Mongabay.co.id

Gunung Kerinci: Pariwisata Alam di Tengah Ancaman Sampah

 

Berawal dari kegiatan yang semula hanya dapat dinikmati segelintir orang yang relatif kaya, kini wisata telah menjadi bagian tak terpisahkan dari semua kalangan masyarakat. Bahkan di Indonesia, saat ini kegiatan pariwisata telah berkembang menjadi satu sektor penting dalam pembangunan nasional dan perolehan devisa negara.

Memang sebagai negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia memiliki banyak daerah yang kaya akan potensi wisata. Khususnya wisata alam, salah satunya Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

Kabupaten kerinci memang tidak bisa dilepaskan dari kata wisata. Banyak hal yang menjadi daya tarik Kerinci. Diantaranya keunikan budaya yang sekarang dikemas menjadi festival budaya tahunan Festival Danau Kerinci. Juga, kaya dengan tujuan wisata alam seperti Danau Kerinci, Gunung Kerinci, Perkebunan Teh Kayu Aro, Air Terjun Telun Berasap, Air Panas Semurup, Danau Kaco, Danau Gunung Tujuh, dan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun 2016: Saatnya Hentikan Sampah Pendaki Gunung

Secara administrasi Kerinci memilki luas wilayah 332.814 hektar. Lebih dari setengah luas wilayah tersebut (199.089 hektar) merupakan bagian wilayah konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Adapun 133.715 hektar sisanya, dialokasikan sebagai kawasan budidaya dan pemukiman penduduk (Kerinci dalam Angka, 2017).

Dengan kekayaan alamnya, Kerinci tumbuh menjadi destinasi utama di Provinsi Jambi. Di tahun 2017, tercatat 221.247 wisata yang berkunjung (2.932 wisatawan mancanegara). Angka ini naik dua kali lipat dari tahun 2016 yang hanya 114.007 wisatawan. Hal ini tentunya tak lepas dari promosi yang dilakukan oleh para aktor wisata di Provinsi Jambi.

 

Permasalahan Pariwisata Gunung Kerinci

Gunung Kerinci mungkin yang paling populer bagi wisatawan minat khusus. Gunung berketinggian 3.805 mdpl kerap dijuluki sebagai “Atap Sumatera” bahkan disematkan sebagai gunung vulkanik tertinggi di Indonesia.

Kemegahan inilah yang kerap mengundang rasa penasaran dan decak kagum para wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Mereka rela untuk melewati medan yang sulit dan melelahkan demi menginjakkan kaki di puncaknya.

Seiring perkembangan popularitas Gunung Kerinci sebagai destinasi wisata di Kabupaten Kerinci, lokasi ini memberikan banyak dampak positif maupun negatifnya. Di satu sisi pendapatan wisata dapat memutar roda ekonomi lokal dan berkontribusi dalam pendapatan daerah. Namun di sisi lain, turut berpengaruh kepada lingkungan alam yang ada.

Terkait dengan dampak lingkungan, adalah permasalahan sampah. Sampah dengan mata telanjang mudah dijumpai di sepanjang jalur pendakian, shelter peristirahatan, sekitaran sumber air, hingga puncak Gunung Kerinci sendiri.

Umumnya sampah yang muncul berasal dari sisa logistik para pendaki. Limbah didominasi oleh kaleng gas eks masak para pendaki, plastik makanan dan mie instan, kaleng sardin, hingga pakaian yang sengaja dibuang karena kotor dan tak lagi layak pakai. Biasanya, jumlah sampah meningkat signifikan ketika musim liburan tiba, atau ketika hari besar seperti hari kemerdekaan RI dan Tahun Baru.

 

Permasalahan di Gunung Rinjani adalah sampah dari buangan para pendaki. Dok: Wildan Supriansyah/Mapala Siginjai Universitas Jambi

 

Dari sisi estetika dan lingkungan, penumpukan sampah menyebabkan potensi alami gunung akan rusak. Eksotisme gunung sebagai tempat yang identik dengan panoramanya yang indah perlahan akan memudar. Alhasil pada akhirnya akan berdampak pada minat wisatawan yang datang berkunjung.

Jika  hal ini terjadi tentu akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat yang menggantungkan diri pada jasa pariwisata. Usaha masyarakat seperti guide, pemilik homestay, hingga penyewaan peralatan pendakian akan terdampak dan berujung pada masalah sosial lainnya.

 

Permasalahan Sampah

Permasalahan sampah di Gunung Kerinci tentu tak lepas dari model pengelolaan taman nasional yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS). Meski memiliki otoritas, namun kelemahan masih tampak dari sisi operasionalnya.

Diakui bahwa meski telah terdapat aturan tentang membuang sampah, hal ini dirasa belum menyeluruh dan tidak diikuti dengan pengawasan dan sosialisasi yang intensif. Dari sisi ketersediannya pun, kondisi sarana prasarana pengelolaan sampah juga belum memadai baik dari jenis maupun jumlahnya.

Baca juga: Ditemukan 59kg Sampah Dalam Perut Paus Sperma di Wakatobi, Kok Bisa?

Dengan keterbatasan personal, BTNKS seharusnya dapat bekerjasama dengan para pemangku kepentingan; seperti masyarakat setempat, penyelenggara wisata, organisasi pecinta alam, maupun para pendaki lepas. Kerjasama dengan pihak pihak, -yang langsung berhubungan dengan wisatawan tersebut, sangat dibutuhkan agar permasalahan mengenai sampah dapat menjadi perhatian bersama.

Keikutsetaan pihak pihak tersebut juga dapat dimaksimalkan melalui sistem monitoring bersama. Para penyelenggaran wisata (guide, porter, organizer), dapat dititipkan untuk memberi pemahaman yang dapat disampaikan kepada para wisatawan perihal kebersihan lingkungan pendakian. Mereka pun dapat menjadi pengawas akan perilaku pengunjung selama melakukan pendakian.

Merangkul organisasi pecinta alam juga menjadi penting. Meski secara aplikasi praktik, pecinta alam rutin melakukan aksi bersih di jalur pendakian Gunung Kerinci, namun jika tidak dirangkul dengan baik, maka aktifitas pembersihan sampah juga tidak bisa berjalan optimal sesuai misi BTNKS.

 

Penampakan Gunung Kerinci yang indah dari Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro. Dok: Wildan Supriansyah/Mapala Siginjai Universitas Jambi

 

Aspek yang Perlu Diperhatikan

Dengan menggunakan dimensi analisis aspek, -yang dibangun bersandar dan dikembangkan lewat analisis SWOT, maka menurut penulis dapat diambil beberapa poin besar pertanyaan metodologis yang dapat menjadi aspek pertimbangan manajemen strategis mengatasi permasalahan sampah di Gunung Kerinci, yaitu:

1) Aspek yang berkaitan dengan bagaimana sarana dan prasarana pengelolaan, teknis/teknologi yang digunakan, serta instrumen evaluasi,

2) Aspek yang berkaitan dengan bagaimana pengelolaan aturan dan pembuatan regulasi yang jelas sehingga mampu mengurangi dan mencegah timbulnya permasalahan sampah,

3) Aspek yang berkaitan dengan bagaimana sumberdaya yang ada dalam menggerakkan sistem operasional, meliputi pembagian tugas dan tanggung jawab juga berkaitan dengan pembangunan kerjasama dengan instansi/pihak  terkait,

4) Aspek berkaitan dengan peran masyarakat (khususnya agen wisata, pecinta alam, pendaki) dalam mendukung berjalannya sistem pengelolaan sampah  misalkan dengan  upaya sosialisasi, edukasi dan pendampingan, serta monitoring,

5) Aspek yang berkaitan dengan keuangan seperti bagaimana pengelolaan keuangan meliputi mekanisme pembiayaan, sumber, alokasi anggaran, dan penggunaan anggaran untuk mengelola sampah.

 

Sumber: TN Gunung Gede Pangrango

 

Seandainya semuanya peluang ini dapat dimanfaatkan dengan baik maka tidak menutup kemungkinan permasalahan sampah di Gunung Kerinci perlahan-lahan bisa teratasi. Permasalahan ini penting untuk segera diselesaikan, sebelum benar-benar menimbulkan dampak negatif akut terhadap ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat disekitar kawasan.

Tentu, pada akhirnya semua tergantung manusianya apakah ingin menikmati gunung Kerinci dengan keindahan alamnya. Atau sebaliknya, justru tinggal memori akan kemegahan gunung Kerinci, negeri diatas awan dengan aroma lumut basah dan bentangan cantigi itu, akhirnya hilang begitu saja.

 

* Wildan Suprian Syah, penulis adalah pegiat cinta alam, Alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi

 

Exit mobile version