Mongabay.co.id

Gubernur NTT Moratorium Tambang, Apa Pendapat Pegiat Lingkungan?

Kerusakan pulau-pulau kecil karena tambang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Pidato Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur terpilih Nusa Tenggara Timur (NTT), tegas akan memoratorium pertambangan mineral dan batubara. Pidato itu menegaskan kembali janji-janji kampanyenya bersama sang wakil, Yosepf Nae Soi.

“Tambang bukan pilihan baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT,” kata Viktor Bungtilus Laiskodat, dalam salinan pidato yang diterima Mongabay.

Laiskodat bilang, izin yang ada dan masih berlaku akan dicabut. Izin yang proses disetop. Beberapa bulan berlalu, Gubernur menerbitkan Surat Keputusan No 359/KEP/HK/2018 tentang penghentian sementara pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara di NTT.

Surat keputusan ini bikin kecewa aliansi, terdiri dari Walhi NTT, Jaringan Advokasi Anti Tambang (Jatam) dan JPIC OFM Indonesia.

Alsis Goa, Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation- Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia mengatakan, SK ini justru hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan finansial.

Parah lagi, kata Alsis, SK ini hanya berlaku satu tahun, dan hanya menghentikan sementara pemberian izin usaha pertambangan minerba di NTT.

Moratorium, katanya, sebatas penghentian operasi pertambangan dan izin tambang baru sembari evaluasi izin eksisting yang berpotensi tetap beroperasi selama dinyatakan layak administratif.

“Seluruh isi SK ini tidak ada satu diktum mencerminkan keseriusan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi menghentikan pertambangan di NTT sebagaimana digembar-gemborkan saat kampanye dan pidato perdana pelantikan,” katanya.

Dia bilang, seharusnya moratorium tambang di NTT berbasis fakta empiris, soal sumber penghidupan mayoritas masyarakat yang bergantung pertanian dan peternakan.

Kehadiran tambang di NTT, katanya, menimbulkan kerusakan parah bahkan tak terpulihkan, seperti terjadi di Serise, Tumbak, Satarteu, Lengkololok (Manggarai Timur), Robek, Maki, dan Timbang (Manggarai). Juga Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan (Belu), Oenbit dan Biboki (Timor Tengah Utara), Supul dan Mollo (Timor Tengah Selatan) dan Wanggameti (Sumba Timur) serta Prai Karoku Jangga, Sumba Tengah.

“Tambang di wilayah-wilayah ini sudah merampas tanah-tanah warga, merusak dan mencemari sumber air, merusak hutan dan situs-situs adat, mencemari laut, konflik sosial, intimidasi dan kriminalisasi berujung di penjara,” kata Alsis.

Moratorium, katanya, seharusnya dikuti penegakan hukum tegas dan transparan, tak sebatas administrasi. Moratorium seharusnya, diikuti langkah pemulihan sosial dan ekologi karena pertambangan menimbulkan kerusakan dahsyat bagi ruang hidup dan konflik sesama warga hingga kini.

Umbu Wulang, Direktur Walhi NTT Umbu Wulang kepada Mongabay mengatakan, SK moratorium pertambangan tak selaras janji politik gubernur dan wakil untuk mencabut Izin usaha pertambangan di NTT.

Dihubungi per telepon Rabu (19/12/18) sore, Wulang menilai, dua poin jadi persoalan serius terkait moratorium tambang di NTT.

Dalam SK itu, katanya, pertambangan rakyat masuk wilayah usaha pertambangan rakyat (WUPR) masih bisa. Padahal, katanya, di seluruh kota dan kabupaten NTT belum ada WUPR.

SK moratorium tambang itu hanya bermain dalam ranah administrasi. Sedang janji politik, katanya, tambang akan dicabut.

Ada 309 izin pertambangan di NTT. Ia mengabaikan daya dukung lingkungan. Berdasarkan analisis Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT, ada 10-15% desa di NTT krisis air. Analisa ini dilihat dari tata kuasa, tata kelola, tata produksi, hingga tata konsumsi.

Janji gubernur terpilih NTT, tampaknya hanya janji. Satu lagi indikasi terlihat dari pembangunan smelter di Bolok, Kupang, terus berjalan.

 

Ratusan tenda milik penambang emas ilegal, yang hingga kini masih berdiri kokoh, di lokasi tambang Gunung Emas (Gunung Botak), Kabupaten Buru, Maluku. Foto : Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Kala smelter beroperasi, pertambangan akan lanjut. Sesuai regulasi, di daerah pertambangan harus ada smelter, dua hal ini jadi satu kesatuan. Saat smelter beroperasi, sektor pertambangan punya alasan untuk eksplorasi dan eksploitasi.

Wulang menilai, moratorium tambang minerba terkesan terburu-buru tanpa kajian komprehensif sesuai fakta empirik di lapangan.

Seharusnya, gubernur NTT membentuk tim khusus terlebih dahulu untuk evaluasi pertambangan di provinsi itu hingga bisa merumuskan surat keputusan yang tepat dengan kajian sesuai fakta. Dari evaluasi itulah. Katanya, dilihat keuntungan secara ekonomi, pemasukan daerah, bagaimana konflik horizontal terjadi dan lain-lain.

Walaupun baru sekitar tiga bulan memimpin, gubernur dan wakil belum sekalipun membicarakan soal pertambangan dalam perspektif HAM, terutama mereka yang hak atas lingkungan terrampas.

Dia contohkan, Gubernur NTT belum membuat audit agraria, bagaimana tata kuasa agraria dan siapa paling berkuasa atas tanah. “Jangan sampai investor memiliki luasan tanah lebih besar dari masyarakat terutama lahan-lahan yang dianggap produktif, misal, kawasan pertanian, pariwisata dan kawasan lain.”

“Perlindungan HAM dalam konteks agraria masih minim dari pemerintah, sejauh ini yang dibicarakan hanyalah konsep-konsep ekonomi semata,” kata Umbu.

Melky Nahar, pengkampanye Jatam kepada Mongabay, di Jakarta minggu lalu mengatakan, ada ratusan aktivis dan izin tambang tersebar di 17 kabupaten dan kota di NTT. Sebanyak 70 izin habis masa berlaku berpeluang dilelang ulang oleh pemerintah daerah.

NTT, katanya, masuk lima besar provinsi paling banyak pulau kecil di Indonesia. Direktori Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada 432 pulau kecil di NTT. Untuk itu, kehadiran tambang sangat rentan berdampak bagi kepulauan NTT.

“Lahan pangan sebelumnya dimanfaatkan pengembangan sektor pertanian dan perkebunan, mulai persawahan, sorgum, jagung, dan komoditas lain yang menopang kehidupan masyarakat NTT tergantikan tambang,” kata Melky.

Dampak perusakan kawasan hutan dan sumber mata air, berikut berdampak pada produktivitas pangan menurun.

Ia terjadi di Supul (Kabupaten TTS), Desa Satarpunda (Manggarai Timur), Wanggameti (Kabupaten Sumba Timur), dan beberapa titik lain di NTT. Pertambangan juga berdampak pada pencemaran laut, merupakan wilayah tangkapan ikan nelayan, seperti di Serise, Manggarai Timur.

“Konflik sosial terjadi antara warga dan perusahaan. Hampir di seluruh tambang di NTT. Kondisi ini masih terus berlangsung, meski beberapa perusahaan sudah pergi. Solusinya, kami ingin tambang ditutup, bukan hanya moratorium izin.”

 

Keterangan foto utama:   Kerusakan pulau-pulau kecil karena tambang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version