Mongabay.co.id

Doni Monardo: Tangani Bencana Perlu Kerja Bersama

Kebakaran hutan dan lahan di Sulawesi Tenggara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Presiden Joko Widodo secara resmi melantik Letnan Jenderal TNI Doni Monardo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Laksda TNI (purn) Willem Rampangile di Istana Negara Jakarta, Rabu 09/1/19). Pria kelahiran Cimahi, 10 Mei 1963 ini, sebelumnya menjabat sebagai Sesjen Dewan Ketahanan Nasional.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Lingkungan Rusak, Bencana Makin Mengancam, Bagaimana Prediksi 2019?

“Ini pertama kalinya saya bertugas di sebuah lembaga setingkat kementerian juga di luar struktur TNI,” katanya, pada acara serah terima jabatan di Kantor BNPB Jakarta.

Meskipun begitu, katanya, BNPB bukan hal asing baginya. Sebelum BNPB terbentuk, dia pernah terlibat dalam penanggulangan bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2004.

“Beberapa hari lalu Pak Willem sudah memberikan penjelasan dan briefing kepada saya tentang apa itu BNPB. Tugas-tugasnya, ritme kerja, koordinasi dan beberapa hal lain. Saya harus belajar banyak bagaimana para prajurit pasukan khusus penanggulangan bencana di BNPB. Tanpa bantuan mereka, saya tak bisa bekerja,” katanya.

Baca juga:  Peluang yang Selalu Ada untuk Pulihkan Sungai Citarum

Pada 2017-2018, Doni menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi. Kala itu, dia juga terlibat aktif dalam gerakan Citarum Harum.

“Saya perlu waktu mendalami lebih jauh tentang manajemen, kegiatan operasional penanggulangan bencana. Terutama belajar dari penanggulangan bencana di NTB, Sulteng, Banten dan Lampung. Termasuk terakhir longsor di Cisolok.”

Doni Monardo (dari kiri) sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Laksda TNI (purn) Willem Rampangile. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Rawan bencana

Indonesia, katanya, berada di antara dua benua, dua samudera yang berada pada posisi ring of fire dan patahan lempeng. Gunung berapi pun ada ratusan dan sebagian besar masih aktif. Indonesia, katanya, juga berada pada patahan lempeng yang setiap saat bergerak. Dari situ, katanya, ancaman nyata Indonesia adalah kebencanaan.

“Itu baru dua aspek gunung berapi dan patahan lempeng. Belum dari ancaman lain seperti tanah longsor, banjir, juga kebakaran hutan. Satu hal lagi yang perlu kita cermati, kerusakan ekosistem. Ini perlu perhatian kita semua,” katanya.

Baca juga : Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, Ratusan Orang Tewas, Infrastruktur Rusak Parah

Ke depan , katanya, kita perlu bersama-sama meningkatkan kemampuan, bekerjasama dengan semua lembaga agar memiliki kepedulian tinggi terhadap risiko bencana.

BNPB, katanya, tak mungkin bisa menyelesaikan persoalan bencana sendiri jadi harus merangkul berbagai pihak, termasuk masyarakat.

Tahun ini, katanya, BNPB akan berhadapan dengan musim kemarau. Tentu tantangan akan berbeda. Ancaman kekeringan dan kebakaran hutan, katanya, ada di depan mata. Meski dalam beberapa tahun terakhir, upaya penanggulangan peristiwa kebakaran hutan dan lahan boleh dibilang cukup berhasil, katanya, namun kewaspadaan harus ditingkatkan.

“Beberapa tahun terakhir penanganan bencana asap mendapatkan pujian dari berbagai pihak. Kita harus memberikan apresiasi luar biasa kepada jajaran BNPB khusus yang sudah bekerja keras. Ini harus kita jaga dan pertahankan,” katanya.

Baca juga: Tsunami Selat Sunda Tewaskan 222 Orang, BNPB: Hindari Dekat Pantai dan Tetap Waspada

Dia pun mengajak seluruh komponen masyarakat mencintai alam dan menjaga ekosistem. “Tentu akan lebih baik dan sekaligus jadi modal besar bagi kita.”

 

Banjir di Kota Malang, Desember lalu. Foto: dari Facebook Komunitas Asli Peduli Malang

 

Doni mengatakan, mitigasi bencana erupsi gunung berapi, patahan lempeng, gempa bumi, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain-lain bagian tugas BNPB. Dalam waktu dekat, dia akan berdiskusi intensif dengan jajaran BNPB juga Willem Rampangile.

Meski begitu, Doni belum bisa menjabarkan langkah-langkah apa saja yang akan dia lakukan dalam waktu dekat. Dia akan fokus mempelajari terlebih dahulu mengenai BNPB.

“Untuk kebutuhan alutsista dan alat-alat apa saja yang kita butuhkan, saya belum bisa menjawab. Saya akan briefing dulu bersama Pak Willem dan jajaran deputi. Nanti kita bisa memberikan usulan kepada pemerintah dan Menteri Keuangan kira-kira alat-alat apa yang dibutuhkan.”

Baca juga: Ketika Api Ludeskan Kebun, Rumah dan Harta Benda Warga Rokan Hilir

Willem Rampangile bilang, sudah mengenal Doni sejak lama. Terakhir, keduanya pernah ikut terlibat dalam ekspedisi NKRI poros NTB dan NTT pada 2014. Dia berharap, Doni bisa melanjutkan apa yang sudah BNPB kerjakan sebelumnya.

Dia bilang, hampir semua wilayah di Indonesia, katanya, rawan bencana. Willem menyebut, ada 150 juta orang tinggal di daerah rawan bencana gempa, 40 juta orang tinggal di rawan bencana longsor, 60 juta orang di rawan banjir, 4,2 juta rawan tsunami, dan 3,5 juta orang rawan erupsi gunung merapi.

“Berdasarkan data dan pengamatan tren bencana dari tahun ke tahun tidak makin menurun tetapi meningkat dan makin kompleks penanganannya.”

Pada 2018 lalu, tercatat 2.572 kali bencana, dengan korban meninggal 4.814 orang dan 10.239 juta jiwa terdampak. Bencana 2018, juga menimbulkan kerusakan pada 320.000 rumah, 1.736 fasilitas pendidikan, 106 fasilitas kesehatan dan 857 fasilitas peribadatan.

“Kita melihat dampak dari bencana demikian masif. Bila kita cermati dari tiga bencana terakhir di NTB, Sulteng dan Selat Sunda, menunjukkan karakter bencana sangat unik dengan bencana-bencana yang lain. Antara satu bencana tak akan pernah sama dengan bencana lain walaupun jenis sama,” katanya.

 

Kondisi di sekitar pesisir Pantai Banten, setelah sapuan tsunami, Sabtu lalu. Foto: BNPB

 

Negeri ini menghadapi kecenderungan bencana meningkat karena masalah-masalah sangat kompleks, antara lain soal pertumbuhan penduduk membutuhkan banyak lahan, urbanisasi, degradasi lingkungan, DAS kritis, maupun deforestasi terus terjadi .

“Ini menunjukan kita belum sensitif terhadap risiko bencana. Belum lagi perilaku masyarakat belum mencerminkan budaya sadar bencana.”

Kondisi diperparah lagi dengan pertumbuhan sesar gempa. Tahun 2010, ditemukan ada 86, akhir tahun 2015 ada 294.

“Dalam menjamin upaya pengurangan risiko bencana, BNPB telah menggagas pembentukan blue print yang kita beri nama Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2015-2045. BNPB juga restrukturisasi organisasi yang semula hanya ada empat deputi, jadi lima. Ini karena struktur organisasi sudah tak mampu lagi beradaptasi dengan dinamika bencana,” katanya

BNPB juga sudah membuat mobile apps penanggulangan bencana untuk kepentingan diseminasi informasi kebencanaan sekaligus sebagai sarana edukasi.

 

Politeknik Penanggulangan Bencana

Menurut Willem, sumber daya manusia menjadi tantangan krusial. BNPB dengan jumlah pegawai sebanyak 498 personil direkrut dari berbagai disiplin ilmu, tak fokus disiplin ilmu kebencanaan saja.

Mengatasi masalah ini, BNPB bekerjasama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kemeristek Dikti pada 2017 berinisiatif membangun Politeknik Penanggulangan Bencana. Politeknik setingkat D-4 ini didirikan di Sentul. Pembukaan masa pendidikan akan mulai 2019 ini.

Akhir tahun lalu, BNPB juga melakukan pelatihan untuk para Dandim dan Danrem kerjasama dengan Panglima TNI dan Polri. Menurut Willem, ini langkah strategis karena dalam berbagai peristiwa bencana, Dandim dan Danrem adalah koordinator penanggulangan bencana.

 

Keterangan foto utama:   Kebakaran hutan dan lahan di Sulawesi Tenggara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Sumber: BNPB
Cisolok merupakan salah satu wilayah prioritas penanganan bencana di Sukabumi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Tanah yang runtuh pasca-gempa di Donggala Kodi, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9/2018). Foto: Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version