Mongabay.co.id

Desa Terancam Hilang Akibat Perubahan Bentang Alam dan Narkoba. Benarkah?

 

 

Perubahan bentang alam dan maraknya peredaran narkoba membuat generasi milenial di pedesaan tidak lagi tertarik menetap di tanah kelahirannya. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan akan banyak desa di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan, hilang. Apa yang harus dilakukan?

“Kita harus terus membangun pemahaman jika desa merupakan penyokong kota dan lebih luas lagi penyokong peradaban bangsa. Tanda kemajuan peradaban bangsa dapat dilihat dari perkembangan desanya karena bagian terkecil bangsa dalam sebuah negara adalah masyarakat desa,” kata Fransisca Callista, salah satu pendiri INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], dalam keterangan tertulisnya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [03/1/2019].

INAgri merupakan organisasi masyarakat sipil yang melakukan berbagai program pendidikan dengan fokus masyarakat desa.

“Saat ini di negara-negara maju muncul kekhawatiran punahnya desa karena tidak lagi dihuni masyarakat. Salah satunya penyebabnya, generasi muda pintar pergi menuntut ilmu ke luar desa dan tidak kembali. Desa kehilangan generasi terbaiknya. Sekolah-sekolah di desa tutup seperti di Jepang.”

Guna mengkampanyekan hal ini, empat pendiri INAgri, yakni Syamsul Asinar Radjam, Syahroni, Destika Cahyana, dan Fransisca Callista, melakukan lawatan ekologi ke sejumlah desa dan fakultas perguruan tinggi di Sumatera Selatan, 25-30 Januari 2019. Desa ini berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Prabumulih, serta Fakultas Pertanian dan MIPA Unsri.

Baca: Yandri Tak Pernah Ragu, Mengajak Pemuda Desa Perigi Bertani

 

Pertanian, apakah masih menarik perhatian generasi muda untuk menggelutinya? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perubahan bentang alam dan narkoba

Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, mengatakan fenomena generasi muda atau masyarakat meninggalkan desa kelahirannya, bukan hanya terkait perubahan bentang alam, tapi juga maraknya peredaran narkoba.

“Perubahan bentang alami menyebabkan masyarakat tidak dapat mengelola lagi pertanian, perikanan atau kehilangan lahannya, sehingga mereka harus meninggalkan desa. Juga, saat ini banyak orang tua di desa menyekolahkan anaknya ke kota karena takut menjadi korban narkoba. Mereka berpesan untuk mencari ilmu dan pekerjaan di kota, bahkan jika berhasil dapat mengajak mereka pindah,” kata Hasan, Minggu [03/1/2019].

“Penegakan hukum terhadap narkoba harus ditingkatkan. Peredaran narkoba di pedesaan terasa lebih marak. Ini yang saya rasakan termasuk, kawan-kawan kepala desa lain di Sumatera Selatan,” katanya.

Terkait hal tersebut, kata Hasan, desanya membangun pesantren moderen yang menampung anak-anak dari keluarga yang mencemaskan perubahan sosial dan keamanan desanya. “Pesantren yang sumber dananya dari masyarakat ini selain pendidikan agama, umum, juga mendorong kecintaan mereka untuk membangun desa. Bukan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan baru,” katanya.

Baca: Munculnya Generasi Kriminal, Puncak Kalahnya Masyarakat dalam Kelola Sumberdaya Alam

 

Alam yang aman dan damai hanya ditemukan di desa, sebagaimana pemandangan persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, ini yang berbatasan langsung dengan hutan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Syamsul Asinar Radjam dari INAgri, juga menjelaskan banyak dusun ditinggal atau masyarakatnya pindah ke perkotaan di Sumatera Selatan karena hutannya habis. Lahan pertanian tidak dapat dimanfaatkan lagi, sungai dan danau mengering, atau adanya wabah penyakit, serta konflik lahan dengan perusahaan. “Perkotaan menawarkan berbagai profesi dan gaya hidup sehingga menambah peluang banyak menjadi desa tinggal yang baru,” jelasnya.

Syamsul mengatakan, perlu mendorong dan membangun nilai-nilai positif desa. Misalnya, desa itu tenang dan nyaman karena keasrian alam dan kedamaian masyarakatnya. Saat ini, sudah ada gerakan masyarakat untuk mewujudkan hal tersebut, seperti Komunitas Mulih [Menanam untuk Lingkungan Hijau] di Prabumulih.

“Komunitas ini merevitalisasi kondisi Sungai Kelekar yang sebelumnya mengalami kerusakan. Sungai yang asri tentunya mendatangkan kerinduan masyarakat untuk menetap di sekitarnya,” paparnya.

Baca juga: Narkoba Dinilai Turut Merusak Hutan dan Lahan Gambut. Benarkah?

 

Kita merindukan suasa damai yang hanya ditemukan di desa, kebahagian yang perlahan kita rasakan mulai hilang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Syamsul Hidayah, tokoh masyarakat Prabumulih, mengatakan revitalisasi desa dapat dikatakan sebagai upaya rehumanisasi. “Tapi diperlukan sebuah kejutan agar inisiatif yang kecil-kecil itu bisa menciptakan pengaruh signifikan sebagai sebuah gerakan,” katanya.

Kita rindu pada kerumunan orang desa, sehingga kelestarian kerumunan masyarakat perlu dijaga di tengah hantaman individualistik, sebagaimana hadirnya android ke masyarakat desa. “Pendidikan menata masyarakat menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang tetap menjadi karakter desa yang luhur,” tambah Azimi Asnawi, tokoh masyarakat Prabumulih.

Yayuk Suhartati dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Prabumulih, berpendapat Prabumulih berpotensi merevitalisasi desa-desanya. Prabumulih memiliki 12 desa dan 25 kelurahan. “Salah satu potensi revitalisasi desa adalah pertanian,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version