Mongabay.co.id

Kawasan Cekungan Bandung Terpuruk, Akibat Rencana Pembangunan Buruk?

 

 

 

 

Daya dukung lingkungan di Cekungan Bandung memburuk. Kawasan konservasi di Kawasan Bandung Utara [KBU] seluas 38.500 hektar ini mengalami degradasi hebat akibat alih fungsi dan tata guna lahan tak beraturan.

Tata wilayah KBU yang awalnya didesain untuk permukiman tumbuh tak terkendali, disesaki pembangunan properti dan pertumbuhan kota yang menyebabkan daerah resapan air berkurang.

Mengutip Harianto Kunto dalam buku Wajah Bandung Tempo Doeloe, dituliskan bila Bandung yang dikelilingi gunung suatu saat bakal heurin ku tangtung. Bandung akan sulit berdiri karena kepadatan penduduknya. Ramalan itu sedang terjadi. Hutan tersisa di Cekungan Bandung hanya ada di Tahura Djuanda yang dibangun Belanda 107 tahun silam. Tahura seluas 500 hektar ini menjadi satu-satunya paru-paru kota saat ini.

Baca: Pembangunan Kota yang Tak Selalu Indah di Mata

 

Kondisi permukiman yang tidak tertata tampak jelas di wilayah Bandung menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebagaimana diberitakan Mongabay sebelumnya, Dosen Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Kota Institut Teknologi Bandung [ITB], Denny Zulkaidi, berpendapat, lambatnya penguasa kota merespon pertumbuhan kota, kian menegaskan ketidakseriusan dalam mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] sebagai acuan pembangunan.

Dia mencontohkan, Kota Bandung yang semula didesain oleh Thomas Karsten untuk sekitar 750.000 penduduk, kini harus menampung warga sebanyak 2,4 juta jiwa. Kepadatan rata-rata, 150 jiwa per hektar.

Pada zaman penjajahan, Bandung memang secara resmi didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dibawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1810. Daendels semasa menjabat, memerintahkan perencanaan Kota Bandung mengikuti pola kota-kota Eropa. Diawali pemindahan Bandung ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung.

Baca: Kawasan Cekungan Bandung Makin Sering Banjir.  Ada Apa?

 

Banjir di Dusun Pasir Jati, Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Minggu [10/2/2019], menyebabkan tiga warga meninggal dunia. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Terkait permukiman, Daendels membagi dua wilayah. Kawasan utara untuk permukiman bangsawan dan selatan bagi pribumi dengan titik tengah pendopo dan alun-alun. Demi mendukung iklim Bandung yang sejuk kala itu, Pemerintah Kolonial turut merancang juga taman.

Mengutip tulisan pegiat literatur Zaky Yamani, sejak zaman kolonial, pembagian utara-selatan Bandung, bukan semata orang Eropa dan pribumi. Tapi juga bentuk pembagian kelas sosial dan citra.

Melompat ke era kemerdekaan sampai hari ini, pembagian utara-selatan masih terjadi dan dipertahankan. Kawasan utara masih identik permukiman elite, pembangunan dan tata kotanya mengikuti pola kolonial. Terus dipercantik dengan beragam fasilitas. Sementara kawasan selatan semakin sumpek karena jadi wilayah industri dan belakangan sebagai permukiman untuk warga kelas menengah.

Baca: Perlahan, Air Bersih Menjauhi Masyarakat Bandung

 

Alih fungsi lahan dan tata guna lahan tak beraturan merupakan aktivitas yang mengundang datangnya bencana banjir dan tanah longsor. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Melupakan sejarah

Anggota kelompok riset Cekungan Bandung, T Bachtiar mengatakan, Bandung sedang mengalami ketimpangan perencanaan kota. Menurutnya, kecenderungan tata kota ini kian tidak jelas arah karena lemahnya perencanaan.

Selain pembangunan tak terkendali di kawasan utara, kini pembangunan kota terus merangsek ke wilayah timur yang menjadi titik terendah di Cekungan Bandung. Masalahnya, minimnya perencanana berimbas pada alih fungsi lahan di kawasan penangkap air.

Padahal, kata dia, berdasarkan toponomi di Cekungan Bandung berkaitan dengan kearifan lokal yang merujuk pada topografi atau geomorfologi. Semisal, nama yang diawali kata ”ranca” menjadi penanda bahwa dulunya daerah yang dimaksud merupakan tanah basah atau rawa.

“Sebetulnya, Belanda sudah memetakan tata ruang Bandung berdasarkan kajian geologinya. Termasuk menentukan wilayah-wilayah yang tidak dibangun seperti resapan air. Tetapi tampaknya itu sudah dilabrak,” tuturnya.

 

Kota Bandung yang semula didesain oleh Thomas Karsten untuk sekitar 750.000 penduduk, kini harus menampung warga sebanyak 2,4 juta jiwa. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Persoalan       

Bencana hidrometeorologi, utamanya banjir mengepung wilayah sekitar Cekungan Bandung. Air hujan yang tak tertampung di Dusun Pasir Jati, Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Minggu [10/2/2019], menyebabkan tiga warga meninggal dunia.

“Selama tujuh tahun tinggal di sini, banjir disertai lumpur baru pertama kali terjadi. Air limpasan begitu deras hingga menjebol tanggul sungai yang sempit. Saya rasa salah satu penyebabnya adalah banyaknya perumahan baru yang dibangun,” ujar Eva Ningsih [44] yang sebagian rumahnya hancur diterjang banjir bandang. Perumahan tersebut berjarak sekitar satu kilometer dari KBU.

Sekitar 10 kilometer dari Kecamatan Cilengkrang, kejadian serupa pernah terjadi di Cicaheum awal 2018. Puluhan rumah terendam banjir dan lumpur. Banyak masyarakat ingin pindah. Penyebabnya, diduga sama. Kawasan resapan dan ruang terbuka hijau di Bandung utara berkurang. Tanggul sungai jebol karena tak mampu menahan debit air yang besar serta tingginya erosi dan sedimentasi.

Di hubungi terpisah, Kepala Balai Pengelola Tahura Djuanda Lianda Lubis menuturkan, ada rencana perluasan tahura. Sesungguhnya, wacana itu pernah digulirkan sejak 2008, akan tetapi hingga saat ini belum terealisasi.

“Hutan tersisa di KBU hanya di tahura, sangat kecil. Diusulkan penambahan 3.000 hektar. Jika berhasil, langkah selanjutnya reboisasi. Tetapi perlu 10 – 15 tahun untuk menghutankan kembali kawasan yang sudah kritis,” paparnya.

Keberadaan tahura yang bisa mencegah erosi dan banjir, sebagai daerah resapan air dan sumber hayati, bukan tanpa gangguan. Kawasan perbukitan di sekitar wilayah tersebut telah ada setumpuk izin pembangunan perumahan, hotel, restoran, dan lain-lain.

 

Catatan Walhi Jabar memperkirakan 70 persen kawasan Bandung utara sudah berubah menjadi hutan beton. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Jabar, kawasan 750 meter di atas permukaan laut itu dikuasai 350 izin pembangunan properti dan areal komersil yang dikeluarkan pemerintah kota/kabupaten. Ada yang sudah dibangun, tetapi izin belum ada.

Dilihat dari sisi peraturan tertulis, KBU sudah ditetapkan sebagai lahan konservasi melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1998, dan Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 191.1/1982. Masih ada lagi, Peraturan Daerah Provinsi Jabar Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Kewenangan pengawasan KBU ada di Pemprov Jabar. Proses rekomendasi KBU merupakan prasyarat mendapatkan IMB dari kabupaten/kota Syarat utama adalah koefisien dasar bangunan 20-80, yaitu 20 persen untuk bangunan dan 80 persen untuk penghijauan. Bangunan itu termasuk gedung dan jalan. Makin ke wilayah atas KBU, porsi bangunan makin kecil.

Walaupun sederet peraturan untuk melindungi kawasan konservasi itu sudah dibuat, catatan Walhi Jabar memperkirakan 70 persen kawasan Bandung utara sudah berubah menjadi hutan beton. Data Dinas Lingkungan Hidup Jabar mencatat, ada 42 objek bangunan tak berizin berdiri di atas tanah negara dan 32 objek bangunan lain di lahan pribadi.

 

Hutan tersisa di Kawasan Bandung Utara hanya di Tahura Djuanda. Secara luasan sangat kecil, maka diusulkan penambahan 3.000 hektar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Sistem Informasi Pemanfaatan Tata Ruang [Sifataru], Cekungan Bandung merupakan wilayah topografi berbentuk cekungan dengan luas kurang lebih 343.087 hektar. Bagian terendahnya merupakan dataran seluas 75.000 hektar dengan ketinggian 650 m hingga 700 m di atas muka laut. Cekungan Bandung dikelilingi banyak gunung dengan yang tingginya mencapai 2.000 m di atas muka laut.

Wilayah perencanaan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung secara administratif meliputi 5 [lima] wilayah administrasi, yaitu: Kabupaten Bandung [176.812 ha], Kabupaten Bandung Barat [130.577,40 ha], sebagian Kabupaten Sumedang [Kecamatan Cimanggung, Tanjungsari, Sukasari, Jatinangor, Rancakalong, dan Pamulihan] seluas 15.486 ha, Kota Cimahi [4.023 ha], dan Kota Bandung [16.729,65 ha] sebagai kota inti.

 

 

Exit mobile version