Mongabay.co.id

Debat Capres Isu Sumber Alam, Lingkungan dan Infrastruktur, Berikut Berbagai Masukan

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Debat calon presiden dan wakil tahap kedua pada 17 Februari nanti bertema energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup dan infrastruktur. Berbagai kalangan mengingatkan, persoalan agraria agar jadi bahasan debat karena isu-isu seperti lingkungan, sumber daya alam, energi maupun insfrastruktur berelasi dengan agraria.

“Selama ini agraria dianggap murni sebagai persoalan ekonomi. Ini harus diluruskan. Kalau tidak, siapapun pemimpin nanti persoalan agraria ini tak akan selesai. Harus diperbaiki dulu pola dan landasan berpikir. Agraria itu harusnya masuk di semua sub debat. Jadi landasan,” kata Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jakarta, Minggu (20/1/19).

Dia ambil satu contoh, reforma agraria erat kaitan dengan sumber daya alam.KPA menilai, banyak regulasi tumpang tindih antara sektor agraria, kehutanan, perkebunan, sampai pesisir. “Kita ingin tahu bagaimana pandangan kedua pasangan calon mengkoreksi hal itu.”

Catatan KPA, dalam 10 tahun terakhir, ada 3.168 konflik agraria. Ia makin membesar karena yang diselesaikan bukan akar masalah. Pemerintah, katanya, merasa sudah menjalankan reforma agraria tetapi sebagian berujung pada sertifikasi lahan.

“Akar tak diselesaikan. Konfliknya tak disasar. Ketimpangan lahan tak diselesaikan,” katanya.

Kriminalisasi warga pejuang agraria dan lingkungan tinggi. KPA, katanya, ingin tahu penjabaran strategi kedua paslon untuk menyelesaikan situasi ini. “Harus ada rencana lebih detail. Juga soal konsep reforma agraria yang digembor-gemborkan selama ini,” katanya.

Pada debat pertama, juga tak menyinggung permasalahan agraria. Persoalan agraria, katanya, erat kaitan dengan HAM dan hukum.

 

 

Meskipun, pasangan nomor satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sempat menyinggung pemberian akses lahan bagi warga. “Tapi tidak berbicara mengenai hak lahan,” katanya.

Persoalan hak lahan lebih mendasar daripada akses. Ketika hak lahan tak jadi landasan kerangka berpikir kedua paslon, katanya, yang terjadi pendekatan persoalan agraria lebih menyasar ekonomi. Padahal, konsep utama hak dan keadilan.

“Adil dulu, baru sejahtera. Konflik agraria diselesaikan dulu, baru sertifikasi. Pengakuan hak milik yang utama,” katanya.

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, kedua paslon harus bisa membicarakan pemilik sah dari sumber alam dan wilayah yakni masyarakat adat. Pemenuhan hak masyarakat adat, katanya, harus jadi agenda utama presiden, siapa pun yang terpilih.

Dia sebutkan, pada debat capres pertama soal HAM, katanya, perspektif pemenuhan HAM dalam kerangka masyarakat adat juga tak disinggung. Dia menyayangkan isu ini luput dari perhatian penyelenggara pemilu. Rukka bilang, hak masyarakat adat itu jelas diakui UUD 1945.

Dia juga mempersoalkan tentang pertanyaan panelis lewat undian hingga ada beberapa pertanyaan mungkin penting, tetapi tak terbahas dalam debat. Dia juga kritisi pemberian kisi-kisi sebelum debat oleh KPU kepada kedua paslon.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, debat tahap pertama kedua paslon terlihat kaku, kurang ekspresif, intonasi,dan indentasi kurang mendalam.

“Seharusnya panelis mendapat ruang untuk melontarkan pertanyaan pendalaman dari apa yang dikemukakan kedua paslon, hingga benar-benar penguasaan isu bisa tergambar dari paparan pasangan. Ini juga sekaligus tantangan bagi tim sukses kedua paslon. Harapannya, ini benar-benar terealisasi dalam debat selanjutnya,” katanya.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP Indonesia, menyoroti tampilan paslon pada debat pertama. Setidaknya, kata Aryanto, ada sembilan hal dapat tergali terkait bidang hukum. Pertama, korporasi pelaku tindak pidana (korupsi, pengemplang pajak, perusak hutan dan llngkungan serta pelaku pencucian uang.

Kedua, menghentikan kriminalisasi pegiat HAM, aktivis lingkungan, dan anti korupsi.Ketiga, perkuat bukan lemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Keempat, berantas mafia migas, tambang, hutan dan lingkungan. Kelima,  kembangkan sistem pencegahan korupsi integral sekaligus berintegritas.

Keenam, cegah konflik kepentingan dan state capture. Ketujuh, tutup kebocoran pajak dan PNBP sektor sumber daya alam. Kedelapan, penegakan hukum sumber daya alam melalui pendekatan multidoor. Kesembilan, kejar beneficial ownership (pengambil manfaat) kejahatan sumber daya alam.

“Sembilan isu itu seharusnya relevan dan sangat penting diselesaikan kedua kandidat capres-cawapres. Terutama sumber daya alam, salah satu sektor strategis yang harus bersih dari korupsi dan pelanggaran HAM,” katanya.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Pada isu HAM, kedua kandidat sama sekali tak menyinggung persoalan kriminalisasi pembela HAM, aktivis lingkungan, maupun aktivis dan akademisi anti korupsi.

Soal anti korupsi, kedua kandidat terjebak dengan isu-isu permukaan yang sangat konvensional, mulai pembenahan rekrutmen birokrasi dan penegakan hukum yang berorientasi kenaikan gaji dan tunjangan.

Dia berharap, debat kandidat selanjutnya, KPU dapat menghadirkan forum yang mampu mendekatkan calon pemimpin dengan calon pemilih. Terpenting, masukan bagi kedua kandidat harus mampu menerjemahkan visi-misinya dengan jelas, lugas, bukan lagi jawaban normatif.

Dia juga mengusulkan sejumlah isu yang bisa dielaborasi oleh kedua paslon. Soal ketahanan energi, meliputi akses, pemerataan, harga dan infrastruktur. Mengenai tata kelola sumber daya alam meliputi perizinan, tata lahan dan hutan, hak-hak masyarakat dan isu hilirisasi, rente bisnis dan korupsi, adapatasi dan mitigasi perubahan iklim. Juga diversifikasi ekonomi dan percepatan transisi energi menuju energi terbarukan.

Fadli Ramadhanil, peneliti Perludem mengatakan, kekurangan substansi dalam debat pertama diharapkan bisa diperbaiki dalam debat kedua. Substansi yang dibahas dalam debat pertama, diharapkan bisa terhubung dengan substansi debat kedua.

Dia meminta, KPU mengoptimalkan kemandirian dalam menentukan panelis. KPU tak perlu meminta atau menerima usulan nama dari para paslon. “Ini penting untuk menjaga kredibilitas dan netralitas panelis.”

KPU, katanya, bisa mengoptimalkan peran panelis melalui segmen debat yang mempersilakan mereka bertanya langsung kepada tiap paslon.

Wahyu Setiawan, anggota KPU Wahyu Setiawan mengatakan, KPU menempatkan diri sebagai pelayan rakyat dalam penyelengaraan pemilu. Mereka terbuka kritik dan saran dari masyarakat. KPU juga mengevaluasi penyelenggaraan debat pertama untuk perbaikan selanjutnya.

“Sebenarnya, yang dikrikik itu KPU atau performa paslon? Ini dua hal berbeda. Kalau paslon dipandang belum mampu menjawab isu-isu utama, itu bukan salah KPU. Kita sudah evaluasi. Kita akan perbaiki mekanisme, sampai tata panggung menyeluruh.”

Wahyu memastikan kisi-kisi debat selanjutnya tak akan diberikan kepada paslon. KPU akan mengevaluasi mekanisme debat yang memungkinkan para paslon mengeksplorasi gagasan, visi misi program. KPU sudah terbuka menerima masukan dari berbagai pihak terkait isu-isu utama.

 

 

Keterangan foto utama:     Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala mereka dapatkan akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version