Mongabay.co.id

BRG Kembangkan Sistem Pemantauan Muka Air Gambut

Kebakaran hutan dan lahan terlebih di gambut merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Badan Restorasi Gambut mengembangkan sistem teknologi informasi terbaru guna pencegahan kebakaran hutan dan lahan, yakni sistem pemantauan air lahan gambut (Sipalaga). Sistem ini akan rilis akhir bulan, bertepatan dengan hari ulang tahun ketiga BRG.

”Pemantauan lahan gambut sangat penting mencegah kebakaran,” kata Abdul Karim Mukharomah, Kepala Kelompok Kerja Pengembangan Data BRG dalam diskusi di Jakarta, dua pekan lalu.

Pemerintah Indonesia perlu terus berbenah mencegah kebakaran hutan dan lahan. Terlebih, tahun ini, menurut perkirakan bakal ada El-Nino rendah sampai moderat.

Lahan gambut rentan cuaca dan api, karena saat lahan sudah terbakar akan sulit padam. Pada kebakaran 2015, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merilis luas lahan terbakar 1 Juli-20 Oktober 2015 sekitar 2.089.911 hektar.

Sebanyak 618.574 hektar terbakar di lahan gambut, antara lain, Sumatera (267.974 hektar), Kalimantan (319.386 hektar), dan Papua (31.214 hektar).

BRG menyatakan, luas lahan gambut di Indonesia mencapai 12.932.489 hektar. Karim bilang, pengawasan lahan gambut tak akan efektif jika tidak dibantu teknologi.

Sipalaga, katanya, merupakan platform pemantau data real-time dari alat pemantau tinggi muka air (TMA) yang dapat mengukur kelembaban tanah gambut, tingkat curah hujan, suhu dan kelembapan udara serta arah dan kecepatan angin.

Tahun 2019, katanya, BRG akan menambah 30 alat pemantau TMA gambut di enam provinsi prioritas, yaitu, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Adapun, 20 alat pemantau TMA didanai BRG, 10 oleh donor.

 

 

Hingga Desember 2018, katanya, sudah ada 142 pemantau TMA di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut, yakni, 38 alat dari teknologi Jepang, empat alat Morpalaga, sisanya 100 dari teknologi pengembangan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang belum bernama. Untuk lokasi pemasangan alat berdasarkan prioritas kondisi lahan gambut yang harus dipantau.

”Dengan Sipalaga diharapkan informasi mengenai TMA dapat diakses realtime dan membantu upaya mengembalikan fungsi hidrologi dan ekologi gambut ke kondisi semula atau terbaik,” kata Haris Gunawan, Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan BRG.

Dia bilang, teknologi ini jadi sistem peringatan dini untuk pencegahan bencana karhutla di lahan gambut.

Air gambut, katanya, kalau berkurang memberikan dampak negatif, antara lain penurunan tinggi muka air, penurunan permukaan gambut, emisi karbon, kebakaran dan kekeringan total (irreversible drying).

Awaluddin, Perekayasa Pusat Teknologi Sumber Daya Wilayah Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT mengatakan, BPPT berperan pada riset dan pengembangan Sipalaga. Teknologi canggih ini, katanya, dapat merekam, mencatat dan mengirimkan data dengan memanfaatkan jaringan telekomunikasi GSM.

”Penempatan lokasi alat itu diperkirakan dari kriteria ilmiah dan operasional, terutama kelas prioritas, topogarfi, selanjutnya, kanal, tutupan lahan dan sungai,” katanya. Kelas prioritas ini dilihat dari pasca kebakaran 2015-2016 dan lindung gabut berkanal.

Berdasarkan penghitungan BPPT, kata Awaluddin, perlukan 21.656 alat pemantau titik muka air pada kesatuan hidrologi gambut (KHG). Adapun, 16.027 titik di lahan non-hutan tanaman industri, 5.629 titik di HTI tersebar pada tujuh provinsi prioritas.

 

 

Cara kerja?

Alat pemantau ini akan merekam parameter tinggi muka air, kelembaban tanah dan curah hujan per 10 menit. Setiap satu jam data akan terkirim ke server di BRG. Selanjutnya, diolah dan tampil melalui situs Sipalaga.

Setiap stasiun akan memberikan informasi terkait lokasi alat, waktu dan tanggal terakhir data upload, tinggi muka air, kelembaban tanah, curah hujan. Nantinya, data hasil pemantauan dapat diunduh melalui format PDF.

Untuk keperluan pencegahan karhutla di gambut, alat pemantau ini memberikan tiga kategori informasi peringatan dini, yakni aman (warna hijau), siaga (kuning) dan bahaya (merah).

Status bahaya, berarti tinggi muka air lebih rendah dari 40 cm di bawah permukaan lahan gambut, siaga, artinya tinggi muka air 40 cm di bawah muka lahan gambut.

Karim menyebutkan, hingga kini sistem ini masih pasif, pengguna hanya bisa mengakses melalui situs. Ke depan, ia dapat diakses melalui aplikasi Android.

Pengguna pun tak hanya dapat melihat data harian, juga mingguan, bulanan hingga tahunan.

Harapannya, Sipalaga jadi sistem panduan terdepan dalam upaya pencegahan karhutla bagi kementerian dan lembaga terkait.

 

 

Capaian kerja BRG

Haris menyebutkan, hingga Desember lalu, BRG sudah pembasahan (rewetting) lahan gambut sekitar 680.942 hektar dengan dampak mencapai 480.000 hektar.

Tahap pembangunan infrastruktur untuk pembasahan ini, katanya, memerlukan waktu. Bila sudah terbangun, tinggi muka air gambut tidak pasti akan langsung naik.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1/2016 tentang BRG, target restorasi gambut mencapai 2,4 juta hektar hingga 2020. Meski demikian, hanya 1 juta yang jadi kewajiban restorasi BRG, 1,4 juta merupakan lahan konsesi.

”Masih tersisa 400.000 hektar lahan gambut harus diintervensi hingga 2020,” katanya.

Data BRG, hingga 2018, revegetasi luasan 787 hektar.

Alue Dohong, Deputi Bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan BRG menyebutkan, revegetasi sejauh ini baru sebatas pembuatan demplot.

 

Keterangan foto utama:     Kebakaran hutan dan lahan terlebih di gambut merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau, tak hanya menghanguskan kebun, sawit warga, juga belasan rumah, sepeda motor dan mobil pick up, Jumat (17/8/18). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version