Mongabay.co.id

Potensi Tsunami Besar di Laut Selatan Jawa, Widjo: Siapkan Mitigasi (Bagian 1)

TNI bersama tim gabungan lakukan penyisiran korban tsunami di pesisir pantai di Banten. Foto: BNPB

 

 

 

 

Widjo Kongko, selaku perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ramai jadi sorotan ketika presentasi penelitian pada April 2018 di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Dia menyebutkan, ada potensi gempa bumi megatrust dan berpotensi tsunami setinggi 57 meter di Kabupaten Pandeglang, Banten.

Dia bahkan dipanggil Polda Banten atas kajian ilmiah yang membuat masyarakat panik. Padahal, menurut Widjo Kongko, hal itu berdasarkan peta sumber dan bahaya gempa Indonesia pada 2017 yang disusun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyebutkan ada gempa 8,5 hingga 9 magnitude. Hasil penelitian itu merupakan bentuk mitigasi bencana.

“Sumber tsunami disusun dari tiga megathrust di sekitar Selat Sunda, yakni megathrust Enggano, Selat Sunda dan Jawa Barat-Tengah dari peta gempa 2017. Total magnitude M9,” katanya.

Baca juga: Tsunami Selat Sunda Tewaskan 222 Orang, BNPB: Hindari Dekat Pantai dan Tetap Waspada

Widjo juga mengungkapkan, penyebab tsunami di pantai-pantai Selat Sunda, yakni longsoran sekitar Lereng Gunung anak Krakatau karena fase erupsi dan hujan deras curah tinggi.

Pada Sabtu (22/12/18) sekitar pukul 21.30, tsunami menghantam Banten dan Lampung, menewaskan ratusan orang. Awalnya, pada menduga-duga penyebab tsunami, antara lain serupa penelitian Widjo: longsoran lereng karena erupsi.

Kala fase erupsi Anak Krakatau, katanya, juga terdapat gempa tremor dan ditambah curah hujan tinggi, namun belum diketahui luasan longsoran.

Baca juga:  Tsunami Hantam Pantai Selat Sunda, Bagaimana Nasib Badak Jawa?

Kalau dihitung satelit, luasan sekitar 60 hektar, kedalaman belum tahu tetapi perkiraan antara 100-150 juta kublik ambrol. Sekitar pukul 20.55, terekam di seismograf Jerman dan BMKG.

“Setelah longsor secara logika di Lereng Anak Krakatau lebih curam, karena longsoran itu menyebabkan ketidakstabilan baru,” kata Wijdo.

Hingga sekarang, daerah itu masih rawan. Fase erupsi dan masih ada hujan. Longsoran bisa lebih besar atau lebih kecil. Atas potensi ada longsoran susulan yang bisa menimbulkan tsunami, pemerintah bersepakat bahwa daerah pantai-pantai sekitar Selat Sunda, masih berbahaya. Masyarakat sekitar diimbau tidak beraktivitas di sekitar pantai.

 

Peta Gempa 2017 Kementerian PUPR yang dijadikan rujukan Widjo Kongko melakukan rekayasa tsunami. Foto: presentasi Widjo Kongko

 

 

Ingatkan potensi tsunami di Laut Selatan Jawa termasuk Bandara Jogja

Widjo juga meneliti potensi tsunami dan gempa bumi di Laut Selatan dekat Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Widjo mengingatkan, perlu ada kepastian pembangunan infrastruktur penghalang tsunami di NYIA untuk mengantisipasi potensi tsunami dengan ketinggian 10 hingga 15 meter di bibir Pantai Kulon Progo.

Dia bilang, ada potensi tsunami dengan tinggi gelombang 10-15 meter di bibir pantai yang berjarak 300 meter dari area landas pacu NYIA, terutama jika terjadi gempa megathrust dengan magnitude 8,5-9 SR. Widjo telah memodelkan tinggi tsunami 10-15 meter. Ada tumbukan dua lempeng besar (megathrust) di selatan Jawa yang berpotensi menimbulkan gempa bumi dan tsunami.

Kajian terbaru dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, magnitude gempa berpotensi 9 SR . Setiap daerah subduksi berpotensi menimbulkan gempa bumi dan tsunami pada skala katastropik dengan magnitude 9 SR. Potensi itu satu rangkaian daerah subduksi Sumatera, Sunda, Jawa bagian selatan hingga ke timur.

“Topografi bawah laut mengindikasikan ada palung dalam di daerah subduksi hingga ada potensi gempa bumi dahsyat,” kata Widjo.

LIPI telah mengkaji jejak tsunami purba dan ancaman sangat nyata. Panjang tsunami purba bisa lebih dari 1.000 kilometer yang mengindikasikan dulu ada peristiwa katastropik yang besar. Deposit tsunami mulai dari Lebak hingga Bali, sudah berumur tua. Dari sisi sebaran, peneliti menemukan sedimen itu lebih dari 1,5 kilometer. Kajian LIPI menguatkan dan mengkonfimasi potensi gempa dan tsunami besar.

Runway Bandara NYIA cuma 300 meter dari bibir pantai. Secara sientifik pasti terendam,” katanya.

Potensi gempa dan tsunami bisa saja menyamai tsunami Tohoku atau Sendai di Jepang pada 11 Maret 2011. Kejadian itu tercatat jadi tsunami paling mematikan abad ke-21. Gelombang tsunami setinggi 10 meter dengan kecepatan hingga 800 kilometer perjam melanda Fukushima. Sedikitnya 18.000 orang meninggal dan 2.500 orang hilang.

Bahkan di Jepang, punya catatan sejarah panjang soal bencana tsunami yang menelan korban jiwa sangat banyak. Jepang juga salah satu negara paling maju dalam riset gempa bumi dan penanggulangan tsunami.

 

Penggusuran lahan pertanian warga di Temon Kulonrpogo untuk proyek bandara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Siapkan mitigasi

Widjo mengimbau, pemerintah menyiapkan mitigasi untuk potensi gempa dan tsunami itu. Seharusnya, kalau sudah mengetahui potensi itu, katanya, bisa jadi masukan penting untuk kajian berbagai pembangunan infrastruktur, termasuk bandara.

“Saya belum tahu kajian detail soal potensi gempa bumi dan tsunami dari Kementerian Perhubungan maupun PT Angkasa Pura I. Jika ada, kami bisa membaca dan jadikan bahan kajian,” katanya.

Teuku Faisal Fathani, Ketua Pusat Unggulan dan Inovasi Teknologi Mitigasi Kebencanaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, memperlihatkan, hasil survei wawancara menyangkut gempa bumi, tsunami, respon dan kapasitas melihat bagaimana kesiapan mitigasi di Indonesia secara umum. Hasilnya, 75% merespon panik saat evakuasi, 10% tenang, dan 15% tidak merespon.

Selain itu, pada bagian kapasitas publik untuk sosialisasi atau pelatihan mitigasi tidak pernah 100%. Dia contohkan, banyak orang tak paham fungsi shelter tsunami dan melihat risiko bencana maupun tanggung jawab. Kapasitas mitigasi, katanya, juga tidak disiapkan.

 

 

Tsunami lampau di Banten, Jateng dan Jogja

Eko Yulianto, peneliti LIPI, lewat uji karbon menemukan deposit tsunami di pesisir Kulonprogo, Yogyakarta, berusia 300 tahun, atau diduga terjadi 1699. Deposit lebih tua ditemukan berusia 1.698 tahun, 2.785 tahun, dan 3.598 tahun. Deposit dengan usia lebih kurang sama ditemukan di Lebak, Banten hingga Cilacap, Jawa Tengah.

Temuan ini menunjukkan, gempa besar dan tsunami dahsyat potensial di sepanjang wilayah ini. Gempa Bantul 2006, berpusat di dekat daratan Parangtritis, persis di patahan Opak yang memanjang dari Parangtritis hingga Piyungan, berbelok ke timur mengikuti kaki Pegunungan Nglanggeran hingga Bayat, Klaten. Ke utara dari Piyungan memanjang melewati Prambanan hingga sebelah timur Gunung Merapi.

Meski tak ada dalam catatan sejarah, perbedaan ekstrim kontur daratan di sisi timur Parangtritis dan dataran sebelah barat, mengindikasikan pernah terjadi tunjaman karena patahan hebat. Entah berapa juta tahun lalu, namun mestinya kontur daratan Bantul dan Gunungkidul, pernah di level sama, seperti daratan Gunungkidul yang sambung menyambung dengan kontur perbukitan karst Wonogiri, Pacitan, terus ke timur hingga Malang, Lumajang hingga Banyuwangi.

“Patahan yang ambles mulai dari sisi timur Parangtritis hingga Kulonprogo itu akhirnya sebagian besar terisi endapan vulkanis dari Gunung Merapi di sebelah utara,” kata Eko, ketika presentasi di Univesity Centre UGM.

Dia menjelaskan, endapan itu sebagian besar dari Gunung Merapi tua dan kemungkinan sebagian dari Gunung Bibi, jauh lebih tua. Daratan patah dan ambles, sekaligus jadi pembatas tegas antara dataran rendah Yogya hingga Bantul dan perbukitan di Gunungkidul ini sedikit banyak menjelaskan mengapa daerah terdampak paling parah gempa 2006 terlihat dari Pundong (Bantul) hingga Berbah (Sleman).

Dari temuan dan pembacaan sumber sejarah kuno tertulis, bencana besar tertulis di Prasasti Rukam bertarikh 829 Saka atau 907 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan Sri Maharaja Dyah Balitung, sebagai pemimpin Kerajaan Mdang Mataram saat itu. Prasasti tembaga ini ditemukan di Desa Petarongan, Parakan, Temanggung pada 1975. Inti prasasti itu adalah perintah dari Dyah Balitung, lewat sang putra mahkota, Rakryan Mahamantri I Hino Sri Daksotamma Bahubajra Pratikpasaya, agar jadikan Desa Rukam sebagai tanah sima (perdikan) bagi sang nenek, Rakryan Sanjiwana.

Desa itu, kata Eko, disebutkan hancur karena letusan gunung berapi tetapi tak dijelaskan gunung api mana yang membuat desa itu hancur lebur. Mengingat temuan ada di wilayah Parakan, diduga kuat yang dimaksud itu Gunung Sindoro.

Penemuan bangunan pemujaan dan permukiman kuno Mataram di Liyangan, Parakan, Temanggung, menguatkan dugaan itu. Situs berciri Hindu itu terkubur bermeter-meter di bawah permukaan oleh material vulkanik dari arah Gunung Sindoro. Struktur bangunan mula pertama ditemukan tak sengaja ketika para penggali pasir menemukan batu-batu persegi di kedalaman sekitar enam meter.

Penelitian selama lima tahun terakhir menampakkan Situs Liyangan, sebagai bangunan pemujaan dan kompleks hunian cukup besar. Jejak lain bencana alam telah mengubur peradaban Mataram Kuno bisa disaksikan langsung di Candi Sambisari, Candi Kimpulan, Candi Losari, dan Candi Kedulan. Bangunan terakhir ini tengah proses pemugaran candi induknya.

“Candi Sambisari dan Kedulan yang berdekatan di Purwomartani dan Tirtomartani, Kalasan, Sleman, saat ditemukan terkubur material vulkanik dari Merapi, sedalam 6-8 meter,” kata Eko. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:    TNI bersama tim gabungan lakukan penyisiran korban tsunami di pesisir pantai di Banten. Foto: BNPB

 

Kondisi di sekitar pesisir Pantai Banten, setelah sapuan tsunami, Sabtu lalu. Foto: BNPB

 

Exit mobile version