Mongabay.co.id

Mahkamah Agung Menangkan Kementerian Lingkungan, PT NSP Harus Bayar Rp1 Triliun

 

 

Kabar baik di awal tahun. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas kasus kebakaran hutan dan lahan PT National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Meranti, Riau.

Kasasi MA yang putus Senin (17/12/18) dengan perkara nomor 3067 K/PDT/2018. Hakim Agung yang menangani perkara Hamdi, bertindak sebagai hakim anggota Yunus Wahab dan Soltoni Mohdally.

Baca juga: Pakar: Vonis NSP Nodai Keadilan Lingkungan, Mengapa?

NSP, merupakan anak perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk, oleh MA dinyatakan bersalah dan mutlak harus bertanggungjawab atas peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Perusahaan juga wajib membayar ganti rugi, biaya pemulihan dan rehabilitasi sebesar Rp1 triliun.

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Sengketa Direktorat Penegakan Hukum KLHK mengatakan, hingga kini KLHK belum menerima pemberitahuan isi maupun salinan putusan. Dia hanya mengetahui putusan MA dari website.

“Kami tahu dari website MA yang isinya ada putusan kasasi MA terhadap NSP yang dinyatakan kabul. Lebih jelasnya kalau KLHK sudah menerima rilis supaya tahu persis isi putusannya,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Ragil menunggu MA mengirimkan salinan putusan kasasi. Setelah mengetahui isi putusan, baru KLHK bisa menentukan langkah-langkah lanjutan.

Baca juga: Kasus Kebakaran Hutan, Mejelis Hakim Hukum PT NSP Bayar Rp1 Triliun

Kasus pidana yang menjerat NSP bermula sejak 2015, saat peristiwa kebakaran hutan dan lahan hebat melanda Riau. Titik api yang menyebabkan asap tebal itu juga banyak dari kebun milik NSP. Menindaklanjuti hal itu, KLHK melalui Dirjen Penegakan Hukum menggugat perusahaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pada 11 Agustus 2017, memutus NSP bersalah membakar lahan seluas 3.000 hektar dan harus membayar Rp1 triliun. Rinciannya, ganti rugi Rp319 miliar dan biaya pemulihan Rp753 miliar.

Tak puas dengan putusan PN Jaksel, NSP mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. 4 Desember 2017, putusan banding malah memenangkan NSP. Kala itu, menyatakan gugatan KLHK tidak dapat diterima. KLHK tak tinggal diam, mengajukan kasasi kepada MA.

 

Banyak putusan belum eksekusi

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menyambut baik putusan MA. Namun, katanya, sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, persoalan berikutnya eksekusi putusan, terutama terkait biaya rehabilitasi dan ganti rugi.

“Sangat mendesak ada terobosan hukum untuk ini. Jika tidak, putusan MA hanya bagaikan macan kertas, tak menimbulkan efek jera bagi penjahat lingkungan hidup. Apalagi terkait kejahatan korporasi,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

Dia menyarankan, ada surat edaran dari MA yang memerintahkan pengadilan tinggi setempat segera eksekusi untuk kasus-kasus lingkungan hidup bekerjasama dengan KLHK.

Selama ini, katanya, sudah banyak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap tetapi belum dieksekusi karena ketidakjelasan mekanisme.

“Karena ini menyangkut lintas kementerian, mungkin perlu ada aturan dari presiden, misal, untuk perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah dan sudah berkekuatan hukum tetap, dilakukan pembekuan aset dan rekening perusahaan.”

KLHK, juga perlu berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, kepolisian juga MA sendiri untuk membahas bagaimana putusan bisa eksekusi, misal, dengan bikin surat keputusan bersama.

“Untuk gugatan ke depan, perlu ada tuntutan sita jaminan di dalam gugatan pemerintah. MA ketika memutuskan juga perlu memasukkan sita jaminan dalam putusan.”

Senada dengan Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL). “Kami menyambut baik putusan Majelis Kasasi Mahkamah Agung atas gugatan ganti rugi yang terjadi di lahan NSP,” katanya.

Gugatan ini, diajukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas nama pemerintah dan dikabulkan majelis kasasi dengan ganti rugi Rp1 triliun. “Apresiasi juga layak diberikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”

Putusan ini, katanya, menambah deret keberhasilan pemerintah dalam menindak para pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan karena karhutla. “Salut untuk KLHK, tentu juga pengadilan.”

Meski begitu, Henri juga mengingatkan kepada pemerintah dan MA bahwa saat ini sudah ada sembilan perkara memang dan berkekuatan hukum tetap dengan total kerugian sekitar Rp18,5 triliun. Sayangnya, belum satupun eksekusi oleh pengadilan setempat.

Beberapa perusahaan sudah dinyatakan bersalah dan harus bertanggungjawab antara lain PT Kalista Alam, PT.Merbau Palelawan Lestari, PT.Bumi Mekar Hijau, PT Waimusi Agroindah, PT Waringin Agro Jaya, PT Jatim Jaya Perkasa. Juga, PT Ricky Kurniawan Kertapersada, PT Surya Panen Subur, dan terakhir PT National Sago Prima. Adapun pengadilan negeri yang bertanggungjawab eksekusi antara lain Meulaboh, Pekanbaru, Palembang, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jambi.

“Kemenangan ini langkah awal yang harus berdampak kepada pemulihan lingkungan setempat. MA seharusnya mengingatkan atau menegur para ketua pengadilan negeri apabila terbukti lalai menjalankan eksekusi yang tentu akan berdampak buruk pada citra pengadilan,” katanya.

Henri juga mengimbau, Menteri LHK melakukan langkah-langkah koordinasi dengan MA agar eksekusi tak berlarut-larut.

“Publik tentu sangat berharap putusan-putusan ini berdampak positif bagi lingkungan setempat sebagaimana dimandatkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”

 

Keterangan foto utama:   Api kebakaran hutan dan lahan masih menyala di Riau. Foto: Walhi Riau

 

 

Exit mobile version