Mongabay.co.id

Melihat Konservasi ‘Nandini’,  Lembu Putih yang Disakralkan di Bali

Sebuah patung Dewa Siwa menunggangi seekor hewan bertanduk berdiri di tengah taman sebagai ucapan selamat datang di sebuah taman konservasi Banjar Taro Kaja, Desa Taro, Tegalalang, Gianyar, Bali. Di sampingnya ada Pura Nandini, sebuah area persembahyangan.

Nandini disebut seekor Lembu Putih, kendaraan Dewa Siwa, salah satu dewa dalam Tri Murti selain Brahma dan Wisnu. Ketiganya menyimbolkan penciptaan, pemeliharaan, dan pelebur. Untuk kesimbangan mikro dan makrokosmos. Dewa Siwa menjadi kekuatan mengembalikan unsur-unsur manusia dan alam ini ke semesta.

Karena itu kehadiran Nandini menjadi simbol dalam rangkaian upacara penyucian setelah Ngaben di Bali. Warga yang memerlukan Lembu Putih untuk upacara, menghaturkan sesajen sebagai penyampaian niat baik dahulu sebelum dipendak, dijemput lalu dikembalikan ke area konservasinya.

Kehadiran taman wisata Lembu Putih di Taro ini jadi gerbang sekaligus jembatan menuju dialog tentang kehadiran binatang dalam narasi-narasi ritual keagamaan. Suatu hal yang jarang didiskusikan, karena dianggap mule keto atau “sudah dari sononya.” Membumikan istilah konservasi pada mahluk bumi yang makin sedikit jumlahnya.

Yayasan Lembu Putih, sebuah lembaga di bawah naungan desa Taro Kaja Kaja dianugerahi Kalpataru 2018 pada puncak Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2018 di Taman Wisata Alam Batu Putih, Bitung, Sulawesi Utara (30/8) lalu. Sebagai penyelamat lingkungan, bersama kategori lainnya seperti perintis, pengabdi, dan pembina lingkungan.

Merayakan keberhasilan itu, Bupati Gianyar I Made Mahayastra dan pejabat lainnya bersama ratusan warga Desa Taro, melakukan kirab Kalpataru dengan berjalan kaki dari Kantor Desa Taro menuju obyek wisata Lembu Putih, Desa Taro, Selasa, (4/12). Kirab diiringi gamelan Baleganjur, penari, dilanjutkan peresmian monumen Kalpataru.

baca :  Merehatkan Mata dan Jiwa di Desa Sidemen

 

Lembu Putih dalam kandang dan digembalakan di taman obyek wisata konservasi Lembu Putih di Desa Taro, Gianyar, Bali. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

 

I Ketut Daging, salah seorang pengelola kawasan konservasi Lembu Putih ini menemani berkeliling. Sebuah loket masuk sudah dibangun sebagai sumber pemasukan, pengunjung dikenakan tiket Rp10 ribu/orang. Kecuali untuk warga desa, mereka kerap menjadikan taman konservasi ini untuk rekreasi atau sekadar istirahat dari cuaca terik.

“Banyak yang ke sini untuk minta obat dari kotoran, susu, dan air mata Ida Bagus dan Siluh di sini,” tutur Daging, pria ramah ini. Warga tersebut akan menghaturkan sesajen kemudian sembahyang. Untuk mendapat air mata, mereka meletakkan kapas, mengusap sudut mata sang Lembu Putih.

Ida Bagus adalah sebutan penghormatan bagi lembu jantan, dan Siluh untuk betina.

Sejumlah lembu dirawat dalam kandang khusus, berbentuk lingkaran dan diisi seekor saja. Terutama untuk betina. Sementara di kandang besar, berderet belasan sapi terikat dengan makanan cukup. Tak ada bau menusuk hidung karena kotoran dan urin di sekitarnya. Bisa jadi karena rajin dibersihkan, dan kotoran diolah bersama dedaunan kering menjadi pupuk kompos. Ada area khusus produksi kompos di bagian belakang taman.

Bulu-bulu halus memenuhi kulit lembu yang seolah rapuh karena warnanya putih pucat di sekujur tubuhnya. Matanya juga kombinasi putih dan bening. Warga India yang menyucikan lembu kerap datang untuk berdoa di sini. Tak hanya putih, ada juga yang lahir dengan warna coklat kemerahan seperti Sapi Bali dan berkulit coklat kehitaman. Warna suci Tridatu, merah, putih, dan hitam. Semuanya dilahirkan di area ini.

“Banyak juga Warga yang memiliki sapi dengan kelahiran putih di luar desa dibawa ke sini, mereka tak berani merawat,” lanjut Daging. Menurutnya albino dan Lembu Putih memiliki gen berbeda.

Ia mengingat masa kecilnya di Desa Taro. Orang tua selalu berpesan, jika melihat Lembu Putih berkeliaran, harus hormat dengan cara memberi makan dan tidak berkata kasar. “Saya sering lihat di pasar, ada yang diberi makan garam oleh pedagang,” ingat Daging.

menarik dibaca :  Foto : Menyelami Arti Pandan Berduri Bagi Masyarakat Tenganan Bali

 

Tak hanya disakralkan, ada juga warga yang meminta kotoran, air mata, susu, dan urin Lembu Putih untuk pengobatan dan lainnya. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sebelum dikandangkan, Lembu Putih di desanya diliarkan. Hanya nasehat untuk bersahabat dan tidak menyakiti menjadi benteng perlindungannya. “Tak boleh berkata kasar karena disucikan. Sampai membunuh atau mencelakai, bisa kena sanksi adat banten Catus Pata. Kecuali pendatang yang tidak tahu,” paparnya. Sanksi adat itu termasuk berat, minta maaf pada diri, warga, dan pada Tuhan.

Dalam keseharian dan ingatan umat Hindu kebanyakan, Lembu Putih sejak dulu disucikan. Menjadi bagian dari ritual penting, melengkapi sebuah upacara agama.

Dari kegiatan-kegiatan kebersihan dan penghijauan untuk mendukung habitat Lembu Putih, akhirnya sejak 2012, desa membuat yayasan yang khusus melakukan perlindungan dan edukasi. Badan hukum dinilai salah satu cara untuk mengakses bantuan dan pengelolaannya. Salah satu pihak yang disebut adalah CSR Indonesia Power yang memberi bantuan sejak 2016.

Untuk melengkapi sebuah taman edukasi, pengelola menanam puluhan jenis pohon langka seperti sentul dan pule. Tanaman ini juga menjadi sarana upacara agama yang makin sulit dicari.

Daging menyebut biaya operasional masih diperlukan karena kini perlu ada perawatan dan sumber daya manusia untuk area ini. Terlebih jumlah Lembu Putih berlipat dari 32 ekor pada 2014 menjadi 53 ekor. Sebagian betina.

Daging menyebut, sekitar 90% kelahiran pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon. Karena disucikan, hari kelahiran sampai kematian Ida Bagus dan Siluh juga ada ritualnya. Selain Tumpek Kandang, sebuah ritual perayaan dan penghormatan pada hewan yang dilakukan umat Hindu di Bali. Ada juga ada Tumpek Wariga/Pengatag, ritual penghormatan bagi tumbuhan.

baca juga :  Asyiknya Kemah Manja di Bali Jungle Camping Padangan

 

Kandang khusus anakan Lembu Putih yang kini berkembang menjadi lebih dari 50 ekor. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Area pemakaman “Nandini” ini terletak di bagian paling belakang taman. Tak terlihat ada benda yang menunjukkan ini sebuah makam, hanya pohon-pohon muda di hamparan rerumputan. Kembali jadi zat hara penyubur tanaman.

Dalam booklet informasi Obyek Wisata Alam Lembu Putih disebutkan disakralkannya Lembu Putih  berkaitan dengan sejarah penyebaran agama Hindu di Bali. Alkisah Ida Maha Rsi Markandeya menemukan sinar suci di sejumlah titik suci yang kini menajdi lokasi pura-pura besar di Bali. Salah satunya Pura Agung Gunung Raung di Desa Taro. Pura ini memiliki 4 pintu sesuai arah mata angin. Sebagai perwujudan berstananya Dewa Siwa yang berstana di tengah-tengah penjuru mata angin.

Dalam konteks duniawi, kehadiran Lembu Putih mengingatkan kembali perlindungan satwa langka, dan pentingnya mahluk hidup hidup harmonis. Saling bantu dan memberi manfaat. Misal dari lembu mendapat susu, kotorannya jadi pupuk, biogas, dan lainnya.

 

Exit mobile version