Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Suara Sumbang Konflik Agraria di Sulawesi Utara

Pada 2018, beberapa daerah di Sulawesi Utara menghadapi konflik agraria. Dampak dari konflik itu, masyarakat terancam kehilangan tanah, mata pencaharian, hingga berurusan dengan hukum karena menolak penggusuran.

Sepanjang 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menerima 19 dari total 99 laporan terkait kasus perdata dengan obyek sengketa tanah. Jika melihat laporan serupa pada 5 pengadilan negeri di Sulawesi Utara, perbandingan kesuluruhannya adalah 180 dari 1319 perkara perdata atau 13,6%.

Temuan tadi disebut dalam laporan berjudul “Catatan Akhir Tahun 2018: Potret Penegakkan Hak Asasi Manusia di Sulawesi Utara”. Variasi laporan terkait kasus itu antara lain, tumpang tindih sertifikat, penyerobotan lahan, sengketa jual beli tanah, pembagian warisan dan hibah, hingga sengketa tanah.

Selain sengketa tanah bersifat antar individu, mereka juga mendapati konflik agraria antara kelompok masyarakat dengan korporasi. LBH Manado menilai, ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya konflik tersebut.

baca :  Ketika Kaka Slank Serukan Pemulihan Lingkungan di Pulau Bangka Sulawesi Utara

 

Bangunan warga desa Tiberias yang diduga dirusak karyawan PT Malisya Sejahtera. Foto : warga desa Tiberias

 

Pertama, minimnya pemahaman masyarakat mengenai regulasi pertanahan. Masyarakat baru menyadari tanahnya bermasalah, ketika telah merasakan kerugian atau tidak dapat menikmati hak atas tanah.

Kedua, kantor pertanahan tidak teliti dalam melaksanakan kewenangan, sebagaimana dimandatkan Undang-Undang. Faktor lain adalah regulasi yang tumpang tindih, rumitnya birokrasi, kesalahan penerbitan sertifikat hingga harga ganti kerugian pembebasan hak atas tanah yang tidak sesuai.

Ketiga, masih menurut laporan itu, adanya keterlibatan alat-alat negara seperti TNI dan Polri dalam kasus masyarakat yang berhadapan dengan perusahaan. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi korban diskriminasi, kekerasan bahkan kriminalisasi.

 

Konflik Sosial

Sejak 2017, LBH Manado telah mendampingi masyarakat desa Tiwoho, Minahasa Utara, yang terancam kehilangan lahan garapan. Padahal, sebagian warga telah memegang sertifikat tanah, dan sebagian lainnya tercatat dalam register desa.

Jekson Wenas, Direktur LBH Manado menceritakan, sekitar tahun 1990, sebuah perusahaan yang memegang izin Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 120 hektar, datang membeli sebagian tanah warga. Namun, Bupati waktu itu menyatakan, tanah tersebut tidak bisa digunakan sebelum adanya pelunasan.

“Sekitar tahun 2005, ada perusahaan baru masuk, namanya PT. Awani Modern Indonesia. Tapi, kan tidak bisa perusahaan baru pakai HGB lama,” ujar Jekson ketika diwawancarai Mongabay, Sabtu (29/12/2018). “Tahun 2014 hingga 2017, perusahaan ini ngotot mendapatkan tanah. Sebagian warga masih bertahan karena orang tua-orang tua mereka belum menjual tanah itu.”

Di penghujung 2017, Komisi Informasi Pusat (KIP) membuat putusan bahwa Pemkab Minut harus membuka dokumen perusahaan. Kemudian, surat Bupati Minut menyatakan, perusahaan tersebut tidak mempunyai izin. Berdasarkan surat Bupati tadi, warga kembali mengolah lahan perkebunan.

“Karena masyarakat sudah mengolah 120 hektar ini, kami sedang mempersiapkan surat-surat tanah untuk warga. Karena, hanya sebagian yang punya sertifikat, banyak lainnya terdaftar register. Masalahnya, kata hukum tua (kepala desa), register itu sudah hilang dari hukum tua sebelumnya,” terang Jekson.

baca :  Konflik Lahan di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow Berlanjut, Perusahaan Bongkar Pondok Warga

 

Sejumlah aparat yang diduga berasal dari Kodim Bolaang Mongondow membongkar paksa pondok-pondok di kebun warga Desa Tiberias Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Foto : Warga Desa Tiberias

 

Konflik Sawit

Kasus lain yang menjadi perhatian LBH Manado adalah konflik warga dengan perusahaan sawit di kabupaten Bolaang Mongondow. Warga menolak kehadiran perusahaan sawit karena mengancam lahan produktif mereka, yang sudah ditanami kelapa, jagung dan padi.

Awal Desember 2018, setelah mengunjungi Kecamatan Lolak, LBH Manado memperoleh informasi terkait sengketa pada lahan seluas 613 hektar. Luasan itu meliputi desa Padang, Timbolango, desa Lolak 1 dan Lolak 2. Dari total luasan tadi, ada 2 perusahaan sawit yaitu PT. Karunia Kasih Indah dan PT. Anugrah Sulawesi Indah.

Dalam “Catatan Akhir Tahun 2018: Potret Penegakkan Hak Asasi Manusia di Sulawesi Utara” disebutkan, warga setempat berusaha mempertahankan tanah yang sejak 1954 telah menjadi sumber kehidupan. Sampai sekarang, mayoritas masyarakat di sana berprofesi sebagai petani penggarap.

Warga baru mengetahui masuknya perusahaan sawit pada tahun 2011. Namun, perubahan status lahan dari perkebunan kelapa menjadi perkebunan sawit terjadi pada tahun 2015, lewat rekomendasi Bupati Bolaang Mongondow waktu itu.

Masyarakat berulang kali melakukan protes. Mereka mendatangi kantor Bupati Bolmong, hingga pemerintah Provinsi. Mereka meminta pemerintah daerah untuk mencabut rekomendasi yang dikeluarkan pemkab Bolmong dan menyerahkan lahan pada warga.

Konflik sawit di Bolaang Mongondow itu, kemudian, berdampak penangkapan 2 warga yang menolak kehadiran perusahaan sawit. Mereka dituduh melakukan provokasi dan perusakan fasilitas perusahaan.

baca juga :  Konflik Sawit di Desa Lolak, Bolaang Mongondow, 2 Orang Ditangkap

 

Konsesi sawit PT ASI yang mendapat penolakan warga kecamatan Lolak, Bolaang Mongondow, Sulut, Foto : Ade Saputra Lundeto/Mongabay Indonesia

 

Satryano Pangkey, staf bidang advokasi LBH Manado yang sempat mengunjungi lokasi itu mengatakan, konflik sawit di Kecamatan Lolak akan menjadi salah satu fokus LBH Manado. Sebab, selain di Bolmong, beberapa wilayah di Sulawesi Utara terindikasi menjadi konsesi perusahaan sawit.

“Di seluruh kabupaten Bolaang Mongondow, kami dapat info, ada sekitar 9 ribu hektar lahan perusahaan sawit. Kemudian, kalau tidak salah, di Bolaang Mongondow Timur, Minahasa Tenggara dan Minahasa Selatan, sudah masuk sawit juga,” kata Satryano pada pertengahan Desember.

“Seharusnya pemerintah daerah harus melihat kepentingan rakyat, mempertimbangkan lahan produktif yang sudah lama dijadikan sandaran hidup warga. Kehadiran sawit, misalnya di kecamatan Lolak, sangat berdampak. Dari sisi ekonomi, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Sebab, mayoritas warga sangat bergantung pada obyek sengketa,” pungkasnya.

 

Exit mobile version