Mongabay.co.id

Bagaimana Ancaman Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil?

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Indonesia akan menjadi satu dari banyak negara pulau dan kepulauan di dunia yang merasakan dampak dari perubahan iklim di kawasan pesisir. Dalam hitungan 15 tahun ke depan, dampak tersebut akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia Timur diprediksi akan menjadi wilayah terparah yang terkena dampak.

Kepala Sub Direktorat Perubahan Iklim Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) Sudhiani Pratiwi mengatakan, perubahan iklim tak hanya berdampak pada kehidupan biota laut beserta perairannya saja. Namun juga, berdampak pada sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan pesisir.

“Jika tidak dilakukan antisipasi dari sekarang, akan muncul banyak sekali masalah di pesisir. Tak hanya teknis, namun juga non teknis,” ucapnya di Jakarta, Rabu (9/1/2019).

baca :  IPCC : Hanya Tersisa 12 Tahun untuk Mencegah Bencana Ekstrim Akibat Perubahan Iklim

Menurut Sudhiani, kawasan terparah yang terdampak perubahan iklim diprediksi terjadi di sekitar pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kawasan Selatan Maluku. Di kedua kawasan tersebut, gelombang air laut akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter. Kondisi itu, dipastikan akan menyulitkan para nelayan yang harus mencari ikan menggunakan perahu tradisional.

Satu-satunya cara agar dampak dari perubahan iklim itu bisa diatasi, kata Sudhiani, adalah dengan menyiapkan langkah antisipasi dari sekarang. Walaupun masih jauh, tetapi kesiapan menghadapi situasi akan menjadi solusi paling bagus untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Terlebih, kawasan pesisir adalah kawasan paling rentan terkena dampak tersebut.

“Pemetaan masalah sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, persoalan pesisir itu ada kaitan erat dengan sosial ekonominya. Itu berarti, masyarakat di sekitar harus dilibatkan, karena memang merekalah yang akan terdampak secara langsung,” ungkapnya.

Tentang kenaikan gelombang air laut, menurut Sudhiani itu harus dicarikan solusi dari sekarang, salah satunya dengan mengganti perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan lokal. Perahu yang akan digunakan berikutnya, minimal harus berukuran 10 gros ton (GT) dan terbuat dari material yang kuat dari serangan korosi air laut.

baca juga :  Negara Kepulauan Semakin Terancam Hadapi Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kemiskinan Pesisir

Untuk bisa melaksanakan program penggantian kapal, Sudhiani menyebutkan, perlu ada koordinasi yang baik untuk melaksanakan pembagian tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Walaupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah melaksanakan pembagian kapal kepada nelayan dalam beberapa tahun terakhir, namun dia berpendapat untuk program penggantian kapal bagi nelayan yang terdampak perubahan iklim, harus melibatkan banyak kementerian dan instansi.

Melihat dampak yang akan menyulitkan para nelayan tersebut, Sudhiani melihat bahwa ada potensi besar kehilangan pekerjaan dan sumber ekonomi bagi nelayan di wilayah pesisir, terutama yang terdampak langsung perubahan iklim. Tanpa ada intervensi Pemerintah, maka angka kemiskinan saat itu akan meningkat drastis di wilayah pesisir.

“Perlu ada diversifikasi profesi yang ditawarkan kepada nelayan. Jika memang sudah tidak mungkin lagi menjadi nelayan, apa yang harus dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup. Begitu juga, jika tetap menjadi nelayan, harus bagaimana agar bisa tetap bertahan,” jelasnya.

Pernyataan Sudhiani kemudian diperkuat oleh Kepala Sekretariat Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) BAPPENAS Putra Dwitama. Menurutnya, seluruh provinsi harus bisa bersinergi dengan Pemerintah pusat berkaitan dengan adaptasi perubahan iklim (API) yang saat ini dilaksanakan.

“Perlu ada zonasi untuk pengaturan kawasan pesisir. Harus ada pembaruan untuk mengadaptasi perubahan iklim yang terjadi hingga 2045 mendatang,” tuturnya.

Putra menyebutkan, untuk bisa melaksanakan RAN API, Pemerintah harus mengubah haluan untuk tidak lagi melaksanakan program sesuai kebutuhan pemerintah. Akan tetapi, mulai sekarang adaptasi harus melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Konsep seperti itu harus diterapkan, karena masyarakat akan menjadi aktor utama di lapangan.

baca juga :  Begini Seruan Indonesia Atasi Dampak Perubahan Iklim untuk Negara Kepulauan di Dunia

 

Kawasan pemukiman di Kepulauan Jemaja, Anambas, kepulauan Riau. Pulau ini terancam rusak karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan karet. Foto : anambaskab.go.id

 

Di tempat sama, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti mengakui bahwa masalah sosial ekonomi hingga saat ini menjadi masalah pelik yang belum dipecahkan untuk adaptasi perubahan iklim. Dia berharap, konsep dan desain yang dibuat oleh LIPI untuk kebijakan inklusif bisa menjadi referensi dan bagian dari program RAN API.

“Kita ingin mengangkat persoalan masyarakat di pesisir, karena memang mereka bagian tak terpisahkan dari RAN API. Mereka harus bisa keluar dari ancaman kemiskinan karena dampak perubahan iklim. Ini yang menjadi fokus,” tuturnya.

Nuke menjelaskan, sejak 2017 pihaknya melakukan kajian dan penelitian tentang masyarakat pesisir yang akan terkena dampak perubahan iklim. Untuk mencari jawaban dan solusi dari permasalahan tersebut, LIPI menggunakan beberapa model pemecahan masalah yang diterapkan di beberapa kawasan, seperti Medan (Sumatera Utara), Lampung, dan Selayar (Sulawesi Selatan).

 

Kepedulian Masyarakat

Dengan menguji coba beberapa model sekaligus, Nuke menyebutkan, pihaknya ingin meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi masyarakat pesisir melalui peningkatan public awareness dengan pendekatan spesifik sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok masyarakat. Selain itu, dari hasil penelitian juga didapat fakta bahwa penyediaan layanan dasar untuk kelompok berkebutuhan khusus menjadi hal yang tidak bisa dihindari di masa mendatang.

“Akses informasi, teknologi tepat guna, modal untuk kelompok rentan ekonomi sesuai dengan jenis pekerjaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Juga, harus dilakukan revitalisasi pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat pesisir dalam melaksanakan adaptasi perubahan iklim,” terangnya.

Dengan memahami kondisi masyarakat pesisir, Nuke mengatakan bahwa RAN API yang sekarang berlangsung akan berjalan lebih baik lagi dan semakin kuat. Untuk itu, hasil kajian yang sudah dibukukan tersebut akan menjadi bagian dari rekomendasi untuk RAN API yang kebijakannya dipegang oleh BAPPENAS.

“Selama ini, masyarakat di pesisir belum masuk bahasan dalam RAN API. Mulai sekarang, mereka akan menjadi bagian untuk menghadapi dampak perubahan iklim,” tandasnya.

menarik dibaca :  Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

 

Perempuan nelayan harus berkutat dengan kondisi cuaca tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Untuk masyarakat yang ada di kawasan pesisir, menurut Peneliti Kependudukan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati, adalah bagian yang harus selalu dilibatkan dalam RAN API. Terlebih, di sana juga ada kelompok masyarakat yang terdiri dari kelompok rentan karena kondisi fisik dan kesehatan, dan kelompok rentan ekonomi seperti masyarakat miskin.

Dengan fakta tersebut, Deny mengungkapkan, Pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana yang ramah terhadap kelompok rentan dan dilengkapi dengan aplikasi yang mudah digunakan. Kemudian, perlu juga dibangun infrastruktur, sistem peringatan dini kebencanaan, dan penyediaan rencana aksi adaptasi untuk kegiatan masyarakat pesisir.

“Juga, peningkatan partisipasi semua masyarakat pesisir dalam pembangunan, pemeliharaan, dan pengawasan pelindung pantai dan peringatan dini, serta pelestarian sumber daya pesisir,” ucapnya.

Pentingnya memetakan persoalan, menurut Deny, karena masyarakat yang mendiami desa-desa di kawasan pesisir jumlahnya diperkirakan mencapai 158 juta jiwa atau mencapai 60 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa pada 2018. Mereka yang tinggal di pesisir, sebagian besar bergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghidupan.

“Mereka tinggal di lokasi yang beresiko tinggi. Jadi, kita harus melibatkan mereka dalam RAN API,” tegasnya.

Lebih detil, Deny memaparkan ada lima klaster hasil penelitian LIPI untuk memetakan persoalan masyarakat pesisir untuk API. Kelimanya adalah:

  1. Pentingnya meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi masyarakat pesisir yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk kebutuhan kelompok rentan;
  2. Pentingnya pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan dan ekosistem untuk adaptasi perubahan iklim;
  3. Pentingnya pengintegrasian upaya adaptasi ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
  4. Pentingnya pengembangan dan implementasi ketahanan desa pesisir; dan
  5. Pentingnya perbaikan sistem pendukung adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

***

Keterangan foto utama :  Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version