Mongabay.co.id

Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif?

Pemberantasan aktivitas perikanan ilegal yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam empat tahun terakhir dinilai sukses oleh banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Tetapi, di saat yang sama, KKP tidak bisa mencegah pembangunan yang sangat masif di kawasan pesisir di seluruh wilayah Indonesia. Kemajuan ekonomi itu, berdampak pada kondisi lingkungan di kawasan tersebut.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, awal pekan ini mengatakan, pembangunan yang sangat cepat itu dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu reklamasi pesisir, pertambangan, pariwisata, dan konservasi. Selain itu, dalam empat tahun terakhir, pesisir juga banyak yang diubah menjadi perkebunan sawit oleh pelaku usaha.

“Ekspansi usaha yang dilakukan para pelaku usaha itu, secara langsung telah merampas kehidupan masyarakat bahari yang tersebar dari Sumatera hingga ke Papua,” ujarnya saat memberikan keterangan resmi tentang catatan akhir tahun 2018.

Susan menerangkan, dirinya merasa miris melihat perkembangan yang terjadi di pesisir sekarang. Terlebih, masyarakat lokal sama sekali tidak dijadikan sebagai pelaku utama dan itu membuat kesejahteraan mereka masih berjalan di tempat. Kondisi itu, menyebabkan pembangunan di kawasan pesisir dalam empat tahun terakhir belum memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir.

baca :  Janji Pemerintah untuk Masyarakat Pesisir Diragukan?

 

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Saat pelaku usaha tidak menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, menurut Susan, di saat yang sama justru kehidupan masyarakat secara perlahan terus terpinggirkan karena terdampak pembangunan. Akibatnya, lebih dari 12 ribu desa pesisir harus menjadi korban dari pembangunan yang sangat cepat itu.

Lebih rinci, Susan kemudian menyebutkan, pada 2018 misalnya, terdapat pembangunan proyek reklamasi pesisir di 41 titik, atau bertambah 4 proyek dibandingkan pada 2017 yang jumlahnya mencapai 37 titik. Kemudian, ada juga proyek pertambangan di 25 lokasi yang jumlahnya mencapai 1.895 konsesi lahan.

“Itu juga lebih banyak dibandingkan 2017 yang hanya 21 lokasi pertambangan pesisir,” jelasnya.

 

Masyarakat Terdampak

Selain dua jenis proyek di atas, Susan menyebutkan, sepanjang 2018 di kawasan pesisir ada juga pengembangan proyek untuk pariwisata yang memanfaatkan utang sebagai sumber pendanaan. Untuk proyek tersebut, KIARA menyebut sudah ada korban jiwa akibat pembunuhan dan kriminalisasi. Kondisi itu, harus dihentikan karena membuat masyarakat pesisir ketakutan.

Kemudian, proyek lain yang dilaksanakan di kawasan pesisir sepanjang 2018, adalah konservasi laut berbasis utang yang luasnya sudah mencapai 20.871.894,62 juta hektar. Luasan tersebut, dipastikan akan bertambah lagi seluas 11,63 juta ha pada tahun ini dan mendatang. Terakhir, adalah proyek perkebunan sawit yang luasnya mencapai 675.791 hektar.

Untuk proyek reklamasi, menurut Susan, sepanjang 2018 sebanyak 747.363 kepala keluarga (KK) nelayan menjadi keluarga terdampak dari proyek tersebut. Sementara, untuk proyek pertambangan, keluarga yang terdampak jumlahnya mencapai 33.000 KK nelayan.

baca juga : Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, untuk proyek pariwisata, sejak 2014 KIARA mencatat sebanyak 14 pulau kecil telah diprivatisasi. Jumlah tersebut terus meningkat hingga sepanjang 2018 bertambah menjadi 79 pulau-pulau kecil yang berstatus pulau privat. Bertambahnya pulau privat, mengakibatkan ruang lingkup nelayan menyempit, karena mereka dilarang mendekat untuk menangkap ikan di sekitar pulau.

“Pada saat yang sama, Proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) terus digalakkan dengan ditambahnya Mandalika (Nusa Tenggara Barat) dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2018. Setidaknya 300 keluarga nelayan di Mandalika dan 1700 keluarga nelayan di Labuan bajo terusir,” paparnya.

Untuk proyek perkebunan sawit yang dibuka di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, Susan menerangkan bahwa sepanjang 2018 menjadi yang paling besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan luas mencapai 675.791 ha kebun, proyek tersebut mengubah kawasan pesisir menjadi perkebunan. Bahkan, untuk Papua, kini sudah menjadi fokus utama dari proyek tersebut.

“Kondisi ini mengancam keberlanjutan ekologis dan praktek perampasan tanah terus terjadi,” tandasnya.

Terakhir, proyek yang juga turut mengubah wajah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah konservasi laut. Walau pada 2018 luasannya sudah mencapai target yang ditetapkan KKP seluas minimal 20 juta ha, tetapi perluasan akan terus dilakukan hingga 2030 mendatang dengan tambahan minimal 11,63 juta ha.

Mengingat banyaknya dampak buruk yang akan dirasakan oleh masyarakat pesisir, Susan menyebutkan bahwa beragam proyek yang sedang berlangsung saat ini sudah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sumber daya perikanan di Indonesia. Terlebih, di saat yang sama masyarakat pesisir juga sangat bergantung pada sumber daya yang ada di laut sebagai sumber pendapatan mereka.

“Dalam konteks inilah, fakta kemiskinan di kawasan pesisir tak terelakkan,” tuturnya.

Agar semua persoalan tidak semakin membesar karena pembangunan terus berlangsung, Susan mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama sektor perikanan dan kelautan. Dengan demikian, segala pembangunan yang terjadi akan selalu melibatkan masyarakat pada akhirnya.

baca juga :  Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional?

 

Reklamasi yang terus berlangsung di pantai Manado, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

 

Aktor Masyarakat

Keterlibatan masyarakat, menurut Susan, merupakan amanah dari Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam UU tersebut, Pemerintah RI wajib memberikan perlindungan dan memberdayakan masyarakat bahari sesuai kapasitas masing-masing.

Dengan melibatkan masyarakat pesisir, perlindungan terhadap ruang hidup laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil juga bisa dilakukan secara bersamaan. Hal itu, karena sumber penghasilan masyarakat sebagian besar berasal dari sumber daya perikanan dan kelautan. Untuk itu, segala proyek yang sudah ada, harus ditinjau kembali oleh masyarakat dan segera melibatkan masyarakat di dalamnya.

“Ini adalah mandat utama Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.3/2010,”  ucapnya.

Menurut Susan, tanpa ada keterlibatan masyarakat pesisir, maka tidak akan pernah terwujud kedaulatan dan keberlanjutan produksi perikanan di Indonesia. Kata dia, dalam sektor perikanan, seharusnya perencanaan pembangunan berasal dari masyarakat bahari, pengelolaannya oleh masyarakat bahari, serta tujuannya untuk sebesar-besar kemakmuran, kedaulatan dan kemandirian masyarakat bahari Indonesia.

“Itu prinsip penting keadilan perikanan yang harus ditegakkan oleh negara dan dalam pada itu negara mampu hadir untuk memastikan masyarakat bahari berdaulat, mandiri dan sejahtera,” pungkas dia.

menarik dibaca :  Jalinan Masyarakat Hukum Adat dengan Laut dan Pesisir Tak Terpisahkan, Seperti Apa?

 

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata sebelumnya mengatakan penyusunan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di semua provinsi, dinilai masih belum terbuka dan hanya melibatkan segelintir masyarakat pesisir yang menjadi stakeholder utama. Fakta itu diperkuat, dengan tidak adanya tahapan konsultasi mulai dari desa/kelurahan yang di dalamnya ada pulau-pulau kecil, kecamatan, hingga di kabupaten/kota.

“Termasuk, percepatan pembangunan infrastruktur, penambahan daerah konservasi, penyusunan dan pemberlakuan zonasi laut, hingga revisi maupun keluarnya Undang-Undang,” ungkapnya.

Menurutnya, dengan adanya temuan di atas, menunjukkan bahwa proses konsultasi publik hanya dilakukan di daerah tertentu saja. Bahkan, dari hasil temuan di lapangan, ditemukan juga fakta bahwa konsultasi ada yang hanya dilakukan di ibukota provinsi saja dan sama sekali tidak melibatkan masyarakat yang ada di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Temuan di lapangan lainnya, ada juga Perda RZWP3K yang sudah disahkan, ternyata tumpang tindih dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sebelumnya sudah ada di provinsi tersebut. Kemudian, kondisi itu diperparah tidak adanya penyelesaian konflik dan mekanismenya seperti apa yang melibatkan pihak-pihak terkait.

“Tata Ruang Laut Indonesia itu jadinya apakah melindungi atau menggusur ruang hidup nelayan?” tanyanya.

Untuk mencegah dan atau mengatasi temuan di atas, Marthin mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten/Kota yang wilayah pesisirnya masuk dalam Rancangan Perda RZWP3K, bisa memberikan rekomendasi penyusunan Perda atas pengaturan wilayahnya yang berpotensi terjadi tarik menarik kepentingan.

“Itu karena memang ada konflik sektoral dalam pengelolaan pertanahan di pesisir dan pulau kecil antar kementerian dan lembaga pemerintah,” ucapnya.

 

Exit mobile version