Mongabay.co.id

Kakao Berkelanjutan Makarti Jaya: Jenis Burung Bertambah, Produktivitas Meningkat

 

 

 

 

Abdullah Kadir Diko maju ke depan. Ia dipersilakan mempresentasikan hasil penelitiannya di depan kelas paralel para peneliti dan pemerhati burung di Indonesia. Tempatnya, di salah satu ruangan di Convention Hall, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, akhir Januari 2019, pada acara   Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia [KPPBI] V.

Dia adalah Community Participation Officer Burung Indonesia untuk Program Gorontalo. Sebagian waktunya dihabiskan mendampingi petani kakao di Kabupaten Pohuwato. Penelitiannya fokus ke Desa Makarti Jaya, Kecamatan Taluditi.

“Budidaya kakao berkelanjutan menyediakan habitat lebih baik bagi keragaman burung,” ujar Diko, panggilan akrabnya.

Desa Makarti Jaya berbatasan langsung dengan hutan Popayato-Paguat yang merupakan daerah penting bagi burung dan keragaman hayati. Hasil pertanian utama masyarakat adalah kakao untuk lahan kering dan padi pada lahan basah.

Sebelum 2015, produktivitas kakao di sini kurang satu ton per hektar per tahun. Idealnya, dua ton. Akhir 2015, Burung Indonesia melakukan pendampingan petani untuk menerapkan “budidaya kakao berkelanjutan” atau sustainable cacao program.

Baca: Empat Dekade Penelitian, 457 Burung Dinyatakan Sebagai Spesies Baru

 

Budidaya kakao berkelanjutan menyediakan habitat ideal bagi keragaman burung. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Menurut Diko, kegiatan tersebut memberikan pemahaman dan keterampilan petani tentang budidaya kakao ramah lingkungan. “Budidaya ini mengacu standar Sustainable Agriculture Network (SAN). Desa Makarti Jaya merupakan penghasil buah coklat terbaik di Provinsi Gorontalo,” ungkapnya.

Standar yang dimaksud adalah pengelolaan tanaman terpadu dengan sistem agroforestry serta konservasi ekosistem dan perlindungan flora fauna. Petani membuat kombinasi kakao dan pohon penaung berupa lamtoro dan gamal [perbandingan 8:1], serta tanaman buah. Teknik ini dapat meningkatkan produksi hingga 1,5 ton per hektar per tahun.

“Kesepakatan yang dibangun adalah masyarakat diberi akses mengelola dengan tanaman campur atau agroforestry, namun tidak boleh menambah luasan lahan. Juga, bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan dan keragaman satwa sekitar.”

Komitmen itu disusun dalam dokumen Kesepakatan Pelestarian Alam Desa atau KPAD yang ditandatangani berbagai pihak 16 Oktober 2016.

Baca: Kisah Masyarakat Mekarti Jaya: Tegas Tolak Sawit, Mantap Kembangkan Kakao

 

Kakao yang menjadi andalan masyarakat Desa Makarti Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Keragaman burung

Diko dibantu rekannya Pantiati, Biodiversity Officer Burung Indonesia, melakukan pendataan dengan metode titik hitung pada tiga tipe habitat, yaitu kakao tepi hutan, kakao dengan pohon naungan, dan tanpa naungan.

“Pendataan jenis burung sebagai indikator keberhasilan budidaya kakao berkelanjutan,” ungkap Pantiati.

Hasilnya, total 75 jenis burung ditemukan di perkebunan kakao Desa Makarti Jaya. 41 jenis pada kakao dengan naungan, sedangkan tanpa naungan sekitar 23 jenis burung.

Lain halnya dengan perkebunan kakao yang berbatasan dengan hutan. 51 jenis burung ditemukan di lokasi ini karena beberapa jenis burung penghuni hutan sesekali mencari makan di kebun kakao. “Pohon naungan menjadi tempat mencari makan jenis burung pemakan serangga, juga tempat bersarang,” katanya.

 

Kakao yang dijemur di bawah terik mentari. Foto: Abdullah Kadir Diko/Burung Indonesia

 

Pantiati menyebut, dua jenis burung yang paling sering muncul adalah cabai panggul kelabu (Dicaeum celebicum) dan burung madu sriganti (Cinnyris jugularis). Selain itu, cekakak sungai (Todiramphus chloris) tersebar di perkebunan kakao Desa Makarti Jaya. Hal ini terkait dengan sungai dan lahan basah di sela-sela perkebunan. Selebihnya, terpantau juga caladi sulawesi (Picoides temminckii) yang bertengger di pohon jati putih (Gmelina arborea) di tepi hutan.

“Caladi sulawesi memiliki karakter pemakan serangga dengan melubangi pohon. Bersarang dengan membuat lubang pada pohon atau cabang mati,” jelasnya.

Baca juga: Kisah Sartam, Hibahkan Satu Hektar Kebun untuk Kehidupan Satwa Liar

 

Biji kakao hasil fermentasi di Desa Makarti Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato. Desa ini adalah penghasil kakao terbaik di Gorontalo. Foto: Abdullah Kadir Diko/Burung Indonesia

 

Burung sebagai predator alami

Bagi petani, salah satu kendala budidaya kakao adalah hama PBK atau Penggerek Buah Kakao, yang berasal dari serangga. Berbagai jenis hama tersebut adalah ulat penggerek batang (Zeuzera coffeae), ulat penggerek cabang atau batang (Glenea spp), kepik penghisap buah (Helopeltis sp), dan ulat jengkal (Hyposidra talaca).

Penerapkan sistem agroforestry, kakao dengan pohon naungan mampu menghadirkan burung yang berperan sebagai predator alami hama. “Burung adalah pengendali alami bagi hama tanaman kakao,” ungkap Diko.

 

Burung madu sriganti. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Sebelumnya petani mengandalkan pestisida sehingga menimbulkan resistensi hama yang menyebabkan produksi kakao menurun. Pemberian pestisida rutin hanya mampu menyelamatkan buah kakao sebanyak 50 persen. Namun, efek buruk yang ditimbulkan adalah ganguan kesehatan petani, serta biji kakao terkontaminasi bahan kimia.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Burung Indonesia melakukan pendampingan dan memperkenalkan pengendalian hama dengan metode “sarangisasi”. Setiap buah kakao di batang dibungkus plastik untuk mencegah serangan hama. Metode ini cukup efektif dengan keberhasilan mencapai 90 persen.

Akhir 2017, sebanyak 80 persen petani kakao Makarti Jaya telah menerapkan metode tersebut. “Budidaya kakao berkelanjutan meningkatkan produktivitas. Kakao dengan naungan memiliki keragaman burung lebih baik dan burung berperan sebagai predator alami hama,” ujarnya.

 

Burung raja udang yang paling senang mendatangi sungai untuk mencari ikan-ikan kecil sebagai pakannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Integrasi dengan peternakan

Diko menjelaskan, masyarakat desa sekitar hutan membudidayakan kakao sebagai sumber pendapatan. Awal 2016, petani kakao di Makarti Jaya telah memulai juga budidaya kakao dengan peternakan. Sebanyak lima kebun contoh atau demplot (demonstration plot) milik petani telah dibangun sebagai pusat belajar.

Tanaman lamtoro dan gamal yang merupakan pelindung dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah kulit buah kakao juga dapt diolah sebagai pakan tambahan ternak. Limbah kotoran ternak dimanfaatkan sebagai penghasil biogas, sumber energi rumah tangga petani. Kotoran ternak yang sudah digunakan untuk biogas, dimanfaatkan kembali sebagai pupuk organik kakao.

“Budidaya kakao terintegrasi ternak memberikan dampak positif bagi tanaman dan lingkungan sekitar. Pastinya, memberi tambahan pendapatan petani kakao Makarti Jaya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version