan merapat. Bahkan, pembuangan sampah ini sering menjadi lahan bagi para hewan mencari makanan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

“Saya pernah loncat dari depan dermaga, yang saya temukan ikan nemo, terumbu karang masih bagus. Tahun 2015, yang ditemui sampah,” kata Switenia Puspa Lestari, pendiri Divers Clean Action (DCA).

Dia ingin menggambarkan, betapa hari makin hari, sampah plastik makin menggila. Kini, katanya, laut termasuk di Kepulauan Seribu, bak supermarket dalam air. Berbagai produk ada. dari televisi, plastik, aki, pakaian, dan banyak lagi.

Tania, sapaan akrabnya, pernah tinggal di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 2003 sampai 2007. Dia melihat langsung betapa sampah jadi masalah di sana.

Tak hanya di Kepulauan Seribu atau di Indonesia. Masalah sampah plastik di laut sudah jadi masalah global. Setiap tahun, lautan di dunia harus tangung beban sampah plastik sampai 12,7 juta ton. Indonesia menempati nomor dua dari daftar 20 negara paling banyak membuang sampah plastik ke laut.

Meski belum ada data valid secara global, beberapa hasil riset mengungkapkan 80% marine litter dari daratan, 80% marine litter adalah plastik. Sekitar 8,8 juta ton sampah plastik terbuang dan dibuang ke samudera setiap tahun.

Satu contoh sampah plastik di Kepulauan Seribu saja, sudah bikin nyeri. Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu jadi tempat pembuangan sampah raksasa. Sebanyak 21 ton sampah per hari mengalir dari sungai-sungai di Jakarta, Tangerang, Bogor dan Bekasi.

Tiap sungai di Jakarta menyumbang satu ton sampah, Tangerang dan Bekasi, masing-masing 7-8 ton.

Berdasarkan hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup 2008, di beberapa kota, pola pengelolaan sampah di Indonesia sebagai berikut, diangkut dan ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), kompos dan daur ulang (7%). Lalu, dibakar (5%), dibuang ke sungai (3%), sisanya tidak terkelola (7%).

Akbar Tahir, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar mengatakan, 20% volume sampah di daratan akan berakhir di sungai dan lautan. Mayoritas sampah itu, katanya, plastik sekali pakai, seperti kantong, sedotan, gelas atau botol.

”Indonesia sudah darurat sampah plastik laut,” kata Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia. Dia desak, penanganan harus lebih serius.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, persoalan sampah plastik di laut terus jadi perhatian pemerintah. Salah satu, melalui Peraturan Presiden Nomor 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut. “Sampah di laut itu 80% dari darat, baru lainnya dari aktivitas laut.”

 

Sampah kantong plastik bergelantungan di pohon mangrove, tepi pantai Madura. Sampah-sampah ini selain produksi warga pulau juga kiriman dari Pulau Jawa. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Greenpeace, kata Muharram, memberikan catatan kritis soal perpres ini, seperti, belum kuat melindungi laut dari ancaman sampah.Terutama, belum ada pasal tegas bagi produsen dalam upaya penanganan sampah.

“Tegas mendorong produsen mengubah kemasan agar dapat digunakan terus menerus atau diisi ulang. Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah sebatas daur ulang dan gunakan plastik ramah lingkungan, target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 sekadar angan-angan,” katanya.

Tahun 2018 , katanya, diperkirakan sampah mencapai 66,5 juta ton dan pada 2025, bisa 70,8 juta ton dengan perkiraan setiap orang menghasilkan 0,7 kilogram sampah per hari.

Oktober lalu, Greenpeace Indonesia pun menemukan 797 sampah plastik berbagai merek di tiga lokasi di Indonesia, yakni, Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta) dan Pantai Mertasari (Bali).

Dari hasil audit merek, 797 sampah plastik, 594 merek makanan dan minuman, 90 merek perawatan tubuh, 86 merek kebutuhan rumah tangga dan 27 merek lain.

Produk dari Santos, P&G dan Wings, sebagai merek terbanyak di Pantai Tangerang. Lalu, Danone, Dettol, dan Unilever di Bali dan Indofood, Unilever dan Wings, juga banyak di Yogyakarta.

”Bahkan banyak kita menemukan cukup banyak sampah plastik sudah tidak terlihat mereknya, ini mengindikasi bahan sampah sudah lama terbuang, berada di lingkungan itu.”

 

 

Aksi warga

Kala musim penghujan awal 2008, banjir besar melanda Jakarta dan sekitar. Kepulauan Seribu pun jadi ‘rumah’ sampah-sampah dari Jakarta, Tangerang maupun Bekasi. Berton-ton sampah mampir ke pulau-pulau ini. Di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, sampah menyangkut di mangrove hingga pepohonan ini banyak mati.

“Sampah yang dibawa arus sangatlah banyak kala itu,” kata Mahariah, warga Pulau Pramuka. Sehari-hari dia guru SD sekaligus guru mengaji.

Ceritanya, perempuan 49 tahun ini pada 2003, terpilih jadi Ketua Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan. Tujuan SPKP, untuk pemulihan kualitas lingkungan, mencari mata pencaharian alternatif warga yang ramah dan edukasi lingkungan.

Kala itu, warga mulai sulit cari ikan. Hutan mangrove mulai berkurang. Merekapun berupaya mendorong ekonomi ramah lingkungan, melalui ekowisata dan budidaya perikanan.

Pada 2007, dia menggagas menanam kembali mangrove yang mulai menghilang di pesisir Pulau Pramuka.

Mangrove-mangrove inilah yang banyak mati karena jadi ‘rumah’ sampah pada 2008.

Dia mulai merasakan betapa sampah salah satu masalah besar dan harus ada penanganan.. Pada 2009, terbentuklah Komunitas Laut Bukan Tempat Sampah.

Pesan ini dia coba tularkan kepada anak-anak SD hingga SMA di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang.

Mahariah bilang, sangat sulit menyadarkan para ibu-ibu soal sampah hingga anak jadi salah satu perantara penyambung lidah dengan orangtua.

 

Rumah Hijau meru
pakan ruang diskusi dan belajar masyarakat Pulau Pramuka untuk menyelamatkan pulau mereka dari sampah dan mengurangi dampak perubahan iklim. Mereka menginisiasi gerakan #PulaukuNolSampah, salah satunya membuat bank sampah, memilah sampah dan mengedukasi para masyarakat maupun pelajar. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar 40-60 anak dikumpulkan untuk bermain di pantai sambil memunguti sampah. Setelah terkumpul, sampah dipilah, kemudian jadi barang-barang bermanfaat.

Dia mulai meminta anak-anak yang mengaji kepadanya memilah sampah di rumah dan membawa ke tempat mengaji.

Sampah yang mereka bawa akan ditukar dengan tempat pensil atau tas mengaji dan lain-lain. ”Banyak juga orangtua yang malas, bilang daripada disuruh membawa sampah, sini saya bayar saja uang ngajinya.” Belajar ngaji dengan Mahariah, tidaklah dipungut biaya.

Tujuan dia memilah sampah di rumah sendiri guna mengurangi sampah menumpuk di tempat pembuangan sampah (TPS). Sampah terpilah, dia daur ulang sendiri menjadi beragam kerajinan.

Belakangan, komunitas ini punya Rumah Hijau. ”Sebelum ada Rumah Hijau, rumah saya seperti tempat sampah,” candanya.

Rumah Hijau dibangun guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebersihan lingkungan dan tempat edukasi masyarakat agar ramah lingkungan serta ketahanan pangan.

Mahariah pun mencoba menampung beragam keluhan warga, seperti air tanah makin asin, harga sayur mahal dan masalah sampah.

Akhirnya, di Rumah Hijau ini dia membuat bibit mangrove selain mencegah abrasi juga menahan air laut agar tak masuk ke daratan. Di Rumah Hijau, pun didirikan bank sampah, membuat lubang biopori, rumah daur ulang, menanam sayur hidroponik, membuat ecobrick, dan penangkaran kelinci.

Anggota Rumah Hijau ini tanpa paksaan. Awalnya, hanya lima sampai enam orang saja, kini sudah sekitar 30-an orang. Anggotanya ini pun terdiri dari ibu-ibu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka.

”Krisis lingkungan di Pulau Pramuka karena sampah terutama saat banjir di Jakarta,” katanya.

Tantangan saat ini, penyadaran kepada masyarakat, terutama Pulau Panggang yang kian tak peduli beban ekologis di sana.

Dia bilang, pernah suatu kali, saat KLBTS mengambil sampah di Pulau Panggang, ada masyarakat yang mengusir dan menolak sampah diambil.

”Itu sengaja mereka tumpuk, bakar, nanti menjadi fondasi rumah,” katanya.

Zeky, anggota Penanganan Prasarana Sarana Umum (PPSU) Pulau Panggang mengatakan, banyak warga masih tidak peduli sampah setiap rumah tangga. ”Mereka sering membuang sampah sembarangan, dan menganggap kan ada PPSU, pasti nanti diambil,” katanya.

Mahariah pun kini menyusun standar prosedur operasi soal penanganan sampah di pesisir dan memperjuangkan peraturan gubernur soal pengelolaan sampah di pesisir.

Dia ingin ada komitmen pemimpin dalam pengelolaan sampah tak berubah-ubah walau ada pergantian pemimpin. ”Kondisi kita sudah krisis.”

 

 

Tak hanya sampah kiriman, sampah-sampah produksi warga pulau juga banyak. Masyarakat pesisir juga jadi konsumen ‘setia’ produk-produk kemasan sekali pakai.

Harga terjangkau dan praktis, apalagi di pesisir masih sulit produksi mandiri.

Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu pun mengatakan, sampah yang dibersihkan dari Kepulauan Seribu mencapai 40 ton sehari.

Kekhawatiran Mahariah dan 30-an perempuan lain di Pulau Pramuka, sangat beralasan. Sampah jadi persoalan penting bagi masyarakat pesisir.

Kini mereka punya gerakan masyarakat #PulaukuNolSampah. Mereka bergerak mandiri mengelola sampah dari barang konsumsi sehari-hari. Mereka juga bergerak pada ekowisata dan edukasi.

Berdasarkan penelitian DCA, Kepulauan Seribu dekat dari Jakarta, telah terkena dampak gaya hidup praktis. Timbulan sampah per orang per hari rata-rata 0,45 kg.

Sampah terbanyak di Kepulauan Seribu adalah sampah organik, 49%, masyarakat bergantung pada plastik dalam kehidupan sehari-hari 21%.

Di Kepulauan Seribu, katanya, sulit mendapatkan air tawar bersih. Otomatis baik wisatawan maupun masyarakat di sana, masih banyak gunakan botol plastik.

”Proyeksi potensi sampah jenis polyethilene terepthalathe (PET) di Kepulauan Seribu, 11,1 ton per bulan.”

Tania mengatakan, dalam area kedalaman penyelaman 100 meter, bisa ada kemasan saset sekitar 500 buah. Jenis sampah beragam dari produk produsen di Indonesia maupun Filipina dan Jepang.

Di Bali, katanya, ditemukan produksi dari Australia. Sedangkan, Kalimantan ada produk dari Malaysia dan Filipina.

”Ini sebuah fakta, masalah sampah tak hanya di Indonesia, , tetapi perlu sinergi lintas negara dalam menanganinya.”

 

 

Pulau Pramuka menjadi salah satu tujuan wisata popular di Kepulauan Seribu. Mahariah (49), masyarakat Pulau Pramuka menyebutkan masyarakat berinisiatif menanam tembakau untuk mencegah terjadinya abrasi, namun sering terancam oleh sampah-sampah, baik yang terbawa arus atau yang berasal dari masyarakat pulau. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Tanggung jawab produsen rendah

Bring back our bottles,.” “Tukarkan satu kemasan kosong, bonus 2 poin. “Gunakan poin untuk pembayaran. Satu poin Rp1.000.” Begitu informasi yang tertera di laman resmi Body Shop, produsen produk kecantikan yang membuka banyak outlet di Indonesia.

Body Shop, sejak lama menerapkan tanggung jawab produsen terhadap kemasan mereka. Konsumen, bisa mengembalikan kemasan Body Shop, dengan mendapat poin. Poin itu bisa bermanfaat untuk mendapatkan beragam produk baru mereka.

Sudah seharusnya, produsen memiliki tanggung jawab dalam penyelesaian sampah plastik yang mereka hasilkan. Sayangnya, praktik prosuden macam ini masih minim.

Pemerintah pun harus memiliki gigi kuat meminta tanggung jawab produsen, seperti tertuang dalam UU No 18/2008.

Sayangnya, peta jalan kebijakan tanggung jawab produsen (expended producer responsibility/EPR) belum wajib atau belum mandatori di Indonesia.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, sampah plastik di laut jadi tantangan global.

Pertama, secara khas marine litter tak memiliki wilayah teritori negara maupun administrasi daerah. Kedua, dari sisi jumlah dan sebaran cenderung meningkat terus secara signifikan dan skala samudera.

Guna pencapaian target pengurangan dan penanganan sampah plastik ke laut sebesar 70% pada 2025, KLHK pun punya indikator pengurangan dan penanganan sampah.

Indikator pengurangan sampah terdiri dari, penurunan timbulan sampah per kapita, peningkatan jumlah sampah terpilah, terdaurulang, dan termanfaatkan kembali di sumber. Lalu, penurunan sampah terangkut ke tempat pemrosesan akhir (TPA).

Sedangkan, indikator penanganan sampah terdiri dari, peningkatan sampah terolah jadi bahan baku, peningkatan sampah termanfaatkan jadi sumber energi;, penurunan sampah terproses akhir di TPA.

Rosa bilang, KLHK sedang penyusunan norma, pedoman, standar dan kriteria (NPSK) dan peraturan. ”Kita sedang susun rancangan Permen LHK tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” katanya. Langkah ini, tercantum dalam sustainable development goals (SDGs) soal responsible production and consumption.

”Ini langkah perubahan perilaku produksi plastik oleh produsen dan perilaku konsumsi plastik oleh konsumen,” katanya.

 

Body Shop, salah satu produsen produk kecantikan, yang meminta konsumen mengembalikan lagi kemasan mereka dengan mendapat poin. Foto: dari laman resmi Body Shop

 

Untuk pelaksanaan, katanya, akan bertahap dengan tiga sektor sasaran, yakni manufaktur, peritel, industri jasa makanan dan minuman, hotel, restoran maupun kafe.

Sejak lima tahun lalu, EPR ada berlandas Peraturan Pemerintah Nomor 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

”Dalam implementasinya, penerapan EPR berjalan lambat mengingat tantangan dalam pelaksanaan memang tidak mudah,” katanya.

Dari sisi pemerintah, katanya, sebagai regulator belum menerbitkan aturan yang lebih rinci bersifat teknis operasional. Mulai peta jalan, tata laksana, tata kerja, model bisnis, kriteria dan standar, serta sistem monitoring dan evaluasi.

Kemudian dari pelaku usaha. ”Khusus para produsen, dalam praktik bisnis masih bertumpu revenue saja.”

Produsen belum memiliki komitmen dan inisiatif baik untuk ikut bertanggungjawab besama pemerintah dalam pengelolaan sampah. Terutama barang-barang berasal dari kemasan yang mereka produksi, impor, distribusi dan jual.

Meski begitu, katanya, dari sekian banyak produsen ada di Indonesia, termasuk produsen pemegang merek internasional, hanya beberapa yang memiliki inisiatif maupun komitmen kewajiban pengurangan sampah.

”Salah satu langkah strategis segera mengeluarkan aturan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen.”

Aturan ini, katanya, bisa jadi pedoman bagi produsen dalam pengurangan sampah. Ke depan, akan ada penetapan baseline data, penetapan target pengurangan, jenis kegiatan pengurangan sampah, monitoring dan evaluasi, pengukuran kinerja dan pelaporan.

Pada Our Ocean Conference, 29-30 Oktober 2018, di Bali, ada komitmen dari beberapa produsen dan perusahaan akan pengurangan sampah plastik, antara lain Danone-Aqua berkomitmen membuat seluruh kemasan plastik 100% dapat didaur-ulang dan meningkatkan proporsi plastik daur ulang pada botol hingga 50% pada 2025.

The Coca-cola Company berkomitmen membuat kemasan 100% dapat didaur-ulang pada 2025 dan 50% berbahan daur ulang pada seluruh kemasan utama global pada 2030.

Unilever menargetkan pada 2025, semua kemasan plastik bisa didaur ulang, pakai kembali ataupun bisa jadi bahan kompos.

Safri Burhanuddin, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meminta, industri pada 2025 mampu mengumpulkan barang-barang mereka produksi hingga 100%. ”Misal, kalau produksi 100 juta botol akan ditarik kembali 100 juta botol.”

Dengan catatan, mengambil botol maka harga botol menjadi lebih mahal. Ia berdampak pada kenaikan harga di tingkat pemulung yang mengambil botol itu.

”EPR ini di 2025 akan wajib, sanksi nanti bayar pajak, bayar pinalti,” katanya.

 

Sampah kemasan saset yang banyak di laut maupun pesisir pantai. Foto: Lusia arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Menuju 2025, masa bagi industri untuk transisi dan pemerintah lakukan pendataan kebutuhan plastik, apakah ada bahan pengganti plastik dan lain-lain.

Berbicara soal saset, pemerintah sedang mengkaji kemasan itu masih perlu atau dilarang sama sekali. ”Karena itu menimbulkan sampah, susah sekali untuk dikumpulkan,”katanya. Meski dinilai praktis, saset sumber sampah, pengepul pun jarang mengambil karena dianggap tak bernilai ekonomi.

Pada 2016, pemerintah bikin kebijakan plastik berbayar dan berlaku 27 kota selama tiga bulan. Evaluasi KLHK menyebutkan, terjadi penurunan rata-rata 25% di setiap kota. Meski demikian, kebijakan itu tak berlanjut karena ada protes dari pengusaha ritel.

Akhirnya, regulasi soal sampah pun dipimpin Kementerian Keuangan melalui cukai plastik. Di mana perusahaan produsen plastik yang membayar biaya itu. Pemerintah pun masih mengkaji soal aturan ini.

”Larangan plastik sudah dilakukan beberapa kota, kita siapkan, misal plastik lebih tebal hingga bukan single use,” kata Safri Burhanuddin, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Pemerintah pun akan menerapkan cukai plastik. Safri mengatakan, regulasi ini sedang tahap kajian lintas kementerian, antara Kementerian Perindustrian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan dan KLHK. ”Ini salah satu solusi mengontrol jumlah plastik melalui cukai,” katanya.

Pada 1 Desember 2018, Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, mulai pelarangan tempat-tempat perbelanjaan menyediakan kantong plastik. Kebijakan serupa sudah dilakukan di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Balikpapan (Kalimantan Timur) dan Badung (Bali).           

 

Sampai plastik menggila memenuhi pantai dan merusak mangrove. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Terobosan industri?

Tanpa sedotan plastik, mulai jadi gaya hidup berganti sedotan stainless, atau bamboo, kertas bahkan sama sekali tidak menyediakan sedotan.

Mei lalu, Kentucky Fried Chicken (KFC) sudah menerapkan program tanpa sedotan plastik pada 630 gerai di seluruh Indonesia. Langkah ini bertahap, mulai dari enam gerai di Jakarta pada Mei 2017, dan 233 gerai akhir 2017.

November lalu, hal sama dilakukan Jaringan McDonald’s, yang turut tidak menyediakan sedotan plastik di semua gerai.

H&M Indonesia dan Danone Aqua, mencoba inovasi melalui proyek Bottle2Fashion. Keduanya melakukan nota kesepahaman guna mendukung program pemerintah Indonesia mengolah kembali sampah botol plastik jadi produk fashion.

Anya Sapphira, Sustainability Manager H&M Indonesia menyadari, penting meramu bersama ide dari sampah botol jadi fashion.

Melalui kolaborasi ini, Danone Aqua akan memperkuat pengumpulan sampah botol plastik di Kepulauan Seribu. Sampah-sampah ini akan dikirim ke Unit Bisnis Daur Ulang di Tangerang Selatan milik Danone Aqua diinisiasi pada 2010.

Pada tahap ini, botol akan dipilah, dicuci dan dicacah kemudian dikirimkan ke pabrik tekstil dan garmen, PT Kahatex, mitra kerja H&M Indonesia.

Hingga kini, kolaborasi ini sudah berjalan pada produk sarung tangan dan kaos kaki, dengan kandungan polyester (dari botol plastik) 9%. Tahun 2019, mereka menargetkan masuk dalam fashion pria dan perempuan.

”Dalam setahun kita baru gunakan 30 ton botol plastik, ini langkah awal dan bisa pakai 9% untuk bahan fashion. Ini sebuah kebanggaan, apalagi ketika bisa membuat celana atau baju 100% polyester,” katanya.

H&M Indonesia pun sedang mengkaji bagaimana mengidentifikasi produk yang membantu konsumen agar memiliki kesadaran membeli dengan mendapatkan informasi proses penyelamatan lingkungan ini.

 

Anak-anak sedang bermain di tumpukan sampah di Pulau Panggang. Lokasi ini dekat dengan Tempat Pembuangan Sampah Sementara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Aliansi untuk Kemasan dan Daur Ulang bagi Indonesia Berkelanjutan (Praise) turut berkomitmen mengurangi sampah kemasan produk yang mereka hasilkan. Anggotanya terdiri dari PT Coca-Cola Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, PT Tetra Pack Indonesia, PT Tirta Investama, dan PT Unilever Indonesia Tbk.

Sinta Kaniawati, Head of Sustainable Business dari Yayasan Unilever, sekaligus Ketua Umum Praise mengatakan, industri terus berinovasi guna berkontribusi pengurangan sampah plastik.

”Kami sudah menyiapkan konten roadmap produsen. Industri sedang menata diri menyiapkan itu.” Terpenting, katanya, bagaimana upaya pengurangan sampah oleh banyak industri.

Unilever juga sedang mencoba peluang pembuatan prototipe gagang sikat gigi berbahan bambu. Harapannya, mampu bertahap mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap plastik.

Industri, katanya, harus bisa menyerap kembali materi atau kemasan mereka. Artinya, sampah yang sudah dikumpulkan harus bisa bermanfaat kembali.

”Kalau industri men-collect, biaya sangat besar, beban lari ke konsumen.”

Dia bilang, menuju 2025, salah satu peta jalan mereka membuat inovasi produk yang bisa mengurangi atau mengganti kemasan atau plastik, kemudian meningkatkan nilai guna plastik agar bisa terpakai.

Menurut Sinta, kebiasaan memilah sampah penting sebagai langkah awal pengelolaan sampah plastik.

 

 

Daur ulang solusi?

Oktober 2018, Greenpeace baru merilis laporan ”A Crisis of Convenience: The corporations behind the plastics pollution pandemic” berfokus pada 11 perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) terbesar dalam skala global.

Perusahaan-perusahaan itu antara lain, Coca-Cila Company, Colgate-Palmolive, Danone, Johnson&Johnson, Kraft Heinz, Mars, Nestle, Mondelez, PepsiCo, Procter& Gamble dan Unilever.

Dalam laporan itu, plastik sekali pakai jadi pendorong utama krisis sampah plastik. Dilihat dari rencana 11 perusahaan memungkinkan mereka meningkatkan penggunaan plastik sekali pakai.

”Penanganan sampah plastik sudah pada status darurat,” kata Ahmad Ashov, Global Pastics Project Leader Greenpeace Indonesia.

Peningkatan kesadaran masyarakat, katanya, tidaklah cukup, perlu ada regulasi mendesak dan bersifat wajib. Apalagi, kemasan sekali pakai sangan erat kaitan dengan perusahaan FMCG.

Kalau lihat dari komitmen perusahaan, katanya, tak ada yang memiliki target penghapusan atau pengurangan sampah plastik secara jelas. ”Jika melihat business as usual, produksi plastik global kemungkinan berlipat ganda dalam 20 tahun dan meningkat empat kali pada 2050.”

 

Sampah kemasan plastik sekali pakai dan sampah organik menjadi permasalahan utama di Kepulauan Seribu. Sampah plastik sekali pakai dan botol plastik ini ditemukan berada di tepian dermaga salah satu resort di Pulau Pramuka, Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Secara terus menerus perusahaan makin menjadikan kemasan sekali pakai sebagai penawar untuk memikat hati konsumen. Kekhawatiran ini pun didukung pertumbuhan industri sektor FMCG 1-6% setiap tahun.

”Mereka (perusahaan) sudah mencoba berubah dari kemasan sekali pakai, tetapi mereka khawatir konsumen tidak nyaman.” Bahkan, ada yang sempat uji coba penanganan sampah plastik, sayangnya tidak meluas.

Hingga kini, tidak ada perusahaan FMCG membuka jejak sampah yang mereka produksi, hingga permasalahan hilir, negara yang menanggung. Mayoritas perusahaan tak memberikan data detail penggunaan plastik dan penyebaran secara geografi. ”Ini titik penting, tidak ada yang pernah transparan terkait ini.”

Sinta Kaniawati, Ketua Umum Praise mengakui, sebagian sampah produk mereka masih jadi timbunan. Dia berupaya membela diri. Dia bilang, industri bukan tidak berbuat apa-apa, beberapa terobosan telah dilakukan. Dia contohkan, edukasi melalui sekolah-sekolah, kolaborasi penyadaran kepada publik termasuk ada bank sampah.

Sinta mengatakan, saset mungkin akan dihilangkan, meski belum bisa memastikan kapan. Ada juga rencana industri mendaur ulang sampah plastik untuk jadi saset.

”Kita akan mengedukasi konsumen, produk yang ini sudah mengandung recycle material.”

Ashov menekankan, kunci dari keluar dari krisis polusi plastik adalah pengurangan. “Sebaliknya, komitmen mereka tidak ada, malahan meningkatkan single use plastic. Ini yang seharusnya diubah,” katanya.

Pilihan mendaur ulang (recycling) sampah hingga kini masih menyisakan masalah. Dia bilang, meski penting tetapi proses ini belum bisa mengatasi sepenuhnya. Pada akhirnya, sampah akan kembali ke lingkungan.

“Malahan perusahaan fokus pada proses daur ulang dan eksplorasi komposisi kemasan yang dapat didaur ulang,” katanya.

Padahal, ada hal lebih penting yakni pegurangan kemasan plastik sekali pakai dan menciptakan inovasi model pengiriman produk.

Greenpeace pun mendesak, perusahaan FCMG bersikap trnasparan mempublikasi informasi komprehensif tentang jejak plastik dan yang mereka gunakan.

”Segera hapus plastik bermasalah dan tidak perlu, khusus upaya pengurangan dan menghilangkan plastik sekali pakai. Ini paling bermasalah. Tidak perlu sampai akhir 2019.”

Dia sarankan, perusahaan perlu berinvestasi dalam sistem penggunaan kembali atau menciptakan wadah dapat diisi ulang dan digunakan kembali. Juga perlu inovasi sistem pengiriman baru yang meminimalkan keperluan kemasan sekali pakai.

 

Keterangan foto utama:      Sampah di pesisir Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Biasa menjadi tempat kapal nelayan merapat. Bahkan, pembuangan sampah ini sering menjadi lahan bagi para hewan mencari makanan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Sampah yang mengotori laut merupakan salah satu ancaman nyata kehidupan Coelacanth. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version