Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib Situs Sriwijaya di Lahan Gambut?

Benarkah mitos yang menyatakan ada emas di rawa gambut membuat kondisi pesisir timur Sumatera Selatan Rusak? Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Program restorasi gambut memasuki tahun ketiga. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari pembasahan dan rehabilitasi lahan hingga revitalisasi ekonomi masyarakat di sekitar rawa gambut. Tapi, bagaimana nasib situs permukiman masyarakat Kerajaan Sriwijaya yang banyak ditemukan di rawa gambut di Sumatera Selatan?

“Belum ada kegiatan penyelamatan situs-situs Sriwijaya yang berada di rawa gambut seperti di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin dan Musi Banyuasin,” kata Conie Sema, seniman dari Teater Potlot, Senin [28/1/2019].

Dijelaskan Conie, ancaman keberadaan situs permukiman Kerajaan Sriwijaya di rawa gambut mencuat setelah peristiwa kebakaran 2015. “Dapat dikatakan isu ancaman situs bersamaan dengan langkah awal pemerintah menjalankan program restorasi gambut. Data dan informasinya berulang kali disampaikan Balai Arkeologi Sumatera Selatan,” ujarnya.

Dengan fakta ini, kata Conie, pemerintah terlihat belum fokus dengan peninggalan sejarah khususnya Kerajaan Sriwijaya yang selama ratusan tahun menjayakan Nusantara melalui peradaban maritim. Sementara, pemerintah tengah mencanangkan diri Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Bicara kemaritiman Nusantara atau Indonesia, kita tidak mungkin melupakan atau menghapus jejak peradaban Kerajaan Sriwijaya,” katanya.

Baca juga: Benda Bersejarah Terus Diburu, Program Restorasi Gambut Harus Lindungi Situs Sriwijaya

 

Benarkah mitos yang menyatakan ada emas di rawa gambut membuat kondisi pesisir timur Sumatera Selatan rusak? Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi KLHK, mengatakan tidak mungkin Badan Restorasi Gambut [BRG] menjalankan program penyelamatan situs permukiman Kerajaan Sriwijaya.

“BRG itu prioritasnya 3R [Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi]. Jadi menurut saya, BRG tidak akan mengagendakan penyelamatan situs budaya Sriwijaya. Meskipun seharusnya, BRG melakukan hal tersebut sebagai upaya 3R, dengan penyelamatan peradaban manusia, yang di dalamnya juga ada dimensi sejarah sebagai perspektif penting pengelolaan gambut,” katanya, Selasa [29/1/2019].

“Apalagi, Sriwijaya bukan kerajaan yang menghancurkan bentang alam di Nusantara. Justru pembangunan peradaban yang dilakukannya sangat arif dengan lingkungan, seperti terbaca dalam Prasasti Talang Tuwo serta bukti-bukti sejarah lainnya,” katanya.

Baca: BRG Kembangkan Sistem Pemantauan Muka Air Gambut

 

Pecahan keramik dari masa Dinasti Tang di Kanal 8 Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Pesisir timur terus berkembang

Nurhadi Rangkuti, arkeolog dan mantan Kepala Balar Sumsel, dalam sebuah artikelnya “Teluk Cengal: Lokasi Bandar Sriwijaya” di Kemendikbud mengatakan berbagai penemuan artefak di rawa gambut di rawa gambut di Cengal, Kabupaten OKI, Sumsel, diperkirakan di masa lalu wilayah tersebut merupakan sebuah bandar Sriwijaya yang ramai.

Jika dikaitkan perkiraan Nurhadi Rangkuti, berbagai pembangunan di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan, khususnya di Kabupaten OKI, juga mengarah pada pengembalian posisi tersebut. Saat ini, pesisir timur Sumatera Selatan bukan hanya terdapat perkebunan sawit dan konsesi HTI, pabrik, juga tengah dibangun berbagai pelabuhan. Termasuk pula rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Sumatera Selatan dengan Pulau Bangka.

Baca: Mitos Emas di Rawa Gambut Turut Merusak Pesisir Timur Sumsel?

 

Emas dalam bentuk beragam perhiasan banyak ditemukan di situs permukiman Kerajaan Sriwijaya di lahan gambut KHG Sugihan-Sungai Lumpur, Sumsel. Foto: Sengguk Umang

 

Di awal pemerintahan Herman Deru-Mawardi Yahya, terkait pengembangan ecotourism, akan dikembangkan ekowisata di Pesisir Timur Sumatera Selatan. Dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat [LSM], mereka akan mengembangkan ekowisata di Pulau Maspari dan Sembilang [Taman Nasional Berbak Sembilang].

“Saya juga kecewa dengan tidak adanya upaya penyelamatan situs Kerajaan Sriwijaya di Pesisir Timur Sumatera Selatan. Padahal jika diselamatkan dapat dikembangkan sebagai objek wisata. Bahkan, potensinya jauh lebih besar,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, Senin.

“Mungkin BRG melihat penyelamatan situs pemukiman Kerajaan Sriwijaya itu bukan bagian dari target. Mereka hanya fokus rawa gambut agar tidak terbakar dan basah,” katanya. Namun, kata Yenrizal, program pemberdayaan masyarakat di desa atau dusun di Cengal juga tidak terlihat masif. “Padahal gambut di sana sering terbakar,” katanya.

 

Sebaran situs arkeologi di pantai timur Sumatera Selatan. Peta: Balai Arkeologi Palembang

 

Tapi, upaya penyelamatan ini bukan hanya fokus kerja BRG. Jika memang Badan Restorasi Gambut tidak dapat melaksanakannya, pemerintah pusat dan Sumatera Selatan harus melakukannya. “Pertama, menetapkan situs permukiman Kerajaan Sriwijaya sebagai cagar budaya. Kedua, menjalankan kegiatan berupa perlindungan dan pelestarian cagara budaya tersebut, baik secara teknis maupun kesadaran masyarakat, yang saat ini terus memburunya sebagai harta karun. Ketiga, menjadikannya sebagai pusat studi sejarah dan wisata,” jelas Yenrizal.

Conie Sema menambahkan, jika tidak sejak awal penyelamatan situs Kerajaan Sriwijaya dilakukan maka perkembangan pembangunan Sumatera Selatan yang berbasis pengelolaan bentang alam akan memusnahkan berbagai jejak peradaban tersebut. “Kita pun menjadi bangsa yang kualat terhadap leluhur,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version