Mongabay.co.id

Longsor Sukabumi, Siapkah Masyarakat Hidup di Wilayah Rawan Bencana?

 

Masyarakat perlu memahami kondisi geografis tempat mereka tinggal. Terutama, bila berada di daerah rawan bencana. Pengetahuan ini merupakan bekal sekaligus upaya adaptasi ketika masyarakat ingin hidup berdampingan dengan alam.

Empat hari pasca-bencana longsor di Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, suasana kebatinan 67 korban masih berselimut duka. Mereka adalah korban selamat dari kejadian longsor yang menimbun 32 rumah berpenghuni 100 orang. Tim Search and Rescue (SAR) hingga Jumat malam (4/1/2018) telah menemukan 22 jenazah, sementara 11 warga belum ditemukan akibat bencana tersebut.

Senin (31/12/2018) petang, adalah hari yang tak peinah bisa dilupakan Enih (55). Lelaki ini tidak menyangka, sesaat setelah pulang dari sawah, bencana akibat pergerakan tanah datang menghampiri.

Rumah Enih rusak parah bagian belakang. Tempat tinggal puluhan tahun itu, hanya berjarak sekitar 300 meter dari Lereng Bukit Lebak Salak yang longsor.

“Kejadiannya begitu cepat. Diawali gemuruh keras. Dalam hitungan detik, rumah saya sudah dikepung (material) longsor,” katanya Selasa (1/1/2019).

Baca: Memaknai Bencana Alam dengan Perspektif Baru

 

Longsor yang melanda Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin (31/12/2018). Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Anak Enih, Sumar (35), merupakan korban selamat dari peristiwa mengenaskan itu. Dia berhasil membawa istrinya, Sumiati (20), dan anaknya, Sofi (7 bulan), lari keluar rumah saat mendengar gemuruh.

“Kerasnya suara mendorong saya pergi. Yang saya pikirkan waktu itu, bagaimana caranya menyelamatkan keluarga,” tuturnya. Dia bercerita, sebelum longsor, kawasan tersebut sempat diguyur hujan intensitas kecil.

Baca: Mitigasi Bencana, Jangan Lagi Dipandang Sebelah Mata

 

Bencana longsor yang datang begitu cepat di Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sumar yang berkerja sebagai juru tani memang sempat mengamati runtutan longsoran kecil yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Ada pergerakan tanah sekitar 2-3 jengkal di atas lereng bukit. Menurut dia, retakan-retakan tanah sudah lama diketahui warga juga. Namun, Sumar tidak menyangka sama sekali bila tanda – tanda itu bakal memicu longsor besar. Jikalau pun longsor, sebagian warga sudah mengira arahnya lebih ke barat daya, jauh dari permukiman.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Lingkungan Rusak, Bencana Makin Mengancam, Bagaimana Prediksi 2019?

 

Pengetahuan mitigasi bencana perlu ada bagi masyarakat yang hidup di wilayah bencana. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Lahan di sekitar lereng memang digunakan untuk pertanian sawah. Padahal, lahan dengan kemiringan yang diduga lebih dari 30 derajat itu paling tepat dimanfaatkan untuk tanaman tegakan keras.

“Tanah di lereng itu sering bergerak dan longsor. Tapi ini betul-betul diluar prediksi,” ungkapnya.

Baca juga: Bencana Longsor Makin Sering Terjadi di Jabar. Kenapa?

 

Pencarian korban akibat bencana longsor terus dilakukan tim SAR. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dihubungi terpisah, Ahli Geolog Terapan Institut Teknologi Bandung, Imam Sadisun menilai, kejadian pergerakan tanah atau longsor di Cisolok merupakan jenis longsoran yang dilanjutkan dengan aliran bahan rombakan. Material yang menggelincir dari bagian ke bawah lereng dinamakan debris flow. Sehingga, longsoran itu terjadi begitu cepat dan besar.

Dia menjelesakan, karakter longsoran tergantung viskositas (kadar air dalam rombakan). Sehingga makin banyak kadar air dalam tanah dan kemiringan lereng, sangat mempengaruhi kecepatan. Secara umum sumber material longsoran berada di bagian atas, di tengah merupakan jalur aliran dan bawah adalah area terendapnya bahan rombakan.

“Yang menarik, posisi permukiman dibatasi lembah. Longsoran yang terjadi seolah melompat. Lembah juga sebenarnya tidak aman dijadikan hunian karena gelinciran longsor mengikuti alur lembah ke areal yang relatif datar. Pada prinsipnya, longsoran membentuk lereng baru yang lebih stabil,” papar Imam.

 

Masyarakat Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tak pernah menduga bila bencana longsor akan menghantam permukiman mereka di ujung Desember 2018. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kewaspadaan

Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi Eka Widiaman, mengaku kesulitan memberikan pemahaman mitigasi bencana kepada masyarakat. Pasalnya, di Sukabumi ada 389 desa yang berada di daerah rawan bencana. Dalam satu tahun, pihaknya hanya mampu memberikan pemahaman untuk 10-20 desa.

“Wilayah Cisolok salah satu daerah prioritas penanganan bencana. Sebab, di hulunya rawan longsor, sedangkan di hilir rawan tsunami dan gempa bumi,” katanya.

Selain itu, dia menyebut lokasi longsor merupakan wilayah konservasi yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Areal bencana ini juga merupakan wilayah adat Kasepuhan Sinar Resmi.

 

Jawa Barat merupakan wilayah yang rawan longsor. Pengurangan risiko bencana harus dilakukan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai TNGHS, Awen Supranata membenarkan, wilayah tersebut masuk kawasan taman nasional. Dia menjelaskan, sesuai Permenhut No. P. 56/Menhut-II/2006 terdapat empat zona dalam taman nasional yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang mencakup zona tradisional; zona rehabilitasi; zona religi, budaya, sejarah; dan zona khusus. Untuk wilayah yang berbatasan dengan adat Kasepuhan dijadikan zona khusus.

“Sebenarnya, zona khusus peruntukannya untuk memfasilitasi yang sudah telanjur. Lantaran, dulunya merupakan lahan Perum Perhutani, banyak masyarakat yang menggarap lahan,” ujarnya.

 

Cisolok merupakan salah satu wilayah prioritas penanganan bencana di Sukabumi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, saat meninjau lokasi mengaku sedang menyiapkan master plan ketangguhan hidup dengan bencana. Hal itu dilakukan karena peran pemerintah dianggap penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang mitigasi bencana di wilayahnya.

“Edukasi masyarakat bukan perkara mudah. Sekalipun ada anjuran zona merah, memindahkan masyarakat juga sulit. Sehingga, pilihannya adalah mendidik masyarakat agar peduli bencana,” jelasnya.

Menurut dia, wilayah di Jawa Barat memang rawan longsor. Sebab, berdasarkan 1.560 kejadian bencana alam 2018, 550 kejadian merupakan bencana longsor. “Sehingga, pengurangan risiko bencana harus menjadi atensi semua pihak.”

 

Korban jiwa akibat bencana longsor di Sukabumi tidak dapat dihindari. Pemahaman masyarakat terkait bencana harus diberikan agar mereka mengenali wilayah tempat tinggalnya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei menambahkan, pihaknya telah meminta pemerintah daerah untuk mengkaji rencana relokasi korban longsor. “Hal itu dikarenakan lokasi dampak bencana tak mungkin dihuni kembali.”

Berdasarkan data BNPB 2016, sebanyak 274 kabupaten/kota di Indonesia berada di daerah bahaya sedang-tinggi dari pergerakan tanah. Jumlah penduduk terpapar dari bahaya sedang-tinggi gerakan tanah ini mencapai 40,9 juta jiwa.

 

 

Exit mobile version