Mongabay.co.id

Setelah Divestasi Freeport, Bagaimana soal Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan?

"Daratan' yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

 

 

Negosiasi Pemerintah Indonesia dan PT Freeport McMoran Inc (Freeport) memasuki babak baru. Pemerintah membeli mayoritas saham Freeport. Freeport dapat izin usaha produksi khusus operasi produksi (IUPK-OP). Babak baru ini masih menyisakan persoalan lingkungan dan ruang hidup orang Papua.

Baca juga:  Catatan Kritis Divestasi Freeport

IUPK-OP untuk Freeport diserahkan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Bambang Gatot Ariyono kepada Direktur Utama Freeport Tony Wenas, Jumat (21/12/18) di Kantor ESDM, Jakarta.

Hadir sebagai saksi Sekjen KESDM Ego Syahrial, Sekjen Kemenkeu Hadiyanto, Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ilyas Asaad, Deputi Kementerian BUMN bidang usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Fajar Harry Sampurno, Direktur Inalum Budi G Sadikin dan CEO Freeport, Richard Adkerson.

Baca juga: Pemerintah Ambil Alih 51% Saham Freeport, Akankah jadi Kabar Baik bagi Lingkungan dan Orang Papua?

Divestasi ditandai pembayaran US$3,85 miliar oleh Inalum sebagai holding industri pertambangan pemerintah kepada Freeport dan Rio Tinto. Kepemilikan Inalum naik dari 9,36% jadi 51,23%.

Kepemilikan saham ini nanti terdiri dari 41,23% untuk Inalum dan 10% Pemerintah Papua. Saham Pemerintah Papua akan dikelola PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM) yang 60% saham akan dimiliki Inalum dan 40% BUMD Papua.

Inalum akan memberikan pinjaman kepada BUMD US$819 juta yang dijaminkan dengan saham 40% IPPM. Cicilan pinjaman dibayarkan dengan dividen Freeport yang didapatkan BUMD itu. Dividen itu tak akan digunakan sepenuhnya untuk membayar cicilan. Akan ada pembayaran tunai yang diterima Pemerintah Papua.

Baca juga:  Kementerian Lingkungan Permasalahkan Penanganan Limbah B3 Freeport di Mimika

Menyusul divestasi, dengan penyerahan IUPK-OP kepada Freeport, praktis Freeport dapat kepastian hukum dengan mengantongi perpanjangan masa operasi dua kali 10 tahun hingga 2041.

Freeport juga dapat jaminan fiskal dan regulasi. Freeport juga akan membangun pabrik peleburan (smelter) dalam jangka waktu lima tahun.

Bagi pemerintah, proses divestasi tuntas jadi bukti, Indonesia tetap mematuhi konstitusi untuk mengamankan sumber daya alam tanpa harus menasionalisasi kepemilikan asing.

Penyerahan IUPK-OP ini menyusul setelah sehari sebelumnya Kamis (20/12/18) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan tindak lanjut temuan BPK sebelumnya yang menyatakan ada kerugian ekosistem karena kegiatan Freeport sampai Rp185 triliun.

Anggota IV BPK RI Rizal Djalil mengatakan, dalam penerapan Kontrak Karya Freeport terdapat temuan signifikan penggunaan hutan lindung 4.535,93 hektar tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Saat ini, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, IPPKH sudah tahap finalisasi.

Selanjutnya, akan ditagih penerimaan negara bukan pajak (PNBP) IPPKH Rp460 miliar.

“Mengenai pembuangan limbah tailing, Freeport telah membuat roadmap sebagai rencana aksi penyelesaian permasalahan itu,” kata Siti, sembari menjelaskan kalau masalah ini sudah dibahas dengan KLHK.

 

Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah PT Freeport Indonesia. Foto: PT FI

 

Soal kekurangan penerimaan negara dalam bentuk PNBP dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi total US$1.616.454,16 menurut KLHK sudah selesai sesuai perundang-undangan berlaku.

KESDM dan KLHK juga membuat pembaharuan regulasi soal pengelolaan usaha jasa pertambangan sesuai rekomendasi BPK guna mencegah potensi penyimpangan masa datang.

Saat ini, BPK, kata Rizal, menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah mekanisme penyerahan 10% saham kepada masyarakat Papua. Berdasarkan pengalaman empiris dan pemeriksaan BPK terhadap BUMD yang bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu, katanya, selalu bermasalah dan menyimpang.

“Untuk menghindari masalah, BPK menyarankan supaya kepemilikan saham 10% untuk masyarakat Papua tak melalui setoran penyertaan modal tetapi pola perhitungan deviden,” saran Rizal.

BPK, sangat menghormati dan apresiasi kebijakan presiden divestasi 51% saham Freeport sesuai rapat terbatas tentang percepatan divestasi 29 November lalu.

 

 

Cidera hukum

Menanggapi percepatan proses divestasi ini, pakar hukum sumber daya alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan, divestasi saham ini praktis jadi pengusahaan kembali tambang emas di Papua oleh Freeport.

“Karena walau Inalum sebagai pemegang saham mayoritas, operator tetap Freeport,” katanya kepada Mongabay.

Freeport dan Rio Tinto, katanya, berpesta pora atas hasil penjualan saham kepada Inalum US$3.85 miliar. Padahal, operasi Freeport akan berakhir 2021.

“Inalum membeli sesuatu yang jadi milik diri sendiri.”

Doktor lulusan Universitas Indonesia ini menilai, divestasi dengan berbagai cidera hukum, seperti pemberian IUPK yang melanggar UU Minerba, kewajiban pembangunan smelter juga belum dilakukan. Lalu, kerusakan lingkungan massif karena pembuangan tailing, kerugian negara karena tidak membayar PNBP IPPKH.

Celakanya, sebagai pemegang saham mayoritas Inalum harus bersiap ikut menanggung tanggung jawab hukum, ekonomi, dan lingkungan yang jadi beban Freeport pada masa lalu.

 

Sepasang peta di atas, direkam dengan Thematic Mapper di Landsat 4 dan 5, memberikan gambaran hilangnya permukaan es di puncak Jaya Papua antara tahun 1989 (atas) hingga 2009 (bawah). Peta ini dihasilkan dari kombinasi antara infra merah gelombang pendek, infra merah jarak dekat, dan cahaya hijau. Es akan muncul dalam warna biru muda. Awan secara umum berwarna putih. Bebatuan berwarna coklat kemerahan, hutan berwarna hijau. Area berwarna abu-abu di tengah adalah area pertambangan Grasberg, yang memiliki cadangan emas terbanyak di dunia dan cadangan tembaga kedua terbesar di dunia milik PT Freeport. Peta NASA Earth Observatory dibuat oleh Jesse Allen and Robert Simmon, menggunakan data Landsat yang disediakan oleh United States Geological Survey. Gambar disediakan oleh: Adam Voiland.

 

Akhirnya, kata Redi, divestasi saham Freeport ini sangat merugikan kepentingan nasional. Padahal, katanya, ada opsi lain bisa dipilih seperti tak memperpanjang operasi Freeport pasca 2021, dengan menugaskan Inalum untuk melanjutkan.

“Kalau kita tunggu sampai kontrak berakhir 2021, benefit RI itu antara lain nilai cadangan sejak 2021 dan seterusnya, Inalum tak repot cari dana. Cost RI itu potential lost dari penundaan pembangunan smelter hingga 2021, perlambatan produksi dan nilai PNBP dan pajak currently yang tidak sebesar setelah 2021.”

Setelah 2021, Indonesia bisa mengumpulkan pemasukan dari berbagai sumber, bisa pajak, PNPB, royalti atau dana bagi hasil. “Direct and indirect economic impact buat masyarakat dan ekonomi Papua,” katanya.

 

 

Bagaimana proses kejahatan lingkungan?

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, dengan divestasi pemerintah bersama Freeport berkomplot melakukan kejahatan terhadap hutan dan lingkungan.

UU No 41/1999 Pasal 78 ayat 6 tentang Kehutanan menyatakan, setiap kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa IPPKH diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

“Penyelesaiannya hanya denda, padahal itu pidana. Bagaimana dengan peristiwa pidananya?” katanya mengacu pada tagihan PNBP Rp460 miliar dari KLHK kepada Freeport.

Menurut Merah, KLHK mesti investigasi pencemaran karena pembuangan limbang Freeport. Jatam mencatat, ada 22 kegiatan Freeport melanggar analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) setidaknya sejak 1991, salah satu perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektar jadi 584 hektar.

Meski membuat roadmap pembuangan limbah, Jatam menilai KLHK tetap harus menyelesaikan masalah pencemaran sungai yang jadi tempat membuang limbah beracun merkuri dan sianida yakni Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe.

“Ada kejahatan berlapis-lapis dan peristiwa pidana hanya dicuci dengan bayar denda.”

Merah sepakat jika divestasi pemerintah Indonesia sama dengan melimpahkan kejahatan lingkungan Freeport kepada pemerintah Indonesia baik pemerintah pusat maupun Papua. Pemerintah Indonesia, katanya, jadi pemegang saham mayoritas.

“Apakah dengan divestasi masalah lingkungan bisa selesai? Tidak,” kata Merah.

Berkaca dari sejumlah divestasi, catatan Jatam, sejumlah divestasi Indonesia kerap gagal, justru hanya ditunggangi dan menguntungkan oligarki dan mafia tambang.

Dia mencontohkan, divestasi PT Kaltim Prima Coal (KCP) di Kalimantan Timur, dan PT Newmont Nusa Tenggara (kini jadi AMMAN). Divestasi saham KCP, pemerintah pusat dan daerah kehilangan kesempatan dapat saham divestasi dan kerugian negara mencapai US$63 juta.

“Lingkaran korupsi melibatkan gubernur hingga Bupati Kaltim,” kata Merah.

Begitu juga AMMAN, pemegang kontrak karya generasi keempat terlilit kegagalan divestasi saham.

Jatam juga menyoroti kewajiban pembangunan smelter yang dengan terbit IUPK-OP praktis memberi waktu lagi bagi Freeport setidaknya lima tahun ke depan.

“Menurut Jatam, lebih baik tanya kembali ke masyarakat Papua, karena sejak awal kehadiran Freeport tidak pernah dapat persetujuan masyarakat Papua,” katanya.

Maurits J Rumbekwan, Direktur Eksekutif Walhi Papua memandang, divestasi tak membicarakan pemulihan lingkungan, belum akan menyelesaikan persoalan ruang hidup masyarakat Papua terutama yang tinggal di sekitar tambang.

“Itu dua hal berbeda. Kita tidak melihat seberapapun besar divestasi. Meski ada persentase 10% untuk Pemerintah Papua mestinya itu dua hal berbeda dengan tanggungjawab perusahaan memulihkan lingkungan,” kata Aish, sapaan akrabnya.

Walhi Papua, katanya, tetap meminta pemerintah mendesak perusahaan memulihkan lingkungan karena dampak masyarakat jauh lebih mahal dari nilai divestasi.

Selain itu, katanya, persentase kepada Pemerintah Papua, tak bisa serta merta masuk sebagai pemulihan lingkungan.

“Porsinya berbeda. Setiap kali mereka menunda (pemulihan) dan terus menunda, sementara satu detik limbah yang masuk ke sungai mengancam sekali,” katanya.

Walhi Papua, menyoroti persentase pemerintah daerah baru dibicarakan tahun ini tetapi pencemaran sudah puluhan tahun, tak pernah dibicarakan. Pemerintah, dinilai gagal kalau hanya menilai nilai nominal, sementara nilai kemanusiaan terabaikan dalam setiap kebijakan. Dia sebutkan, perhitungan hanya tagihan Rp460 miliar karena memakai kawasan hutan tanpa IPPKH. Soal, kerusakan lingkungan dan kerugian warga sekitar belum masuk hitungan.

Setelah perusahaan datang berbagai masalah timbul. Survei Walhi terhadap masyarakat pesisir sekitar tambang menemukan antara lain, kualitas ikan menurun sejak Freeport membuang limbah yang bermuara ke laut.

“Perusahaan dan pemerintah baik pusat dan daerah jangan lupa, tambang itu tak berdiri sendiri. Ada komunitas masyarakat sekitar yang hidup aman sebelum perusahaan datang.”

 

Keterangan foto utama:    Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. Foto: Yoga Pribadi

 

Peta satelit dari kawasan pertambangan PT Freeport

 

Exit mobile version