Mongabay.co.id

Buka atau Tutup? Nasib Pulau Komodo Putus Juli 2019

Komodo menjadi salah satu dari 14 speses terancam punah prioritas peningkatan populasinya. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan membentuk tim terpadu guna mengkaji pertimbangan penutupan sementara Pulau Komodo di Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Hasil evaluasi ini akan diumumkan pada Juli 2019. Apabila jadi, penutupan mulai berlaku terhitung sejak Januari 2020.

Rabu (6/2/19), Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK bersama Pemerintah Nusa Tenggara Timur, diwakili Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan NTT serta sejumlah pemangku kepentingan membahas kelanjutan wacana penutupan TN Komodo.

”Tim terpadu akan bekerja dan melaporkan hasil kepada Menteri LHK Juli 2019,” kata Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem usai rapat koordinasi di Jakarta.

Baca juga: Gubernur NTT Wacanakan Penutupan TN Komodo, Ada Apa?

Keduanya, baik Ditjen KSDAE, Pemprov NTT dan Pemerintah Manggarai Barat sepakat TN Komodo merupakan situs warisan dunia yang harus benar-benar dikelola dengan prinsip kehati-hatian.

Tim terpadu, akan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan terkait Taman Nasional Komodo, antara lain unsur pemerintah provinsi dan kabupaten, Biro Hukum Bappeda, KLHK, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian Pariwisata, dan organisasi masyarakat sipil (Komodo Survival Program). Tim ini akan memiliki kekuatan hukum, melalui Surat Keputusan Menteri LHK.

Tim akan mengkaji kemungkinan penutupan sementara Pulau Komodo, dan prediksi masa depan pengelolaan TN Komodo sebagai kawasan ekslusif. Mengingat, komodo merupakan satwa penting bagi dunia internasional.

”Penutupan atau pembukaan kembali suatu kawasan konservasi diputuskan atas pertimbangan ilmiah dan kondisi tertentu,” katanya.

 

Rusa yang banyak berkeliaran di sekitar pintu masuk Pulau Komodo di lokasi Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Untuk Taman Nasional Komodo, tim terpadu akan memberikan rekomendasi kepada KLHK dan Ditjen KSDAE pada Agustus 2019.

Selama kurun waktu itu, paket-paket wisata yang telah terjual, tetap bisa lanjut, kecuali di Pulau Komodo, apabila berdasarkan rekomendasi tim terpadu untuk ditutup.

”Rencana penutupan Pulau Komodo untuk tujuan wisata dapat dilakukan setelah hasil tim terpadu, dan berlaku mulai Januari 2020,” katanya.

Baca juga : Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Ditetapkan Presiden, Apa yang Harus Dibenahi?

Bila nanti Pulau Komodo ditutup, kata Wiratno, pengunjung masih bisa menikmati tracking, snorkeling dan pengamatan komodo di Pulau Rinca, yang dihuni sekitar 1.410 komodo. Tak hanya di Rinca dan Komodo, satwa purbakala ini pun tersebar di Pulau Padar, Gili Motang dan Nusa Kode.

 

Tata kelola Pulau Komodo

Rapat itu menyimpulkan, perlu segera memperbaiki tata kelola, terutama pengamanan dan perlindungan komodo termasuk jaminan ketersediaan mangsa, terutama rusa. Juga pengawasan dan kontrol terhadap aktivitas pariwisata melihat komodo, snorkling dan diving serta kegiatan lain.

Dari sisi patroli, perlu peningkatan patrol bersama antara Balai TN Komodo dengan TNI AL, Polda NTT, Polres Manggarai Barat, beserta para tour operator, masyarakat mitra Polhut dari Desa Komodo, Desa Pasir Panjang dan Desa Papagarang. Tujuannya, pengamanan kawasan perairan dan daratan dari perburuan liar dan perusakan terumbu karang.

”Kita juga perlu mengatur pintu masuk jalur kapal dan penjualan tiket masuk menuju TN Komodo yang akan ditetapkan melalui sistem satu pintu, yaitu di Pelabuhan Labuhan Bajo,” kata Wiratno.

Dia bilang, tarif masuk TN Komodo masih terlalu kecil, hanya Rp150.000 per wisatawan, sedang survei kemauan membayar Rp3,5 juta.

”Total pemasukan pendapatan nasional bukan pajak dari TN Komodo Rp30-40 miliar per tahun.”

Untuk operasional sendiri, juga cukup besar, sampai Rp30 miliar, di mana 40% untuk pengawasan.

Kajian tarif masuk TN Komodo, katanya, segera berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Pariwisata dan para pelaku wisata.

 

Komodo, satwa yang menjadi daya tarik utama wisatawan berkunjung ke Pulau Komodo, Labuan Bajo, Manggarai, Barat, Flores, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Wiratno mengatakan, dapat juga dibuka peluang kerjasama penguatan fungsi dan perizinan jasa sarana wisata alam, baik pemerintah kabupaten maupun provinsi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam. Juga berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4 tahun 2012 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya.

Dia bilang, hal mendesak lain, adalah pengaturan menyeluruh sistem pengelolaan pusat informasi, pengelolaan ekosistem savanna, pengelolaan dan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat untuk konservasi dan ekonomi.

 

Penurunan populasi?

Alexander Sena, Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan NTT mengatakan, wacana penutupan wisata TN Komodo karena pertimbangan ada penurunan populasi komodo. Pada 2014, komodo ada 3.000, kini jadi 2.800 ekor.

”Ada data yang menunjukkan kecenderungan penurunan hingga pemerintah daerah pun ingin menjaga populasi. Biarlah komodo berkembang dalam habitat aslinya dan tetap liar,” katanya.

Tak hanya penutupan sementara, Alex menginginkan ada pembatasan wisatawan yang bisa melihat Komodo.

”Nanti yang bisa lihat hanya yang beruntung, ini untuk mengatur agar pariwisata tetap berkelanjutan,” katanya.

Wacana ini diakui Alexander Sena sebagai bentuk kepedulian pemerintah daerah terhadap komodo yang jadi warisan dunia. Untuk itu, katanya, penting ada peningkatkan konservasi kepada satwa langka ini guna mempertahankan habitat asli, agar Pulau Komodo tetap terjaga. “Berkembang apa adanya, memperhatikan rantai makanan. Kita tingkatkan populasi, agar pasokan makanan terjamin.”

Wiratno membenarkan, ancaman komodo antara lain, perburuan rusa yang jadi pakan satwa ikonik ini. KLHK telah mengembangbiakkan rusa di beberapa wilayah untuk mengurangi perburuan di taman nasional, antara lain, di Sape, Bima dan Nusa Tenggara Barat.

Sebelumnya, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, rencana penutupan TN Komodo, tak bisa putus sepihak, perlu pertimbangan dan penjelasan dari beberapa pihak, seperti Pemerintah NTT, Pemerintah Manggarai Barat, Kementerian Pariwisata, KLHK, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

 

Panorama Pulau Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggara Barat, Flores, NTT. Terlihat kapal bersandar di dermaga khusus untuk kapal penujmpang dan kapal pesiar. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

 

Tingkatkan pengawasan

Deni Purwandana, Koordinator Yayasan Komodo Survival Program mengatakan, pengembangan pariwisata di Taman Nasional Komodo, belum signifikan berimbas pada habitat dan populasi komodo.

Zona pemanfaatan pariwisata selama ini, terpusat di Loh Buaya (Pulau Rinca) dan Loh Liang (Pulau Komodo).

”Pengaruh dari wisatawan untuk daratan kurang 5% dari Taman Nasional Komodo. Saya pikir itu sangat kecil sekali,” katanya kepada Mongabay.

Pada 2014, Deni, dkk. pernah mempublikasikan studi terkait status demografi komodo, yakni Demographic status of Komodo dragons populations in Komodo National Park.

Penelitian ini menyebutkan, populasi komodo untuk pulau besar, yakni Pulau Komodo dan Rinca, cenderung stabil.

”Yang memiliki kecenderungan menurun itu di Pulau Gili Motang dan Nusa Kode,” katanya.

Dia bilang, dugaan sementara penurunan populasi karena daya dukung lingkungan mengalami perubahan seperti pakan berkurang atau perubahan savanna jadi semak atau hutan. Untuk pakan, katanya, masih ada mangsa lain bagi komodo, seperti tikus, ular dan kera ekor panjang.

”Lebih penting lagi, jika perburuan itu menyebabkan penurunan populasi, harusnya solusi proteksi bukan penutupan.”

Menurut dia, kalau penurunan populasi rusa jadi salah satu persoalan, solusinya bukan menutup kawasan, tetapi meningkatkan pengamanan kawasan agar lebih baik lagi, misal, penguatan patroli keamanan di taman nasional.

Deni menekankan, kebijakan penutupan Pulau Komodo ini harus berdasarkan kajian multi-disipliner. Kalau kebijakan salah malahan bisa berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat yang sebagian besar masih bergantung pada sektor pariwisata.

Menurut dia, hal krusial adalah monitoring populasi, dengan megetahui fluktuasi atau dinamika populasi spesies itu sendiri. Dengan mengetahuan itu, akan terlihat faktor penyebab hingga ada strategi terintegrasi dalam menemukan solusi. Hingga kini, monitoring populasi sudah baik, secara keberlanjutan dan rutin.

Kalau pemerintah daerah memiliki data lain soal dampak pengaruh kunjungan wisatawan terhadap habitat komodo, katanya, perlu komunikasi dengan pemerintah pusat. ”Perlu ada hubungan harmonis diantara keduanya.”

 

Keterangan foto utama:  Pemerintah pusat dan daerah tengah mengkaji, tata kelola Pulau Komodo, apakah perlu ditutup sementara, atau dibuka dengan aturan tertentu. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version