Mongabay.co.id

Kalibiru dan Kisah Sukses Masyarakat Jalankan Ekowisata Milyaran Rupiah

Ada yang berbeda di Dusun Kalibiru. Di dekat joglo utama, terparkir dua mobil ranger double cabin berpenggerak empat roda. Satu mobil itu berharga sekitar Rp400 juta. Tak jauh darinya, sebuah mobil berjenis MPV seharga Rp200 juta terparkir pula. Di semua mobil tertulis logo wisata Kalibiru.

Mobil-mobil itu hanya sebagian dari aset yang kini dimiliki oleh Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Mandiri, Dusun Kalibiru, Kelurahan Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

Nama Kalibiru beberapa tahun terakhir menjadi perbincangan. Berkat kegigihan dan perjuangan berliku, Kelompok Tani Mandiri berhasil mengubah paradigma pengelolaan hutan. Hutan Negara tetap terjaga, sekaligus mampu menjadi tumpuan ekonomi warga. Tak hanya bagi sekitar delapan ribuan orang di Desa Hargowilis, bahkan hingga ke Wates dan Kulon Progo yang berjarak 10 km.

“Senang juga bangga,” kata Sudadi, pengelola wisata alam Kalibiru menyebut. Saat dijumpai di awal Januari lalu.

“Dulu Kalibiru sepi, terisolir. Kini banyak orang datang ke mari, dari mana-mana. Ada pengurus yang bisa bersalaman dengan Presiden karena tempat ini. [Bahkan] Pak Jokowi pernah menyebut Kalibiru dalam pidatonya. Ini luar biasa bagi kami yang cuma petani dan hidup di hutan.”

Baca juga: Kelola Hutan Berbasis Masyarakat Benteng Penjaga Hutan di Tingkat Tapak

Pidato yang dimaksud Sudadi itu adalah saat Jokowi berbicara pada CEO Forum di Australia, 17 Maret 2018. Jokowi menyebut di Kalibiru orang rela antre berjam-jam untuk mendapatkan selfie yang sempurna.

“Kalangan menengah dan muda saat ini tertarik dengan pengalaman dan petualangan dibanding barang-barang mewah. Hal ini tentu berdampak pada melonjaknya sektor pariwisata global,” ucap Presiden, sebagaimana dikutip dari setkab.go.id.

Sudadi menyebut jumlah pengunjung dari mancanegara ke Kalibiru mencapai 45 persen. Pada hari libur panjang seperti Lebaran, antrean mobil mengular hingga 2 km arah jalan ke Kalibiru.

Walhasil, sebagian keuntungan wisata dikembalikan untuk pembenahan.

Kini Kelompok Tani Mandiri berhasil membangun kantor pengelola wisata alam Kalibiru, joglo pertemuan 3 unit, 20 bangunan warung semi permanen, 10 buah pondok homestay, 8 spot foto, sarana permainan ketangkasan high rope game, flying fox, dan jalan beraspal. Nyaris semuanya dibangun dengan dana sendiri, tanpa bantuan dari pemerintah.

 

Parjan berfoto dengan latar belakang mobil aset wisata alam Kalibiru. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Panorama Alam

Pada 2016 wisata alam Kalibiru membubuhkan pemasukan Rp5,9 miliar. Sebuah angka yang bahkan para perintisnya sendiri tidak menyangka. Terlebih kebanyakan pengelolanya adalah para petani yang awam, dan tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengetahuan tentang pariwisata.

“Saat kami buka pertama kali, kadang ada tamu kadang tidak. Bulan-bulan pertama pengelola hanya diberi honor Rp25 ribu. Waktu itu kami bangun flying fox, pondok. Nekad saja. Tidak peduli cibiran orang yang bilang petani kok mau buka wisata. Pokoknya belajar sambil jalan,” kata Parjan Siswo Sumarto, Ketua Kelompok Tani HKm Mandiri mengenang.

Wisata Alam Kalibiru dibangun tahun 2008, dan mulai beroperasi pertengahan 2009. Pada tahun pertamanya kunjungan sekitar lima ribu orang, tahun berikutnya meningkat tujuh ribu orang.

“Tahun 2010 mulai ada yang camping di sini. Sampai suatu ketika kami lihat banyak pengunjung yang selfie di pohon tempat berhentinya flying fox.”

Rupanya mereka suka selfie dengan latar belakang panorama Waduk Sermo dan perbukitan Menoreh yang menghijau. Di sebelah selatan terlihat samar pantai laut selatan. Pengelola akhirnya membuat tempat selfie khusus.

Bersamaan dengan itu, foto-foto indah wisata Kalibiru viral di media sosial. Jalan bagi kepopuleran Kalibiru tak terbendung lagi. Puncaknya pada tahun 2016, jumlah pengunjung tercatat hampir 450 ribu orang dalam setahun.

Membludaknya pengunjung memaksa pengelola untuk memperbaiki pelayanan, menambah sarana, dan jumlah tenaga pengelola. Hingga kini tak kurang 120 orang terlibat menjadi tenaga tetap dan lepas. Mereka banyak yang berasal dari Hargowilis bahkan dari luar Kecamatan Kokap.

“Tenaga yang bekerja di objek wisata Kalibiru minimal mendapat upah sesuai UMR Kulon Progo. Itu masih dapat tambahan uang lembur, THR. Beberapa pekerja memilih bekerja di Kalibiru dan meninggalkan pekerjaan lamanya di kota-kota besar.”

 

Lima perintas wisata alam Kalibiru. Dari kiri ke kanan: Parjan, Sudadi, Sukidal, Nasir dan Kamijan. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Berangkat dari Rasa Kecewa hingga Membohongi “Orang Rumah”

Keberadaan wisata alam Kalibiru tidak bisa lepas dari upaya lima serangkai warga Hargowilis. Mereka adalah Kamijan (60), Parjan (65), Sukidal (60), Sudadi (56), dan Nasir (47). Berenam bersama almarhum Parlan, mereka adalah perintis Kalibiru.

“Semua berawal dari rasa kecewa,” kenang Parjan. “Dulu kami tahunya hutan produksi namun surat izin turun menyatakan sebagai hutan lindung. Jika awalnya kami berharap bisa manen kayu setelah 15 tahun, setelah dinyatakan jadi hutan lindung kami tidak bisa memanen kayu.”

Pada 2003 mereka mendapat surat izin sementara pengelolaan hutan kemasyarakatan dari Bupati Kulon Progo untuk jangka waktu lima tahun. Setelah dievaluasi lalu turun surat definitif pada 2007. Surat Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dikeluarkan untuk tujuh koperasi, bagian dari kelompok tani hutan kemasyarakatan di Kulon Progo. Lima memperoleh status hutan lindung dan dua lainnya hutan produksi.

Kata Parjan, waktu itu banyak anggota kelompok yang marah gara-gara mengetahui ternyata izin yang turun adalah untuk hutan lindung. Apa yang mereka lakukan selama ini dengan menanam dan merawat kayu seperti sia-sia.

“Kami sebagai pengurus sampai tidak berani [bertemu anggota]. Saya minta Dinas [Perhutanan dan Kehutanan Kulon Progo] yang sampaikan pada anggota.”

Terbayang dibenak pengurus bagaimana sulitnya menjaga hutan aman dari gangguan. Sebab bukan tidak mungkin mereka yang kecewa akhirnya kembali menjarah kayu di hutan. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Setelah melewati berbagai upaya, akhirnya mereka memutuskan untuk memanfaatkan jasa lingkungan berupa wisata alam.

“Kami dulu seperti orang gila. Berangkat dari rumah pamitnya [dengan orang rumah] cari rumput atau kayu. Tapi kami saling bertemu dan ngobrol kesana kemari memimpikan bagaimana caranya agar hutan ini terselamatkan. Kadang sampai malam. Sampai rumah tidak bawa apa-apa.”

Mereka berlima hapal perbukitan di Hargowilis termasuk Kalibiru karena dulu tempat itu adalah arena bermain mereka. “Kami suka main layang-layang di sini.” Bukit tanpa pohon memang mudah untuk menerbangkan layang-layang.

Jalan semakin dekat dengan mimpi ketika tujuh kelompok tani HKm di Kulon Progo yang tergabung dalam Komunitas Lingkar (Peduli Lingkungan Alam Lestari) membuat acara Sedekah Bumi di Kalibiru, pada 22 Juni. Lokasinya di puncak bukit yang kini menjadi tempat wisata alam Kalibiru.

 

Spot selfie di Kalibiru dengan latar belakang panorama hijaunya hutan, waduk Sermo, dan perbukitan Menoreh. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Di hadapan Bupati Kulon Progo (waktu itu) Toyo Santoso Dipo, disampaikanlah rencana pengembangan wisata Kalibiru. Akhirnya mereka mendapat bantuan sebesar Rp 445 juta yang berasal dari anggaran community development.

“Bupati minta komunitas membuat proposal. Dipilihlah Kalibiru karena sudah punya fasilitas  dan view-nya juga bagus. Desember 2008 dana turun. Tidak ada konsultan perencanaan, tidak ada konsultan pengawas. Murni swakelola,” terang Parjan.

Lanjut Parjan, dana itu lalu digunakan untuk membuat pondok sebanyak enam buah, WC tiga unit, gardu pandang empat unit, bak penampungan air dua unit, dan satu unit permainan flying fox sepanjang 86 meter.

 

Membangun Kepercayaan Masyarakat

Parjan lalu mengajak Mongabay menilik pondok-pondok baru yang sedang dalam pengerjaan di sisi utara zona pemanfaatan. Kamijan menunjuk satu spot dekat zona inti tempat dulu mereka berlima sering berkumpul dan membayangkan Kalibiru di masa depan.

“Dulu, saya dan kawan-kawan tidak punya apa-apa. Kalau diajak studi banding apa yang ada kita jual untuk sangu. Pohon kelapa saya sampai habis [buat biaya],” ungkapnya.

“Ketika kami mengarah ke jasa lingkungan yaitu desa wisata. Banyak petani tidak percaya. Perjalanan ini banyak prihatinnya. Tidak mudah meniru kesuksesan Kalibiru,” kata Parjan.

Dia menyebut ada tiga hal yang harus diperkuat dalam HKm, yaitu pengelolaan lembaga, kawasan, dan usaha.

“Lembaga harus diperkuat, orang-orang harus kompak. Kalau lembaga tidak kuat maka akan mudah digoyang. Semua aturan harus dituangkan di aturan yang disepakati bersama. Namanya AD/ART. Ini UU kelompok.”

“Kedua, kelola kawasan dan ketiga kelola usaha. Kalau kelompok mau jalan, usahanya harus jelas. Kelola usaha harus melihat potensi. Potensi harus disesuaikan dengan status kawasan. Misalnya hutan lindung, maka ada 3 jasa, 19 item yang bisa dikembangkan. Lalu buatlah skala prioritas.”

 

Tarif dan papan informasi spot foto di wisata alam Kalibiru. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Meski sudah berkembang, HKm Mandiri jelasnya masih butuh pendamping lokal. Pendamping adalah orang yang tahu persis keadaan sosial masyarakat. Dia juga mestilah orang yang memiliki hubungan baik dengan beragam instansi. Pendamping membantu merumuskan masalah, menemukan solusi, mendata potensi.

“Pendamping dari dinas sudah ada, penyuluh sudah ada, tapi mereka tidak tiap hari di sini.”

Mereka juga butuh payung hukum atas kegiatan wisata yang dijalankan. Terutama tentang aturan mengenai tiket.

Kini sangat banyak orang yang menggantungkan hidupnya kepada keberadaan wisata alam Kalibiru. Mereka menerima manfaat langsung maupun tidak langsung dari perhutanan sosial. Mulai dari pemilik warung, operator, sopir jeep, tour leader, hingga pengatur jalan.

“Jika dulu mereka berkebun, sekarang sebagian memilih jadi pengojek atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan wisata. Mereka memilih tanaman kayu. Tanah hak milik sudah dihutankan sehingga bisa dipanen suatu saat,” masih kata Parjan.

Sudadi menambahkan, kini yang menjadi pekerjaan terberat adalah meningkatkan kualitas pelayanan agar orang tetap berminat datang ke Kalibiru.  “Karena ada ratusan orang yang harus digaji. Jika pemasukan perbulan kurang dari Rp300 juta, maka sulit bagi kami.”

Kelima perintis wisata Kalibiru ini berharap program perhutanan sosial terus berlanjut. Mereka masih mengharap pemerintah membantu prasarana jalan, dana, pendamping, dan perlindungan terkait aturan.

“Karena didalamnya ada manfaat ekonomi, wisata, dan ekologi,” kata Nasir.

Dengan wisata, perubahan signifikan telah dirasakan warga. Rumah warga yang reot kini dibangun permanen. Jika dulu berjalan kaki ke Wates, kini banyak warga yang sanggup beli mobil. Salah satu indikator kecukupan ekonomi. Jalan beraspal yang dapat dilalui mobil berukuran sedang pun telah terbangun hingga ke titik tertinggi di Kalibiru.

Parjan lalu mengajak Mongabay melihat sebuah lemari penuh cenderamata berasal dari tetamu yang datang ke Kalibiru.

“Seluruh Indonesia sudah banyak yang belajar kemari. Saya juga diundang keliling Indonesia menjadi pembicara. Kecuali Papua, belum. Saya cerita kesuksesan perhutanan sosial Kalibiru,” tutup Parjan bangga.

 

video: Hutan Lestari Kalibiru yang Mendunia

Exit mobile version