Mongabay.co.id

Cerita Sepeda Bambu yang Dikayuh Jokowi

Sumner: Jokoway.com

 

 

 

 

Presiden Joko Widodo, tampak mengayuh sepeda diiringi ratusan pesepeda lain menuju panggung di Plaza Tenggara Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat. Sabtu sore, 12 Januari itu, digelar deklarasi dukungan dari alumni Universitas Indonesia untuk pasangan presiden dan wakil presiden nomor urut satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Sepeda yang dikendarai Jokowi, hari itu terbilang unik dibanding sepeda-sepeda lain. Warna sepeda dominan putih, dengan kerangka coklat alami. Ada tulisan Spedagi pada bagian kerangka dekat roda belakang. Pembawa acara kemudian menerangkan sepeda itu merupakan produksi dalam negeri, dihasilkan di Temanggung, Jawa Tengah.

Baca juga:  Belajar Hidup Ramah Alam dari Desa (Bagian 1)

Sepeda dengan kerangka bambu ini adalah karya Singgih Susilo Kartono, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memenangkan beberapa penghargaan internasional untuk desain produk. Singgih juga, pegiat lingkungan dan gerakan sosial yang mengajak orang hidup selaras dengan alam.

Itu bukan kali pertama Jokowi menyentuh Spedagi. Sekitar dua tahun lalu, Jokowi bahkan membeli dua Spedagi.

“Saya sendiri yang menyerahkan ke Pak Jokowi di sebuah acara di Jakarta. Saya ingat beliau mengatakan desainnya bagus ya, beda dengan sepeda bambu lain,” kata Singgih kepada Mongabay.

 

Singgih memperlihatkan rangka Spedagi versi awal. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Manfaatkan bambu

Spedagi merupakan gagasan kreatif Singgih setelah suatu ketika dia menemukan foto sepeda bambu di internet yang dibuat oleh orang Amerika, Craig Calfee.

“Saya merasa tertampar karena sebagai seorang sarjana desain dan melihat di sekitar rumah banyak tumbuh bambu justru tidak melakukan apa-apa atas sumber daya yang melimpah itu,” katanya, dalam sebuah acara di Ngadiprono, Kedu, Temanggung.

Baca juga:   Belajar Merawat Alam ala Singgih lewat Pasar Papringan

Spedagi sebenarnya akronim atau singkatan dari sepeda pagi, sebuah kebiasaan yang dilakukan Singgih saat di desa. Kadang ditemani sang istri, Tri Wahyuni, atau kerabat dekat mereka menyusuri jalanan desa dengan bersepeda.

“Ini semua gara-gara kolesterol,” kata Singgih setengah bercanda, mengisahkan Spedagi bermula.

Proses penciptaan sepeda bambu cukup berliku, berawal pada 2013. Spedagi generasi pertama masih gunakan bambu utuh. Kala itu, Singgih memilih bambu diameter kecil namun kuat sebagai kerangka sepeda. Mirip seperti gagang sapu.

Sepeda bambu terlihat besar, kasar, dan cukup sulit menyatukan batang-batang bambu karena diameter tidak selalu sama. Dalam sebuah kesempatan Singgih pernah memperlihatkan setumpuk sepeda bambu buatannya yang gagal.

“Saya tidak putus asa. Saya terus mencoba menyempurnakan sampai ketemu yang saya mau,” katanya waktu itu.

Setelah gunakan bambu utuh, Singgih beralih pakai bilah bambu. Dia pakai bambu petung yang terkenal kuat, besar, dan mudah didapat. Rangka bambu itu disambung dengan logam dan resin. Seluruh pekerjaan pembuatan sepeda dengan tenaga lokal yang juga cukup melimpah di desa.

Baca juga: Tularkan Gerakan Pemanfaatan Sumber Daya Lestari ke Negeri Sakura (Bagian 2)

Spedagi adalah produk kerajinan tangan, dan dia tak bermaksud jadi produk industri massal. Jangan membayangkan ada pabrik sepeda di desa itu. Untuk menghasilkan satu sepeda bambu perlu enam hari kerja, dengan cermat, lewat tangan-tangan terampil artisan. Mengendarai Spedagi laksana mengendarai karya seni.

Beberapa varian Spedagi akhirnya dia ciptakan. Mulai dari Spedagi Dwiguna (dual track) yang dirancang untuk bersepeda di jalan pedesaan maupun kota. Spedagi Dalanrata (road bike) khusus untuk jalan yang mulus. Spedagi Gowesmulyo (joy bike) untuk perkotaan dengan jarak pendek, dan Spedagi Rodacilik (minivelo) yang menggunakan ban berdiameter kecil yang juga cocok untuk jalan perkotaan.

Sepeda yang ditunggangi Jokowi adalah varian dari Spedagi Gowesmulyo. Harga mulai Rp3,5 juta untuk kerangka saja. Kalau utuh termasuk roda dan aksesoris lain sampai Rp8,65 juta.

Spedagi sendiri menjadi ikon dari gerakan merevitalisasi desa. Desa sebenarnya banyak memiliki potensi, yang tidak terlihat oleh masyarakat desa itu sendiri. Bersama timnya dia memulai proyek Pasar Papringan, sebuah upaya konservasi kebun bambu menjadi tempat yang menarik dan mendatangkan tambahan pendapatan bagi warga desa.

Kini Spedagi sebagai sebuah gerakan tidak hanya ditularkan di Indonesia namun juga Jepang, dan dalam penjajakan ke beberapa negara lain.

 

Spedagi rodacilik, sepeda bambu varian terbaru. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Keistimewaan

Sepeda bambu ciptaan Singgih memang unik. Bambu petung dipilih karena banyak tumbuh di desa. Bentuknya yang besar dan kuat memudahkan untuk membuat ukuran sama. Penggunaan bahan alam ini tentu saja bisa mengurangi bahan-bahan ekstraktif yang cenderung merusak alam.

Dari sebatang bambu petung usia dewasa, Singgih mampu membuat lima hingga tujuh kerangka sepeda. Sebuah lompatan nilai tambah dari bambu yang sering dianggap bahan alam biasa.

“Bambu itu material masa depan,” kata Singgih.

Selain kuat, dan alami, bambu bisa untuk banyak hal, dari perabotan, rangka rumah, hingga kerajinan. Bambu tumbuh baik di banyak tempat di Indonesia. Bambu juga cepat tumbuh, hingga pemanfaatan bisa mengurangi penggunaan kayu hutan. Pada akhirnya pemilihan material bambu bisa mengurangi deforestasi.

Saat saya mencoba salah satu seri Spedagi di jalan desa, tidak ada perbedaan mencolok yang dirasakan dibandingkan dengan sepeda berkerangka aluminium atau logam. Baik saat merambah jalan berbatu maupun jalan rata.

Sepeda bambu terasa nyaman dikendarai karena bambu sesungguhnya merupakan material penyerap getaran terbaik dibanding material besi, aluminium bahkan serat karbon. Kelemahan sekaligus keunggulan bambu adalah sifatnya yang lentur. Kerangka sepeda Spedagi didesain sedemikian rupa mengurangi sifat ini. Sejauh ini, Singgih masih belum merekomendasikan sebagai sepeda balap profesional.

Keistimewaan lain sepeda bambu rancangan Singgih adalah ide pemanfaatan kearifan lokal atas bambu itu sendiri. Bambu sejak lama sebagai bahan pembuatan rumah di desa. Meski umur pakai bisa berbilang tahun lewat perlakuan yang tepat, namun kini bambu mulai ditinggalkan.

“Saya terinspirasi dari rumah di desa yang memanfaatkan bambu sebagai usuk penahan genting. Para tukang pembuat rumah di desa menggunakan dua bilah bambu yang saling ditangkupkan.”

Kerangka sepeda bambunya juga dibuat dari dua bilah bambu yang ditautkan. Dua bilah bambu dengan teknik tertentu diserut lalu disatukan. Jika rancangan awal bentuknya silinder, pada desain sepeda bambu terakhirnya sengaja berbentuk oval.

Hasilnya, kuat juga terlihat ramping. Selain itu, lebih banyak lagi bambu terpakai dari sebatang bambu.

“Saya memilih bentuk oval selain kuat ini juga lebih cantik,” kata Singgih.

Bersepeda Spedagi, tak lengkap jika tidak menggunakan aksesoris helm asli sepeda bambu. Helm Spedagi juga terbuat dari bambu. Bentuknya mirip engkrak berukuran kecil yang pas dikenakan di kepala. Ada tali yang menggantung di bawah dagu agar engkrak kecil itu tidak jatuh.

Engkrak sebenarnya adalah piranti yang dipakai untuk mengumpulkan sampah. Namun dalam sudut pandang Singgih engkrak itu bisa bernilai tinggi dan berubah jadi helm. Sebenarnya, dia sudah merancang helm untuk Spedagi, tetapi menjelang bata waktu, Singgih gagal. Sampai dia melihat ada engkrak yang terbalik.

“Engkrak ini awalnya cuma untuk memungut sampah dan seringkali tergeletak begitu saja tanpa diperhatikan orang. Tapi ketika ini dibuat lebih kecil dan dipakai sebagai topi benda ini menjadi lucu, indah, dan unik. Orang juga suka mengenakannya,” kata Singgih.

Topi Engkrak Spedagi menjadi sebuah simbol upaya mengangkat harkat bambu, mengubah fungsi dari pengumpul sampah menjadi pelindung kepala, bagian terpenting dari tubuh seseorang.

 

Gerakan Spedagi sudah meluas ke mancanegara. Dari kiri ke kanan Daichi Iwase (Direktur Spedagi Tokyo), Livinia Elysia (manajer hubungan internasional Spedagi Japan), Fumikazu Masuda (Direktur Spedagi Japan). Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Penghargaan

Pengakuan atas kualitas dan desain produk sepeda bambu buatan Indonesia ini beberapa kali datang dari ajang di luar negeri. Pada 2017, Spedagi memperoleh Bronze Award dalam DFA–Design for Asia Awards– diselenggarakan di Hong Kong. Pada 2018, Spedagi memenangi Gold Award Good Design Jepang 2018. Spedagi terpilih dari hampir 4.500 entri dari seluruh dunia.

Sepeda bambu Singgih sudah menjalani serangkaian uji coba. Spedagi telah diperiksa Japan Vehicle Inspection Association (JVIA), dan uji kendara di Indonesia melewati Jakarta Madiun sejauh 750 km tanpa kerusakan. Setiap produk Singgih memberikan garansi selama dua tahun.

Penghargaan dan lolos uji di Jepang ini membuktikan, kualitas Spedagi diakui di negara yang dikenal memiliki standar tinggi untuk produk ini.

Uniknya, Singgih memberi nama dan memberi seri untuk tiap produk memakai bahasa Jawa. Seri Pringtelulas berarti bambu tigabelas seperti untuk varian Spedagi Rodacilik atau roda kecil. Varian Gowesmulyo yang dipakai Jokowi itu berarti gowes nyaman. Seri Dalanrata, misal berarti jalan rata, bentuk mirip sepeda balap. Dwiguna, bentuk seperti sepeda gunung baik untuk jalan berbatu maupun jalan rata.

Bukan kali itu saja Singgih menerima penghargaan untuk desain yang memakai pendekatan ecoproduct dan ecodesign. Dia juga memenangkan beberapa penghargaan internasional untuk desain Radio Kayu Magno. Radio kayu juga dikoleksi dan dipamerkan di beberapa museum desain ternama dunia.

Singgih dengan karya-karyanya membuktikan, sumber lokal yang terdapat di desa, yang melibatkan talenta atau artisan dari desa, diproduksi di desa, bisa memiliki kualitas dunia.

 

Keterangan foto utama:     Joko Widodo menaiki Spedagi. Foto: Jokoway.com

 

Jokowi menaiki Spedagi. Foto: Jokoway.com
Warga yang berjualan sayuran melayani pembeli di Pasar Papringan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version