Mongabay.co.id

Tsunami Selat Sunda: Mitigasi dan Kesiapan Hadapi Bencana Harus Ada

Kondisi di sekitar pesisir Pantai Banten, setelah sapuan tsunami, Sabtu lalu. Foto: BNPB

 

Jelang pergantian tahun, tepatnya 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau erupsi. Akibat letusan itu, tubuhnya longsor sekitar 64 hektar. Diperkirakan, volume runtuhannya mencapai 150-180 juta meter kubik.

Longsoran ini juga diyakini menciptakan tsunami Selat Sunda yang menghantam wilayah pesisir Provinsi Lampung dan Banten. Diperkirakan, korban meninggal mencapai 430 orang dan melukai ribuan orang.

Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kristianto membenarkan, berdasarkan pengamatan visual dan pengukuran, tinggi Gunung Anak Krakatau yang semula 338 meter, saat ini hanya 110 meter.

“Penyebab letusan saja tidak cukup untuk membangkitkan tsunami. Harus ada penelitian lebih komprehensif membedahnya,” kata dia, ditemui Mongabay baru-baru ini.

Baca: Fase Konstruksi, Gunung Anak Krakatau Berproses Membangun Tubuhnya

 

Erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada 1992. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda tergolong gunung api strato tipe A, aktif dan berpotensi meletus kapanpun. Meski demikian, Kristianto mengatakan, berdasarkan skala eksplosif potensi letusan saat ini, secara teoritis seharusnya erupsi relatif lebih kecil karena dipengaruhi tubuh Anak Krakatau yang menurun.

“Longsoran telah menyebabkan air laut masuk ke kalderanya. Sehingga, prediksi letusannya tidak akan seperti awal Krakatau erupsi,” papar Kristianto. Diprediksi, volume yang tersisa saat ini berkisar 40-70 juta meter kubik.

Sejatinya, letusan Krakatau pada 26-27 Agustus 1883, merupakan aktivitas awal Krakatau yang tenang selama 200 tahun tanpa gejolak vulkanis. Penyimpanan energi besar di bawah kawahnya melontarkan ledakan dahsyat.

Lebih lanjut Kristianto menjelaskan, periodesasi aktivitas Krakatau tahunan ditunjukkan dengan lontaran material pijar, aliran larva, dan awan panas yang intensif. Sedangkan jangka panjangnya, dapat dilihat dari terakhir kali letusan besar terjadi.

Jika dihitung letusan terakhir tahun 1927, setelah tenang 44 tahun, gunung itu tumbuh sekitar 4 meter per tahun. “Selama itu pula Gunung Anak Krakatau membangun tubuh dari bawah,” ujarnya.

Baca:   Tsunami Hantam Pantai Selat Sunda, Bagaimana Nasib Badak Jawa?

 

Gunung Anak Krakatau, yang tampak dua tahun dari awal terbentuknya. Foto diambil 12 atau 13 Mei 1929. Foto: Wikimedia Commons/Koleksi Tropenmuseum

 

Perlu kesiapsiagaan

Dikutip dari Antara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta pemerintah daerah memperkuat mitigasi bencana guna meminimalisir korban masyarakat pesisir. “Kita harus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan,” kata Kepala BNPB, Doni Monardo saat meninjau lokasi wisata Sambolo Pantai Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, Sabtu [12/1/2019].

Terkait mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami, sejak 2005, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mendirikan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, InaTEWS (IndonesiaTsunami Early Warning System). Tujuannya, memberikan peringatan dini pada masyarakat jika ada indikasi ancaman tsunami.

Akan tetapi, penerapan mitigasi berbasis teknologi tersebut masih memiliki kekurangan. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, BMKG belum memiliki alat peringatan untuk mendeteksi tsunami yang diakibatkan gempa vulkanik.

“Sistem peringatan dini yang kita miliki saat ini baru untuk tsunami akibat gempa bumi atau tektonik. Untuk vulkanik, tidak ada early warning-nya. Apalagi kejadiannya malam hari yang secara visual tidak kelihatan ada aktivitas gunung erupsi,” kata Rahmat dilansir dari Tempo.

Berdasarkan catatan yang dihimpun, Indonesia termasuk wilayah potensial tsunami. Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif. Penyusunan peta dasar dan peta tematik skala besar untuk menekan risiko bencana terkait tata ruang berbasis kebencanaan harus dilakukan.

Baca juga: Doni Monardo: Tangani Bencana Perlu Kerja Bersama

 

Litografi letusan Krakatau yang terjadi pada 1883. Sumber: Wikimedia Commons/Parker & Coward, Britain/Public Domain

 

Rehabilitasi mangrove

Bencana tsunami ini juga menunjukkan, beberapa wilayah yang hutan mangrovenya habis atau rusak, menerima dampak cukup besar dibandingkan tempat lain. Salah satunya Teluk Betung, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.

“Dampak tsunami terbesar dialami desa-desa yang berada di pesisir Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Posisinya berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatoa,” kata Rizani Ahmad dari Mitra Bentala, NGO yang selama ini melakukan rehabilitasi mangrove di Lampung.

Kondisi ini berbeda dengan desa-desa di Teluk Lampung, yang mangrovenya masih baik atau telah direhabilitasi. “Misalnya di Sidodadi, Gebang, Batu Menyan, Pulau Pahawang. Dampak yang dirasakan tidak begitu buruk sebab mangrove terjaga,” jelasnya.

Berapa luas kawasan pesisir yang harus direhabilitasi di Teluk Lampung maupun wilayah lainnya?

“Untuk luasan belum dapat dipastikan, karena datanya masih simpang siur. Tapi kalau dilihat potensi desa-desa yang secara alamiah ada ekosistem mangrovenya, perlu dipertahankan misalnya di Teluk Lampung, Pantai Timur, dan Teluk Semangka,” jelasnya.

Berdasarkan data Pemerintah Lampung tahun 2015, kata Rizani, luas mangrove di Lampung sekitar 17.110 hektar. Kondisi yang rusak sekitar 54 persen. “Jadi sekitar sembilan ribu hektar hutan mangrove di Lampung harus direhabilitasi.”

 

Kondisi di sekitar pesisir Pantai Banten, setelah sapuan tsunami yang menerjang 22 Desember 2018. Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

 

Mengapa kawasan mangrove di Lampung rusak? Menurut dia, dua tahun lalu, kerusakan terjadi akibat aktivitas pertambakan udang dan ikan, serta pembangunan infrastruktur di pantai Lampung yang panjangnya sekitar 1.105 kilometer. “Kerusakan mangrove di Lampung sudah mengkhawatirkan.”

Terhadap kondisi tersebut, sejak 2011, Mitra Bentala bersama masyarakat menjaga hutan bakau tersisa dengan membentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) Mangrove Desa Gebang. Hingga 2016, sekitar delapan hektar sudah direhabilitasi.

Desa Gebang, merupakan satu dari sekian desa di Pesawaran yang mangrovenya rusak, termasuk terumbu karangnya. Tahun 2000-an, dari 230 hektar luasan hutan bakaunya, sekitar 170 hektar mengalami kerusakan akibat pertambakan udang, ikan, dan lainnya.

 

 

Exit mobile version