Mongabay.co.id

Transisi ke Energi Terbarukan dan Tata Kelola, Berikut Masukan buat Para Capres

Wayan Sudiadna, penjaga PLTS Kubu, Karangasem, Bali, yang kondisinya memprihatinkan dengan banyaknya panel surya yang rusak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Penghentian penggunaan energi fosil dan peralihan ke energi bersih belum jadi perbincangan serius dalam kontetasi pemillihan Presiden 2019. Kalangan organisasi masyarakat sipil memberikan berbagai masukan kepada para capres-cawapres.

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengutip data Internatioanl Energy Agency dalam World Energy Outlokk 2018, mengatakan, pertumbuhan energi tahunan di Asia Tenggara, lebih cepat dari Tiongkok dan rata-rata global.

Periode pertumbuhan tinggi ini, katanya, terjadi 2030 dan 2040. Di Asia Tenggara pada 2040, diprediksi batubara terus memimpin sektor kelistrikan padahal penggunaan batubara akan menurun secara global.

“Pertumbuhan energi terbarukan di Asia Tenggara, diperkirakan tetap di bawah capaian global,” katanya, dalam diskusi Rabu (13/2/19) di Jakarta.

Filipina dan Thailand, katanya, memimpin penggunaan energi terbarukan. Penggunaan energi tenaga surya di Thailand 2.697 megawatt menyusul Filipina 885 megawatt. Untuk energi angin, Thailand sudah 628 megawatt dan Filipina 427 megawatt.

“Akankan kita terus tertinggal? Transisi energi tentang kemauan politik,” kata Hindun sembari menjelaskan, Indonesia baru mencapai 17 megawatt untuk energi surya dan sekitar satu megawatt untuk listrik tenaga angin.

Subsidi listrik melalui PLN, katanya, terbilang besar, lebih seperempat keseluruhan subsidi APBN. Selain itu, katanya, perlu dicatat sekitar 60% pembangkit PLN dari PLTU batubara.

Kalau mengkritisi aspek kelayakan bisnis PLN, katanya, saat ini penuh risiko karena masih dominan pakai batubara. Sisi pendapatan, sistem take or pay mengharuskan PLN membeli listrik di tengah permintaan tak pasti. PLN juga harus membeli listrik dengan tarif tertentu selama power purchase agreement (PPA), 20-25 tahun. PLTU milik PLN akan jadi prioritas karena listrik tak terbeli kala kelebihan produksi.

“Padahal, ada kesempatan mendapatkan harga lebih murah di masa depan dari teknologi pembangkitan energi terbarukan,” katanya.

Kalau melihat biaya, fluktuasi harga batubara akan terus mempengaruhi profitabilitas PLTU, di mana harga output listrik tetap, tetapi harga input batubara berubah-ubah. PLN, kesulitan mendapatkan input mencukupi dengan kualitas memadai terutama ketika harga batubara naik karena persaingan dengan pasar ekspor. Kesulitan mendapatkan batubara sesuai spesifikasi, katanya, menyebabkan depresiasi barang modal bikin tak efisien dan meningkatkan risiko lingkungan.

Dari sisi kepastian bisnis juga ada risiko perubahan rencana penyediaan listrik pemerintah yang berdampak pada kerugian pelaku usaha. Ia dampak perubahan rencana seperti penundaan atau pembatalan komitmen pembanguan pembangkit listrik.

Pembangkit batubara dengan risiko ketidakpastian harga bahan bakar, biaya sosial, lingkungan, dan kesehatan tinggi, katanya, juga harus menghadapi tantangan kelangkaan. Dibanding energi terbarukan dengan potensi pengurangan biaya investasi karena teknologi makin murah dan potensi pengurangan biaya modal karena ada dana murah.

Indonesia, katanya, jauh tertinggal dalam pengembangan energi terbarukan karena investasi dinilai kurang menarik. Berdasarkan Renewable Energy Country Attractiveness Index 2018, Indonesia, berada pada peringkat ke 38 dikalahkan Tiongkok, India, Filipina, dan Thailand.

 

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Perencanaan dan regulasi

Hindun menggarisbawahi, beberapa isu perencanaan dan regulasi terkait energi terbarukan yang mesti dibicarakan dalam kontestasi pilpres 2019.

Pertama, sinkronisasi dan reorientasi target bauran energi kelistrikan di Indonesia. Ini terkait rencana bauran energi kelistrikan Indonesia pada rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) dan target dinamis bauran listrik rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL).

Kedua, kepastian peraturan terkait energi terbarukan. Di Indonesia, peraturan terkait energi terbarukan berubah dua kali pada 2017 dengan Permen No 12/2017 dan Permen 50/2017.

Regulasi built own operate transfer (BOOT) untuk pembangkit listrik air dan panas bumi menimbulkan risiko baru bagi kelayakan proyek. Perubahan peraturan, katanya, akan membuat pelaku industri energi terbarukan kesulitan membuat proyeksi jangka panjang. Terutama terkait masalah harga kepemilikan dan skema penanggungan risiko keadaan luar biasa (force majeure).

Ketiga, kesehatan PLN. Kerugian PLN yang besar dan arus kas negatif terus menerus membuat perusahaan negara ini mengalami masalah memenuhi kewajiban operasional.

Tarif energi terbarukan dinilai tinggi. Guna mendorong tarif pembangkit listrik berbasis terbarukan kompetitif, katanya, pemerintah perlu membuat harga negeri hijau jadi lebih menarik bagi investasi.

“Setidaknya hingga harga keekonomian energi terbarukan turun di bawah harga keekoniman bahan bakar fosil.”

Isu keekonomian lain yang penting yakni jaminan kepastian harga dalam power purchase agreement (PPA) untuk pembangkit terbarukan. Kalau perubahan tarif cukup signifikan, katanya, dapat mempengaruhi keputusan investasi karena investor perlu waktu cukup panjang dari masa persiapan usaha sampai dapat PPA.

Mengingat wilayah yang perlu listrik banyak di daerah kepadatan penduduk tinggi, sedangkan potensi terbarukan di wilayah jarang penduduk, perlu investasi untuk jaringan interkoneksi.

“PLTP juga umumnya di daerah perbukitan dan pegunungan yang jauh dari pusat permintaan,” kata Hindun.

Isu lain tak kalah penting, soal pendanaan. Lembaga pembiayaan, , kurang paham soal risiko bisnis terbarukan mencakup tenor pembiayaan relatif pendek, padahal payback cukup lama.

Skema bank di Indonesia berupa corporate financing kurang cocok dengan model bisnis IPP karena biaya modal lembaga pembiayaan di Indonesia, mahal.

Untuk mendorong pendanaan terbarukan dengan instrumen inovatif dan murah, ada beberapa sumber potensial dan cocok. Contoh, Green Climate Fund (GCF), yang memberikan dana murah dan tenor panjang. Instrumen lain, ada green bonds dan green sukuk (obligasi dan sukuk hijau) yang bukan hanya oleh pemerintah juga swasta yakni PT SMI dan CIMB Niaga. Contoh lain, dana tanggung jawab sosial, dan viability gap fund. Pemerintah juga bisa mendukung dengan subsidi bunga, government guarantee dan insentif fiskal.

 

Escavator bersihkan tumpahan batubara di pantai Lampuuk, Aceh. Foto: Riza Azhari/Juara 4 Pers DETaK 2018

 

 

Agenda utama

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, soal transisi energi, capres perlu memperhatikan situasi eksternal dan internal. Sisi eksternal, katanya, bisa melihat pasar energi global yang penuh dinamika, ancaman resesi ekonomi global, ketidakpastian pasokan jangka panjang, dan harga komoditas mudah menguap (volatile).

Sementara batubara jadi ‘musuh bersama’ karena ada Paris Agreement dan upaya mitigasi perubahan iklim.

Sumber-sumber pembiayaan internasional, katanya, makin berkurang dan transisi energi menjadi kebijakan utama di sejumlah negara termasuk penghentian penggunaan batubara.

Di dalam negeri, harga energi masih jadi komoditas politik. Produksi migas terus menurun, permintaan bahan bakar minyak terus naik.

Kalau melihat tambahan pasokan energi terbarukan sejak 2015-2018, sebesar 800 megawatt. Dia perkirakan sampai akhir 2019, pada tahun politik investor masih melihat dan menunggu gambaran pemerintahan selanjutnya, IESR memperkirakan, akan bertambah sekitar 1.300-1.400 megawatt.

Sisi lain, produksi batubara dioptimalkan sekitar 500 juta per tahun. Angka ini selalu di atas target rencana umum energi nasional (RUEN) 400 juta ton pertahun.

Hal lain jadi sorotan adalah ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke Eropa juga berpotensi menurun dengan RED II pasca 2022/2023.

Fabby sepakat, peraturan perundang-undangan bidang energi tak mendukung perbaikan iklim investasi. Banyak agenda mandek seperti RUU Migas, RUU Minerba, dan terbaru RUU Energi Terbarukan.

IESR mengusulkan lima agenda utama sektor energi 2019-2024 yakni, reformasi tata kelola energi nasional termasuk migas, minerba, kelistrikan dan energi terbarukan, ketahanan dan keamanan pasokan energi jangka panjang. Caranya, dengan transisi sistem energi, pengendalian dan mitigasi emisi gas rumah kaca serta dampak lingkungan dari infrastruktur energi.

Juga penyediaan energi berkelanjutan dan berkesinambungan harga terjangkau serta terdistribusi merata. “Peningkatan investasi energi migas, listrik dan pengembangan energi terbarukan,” kata Fabby.

 

Sawit, disebut-sebut sumber energi terbarukan, apakah bisa dibilang energi berkelanjutan kala proses mendapatkan penuh masalah? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Tata kelola

Terkait tata kelola sumber daya alam, Publish What You Pay (PWYP), bersama koalisi masyarakat sipil terdiri dari 35 lembaga, menantang kedua capres dan wapres dalam debat kandidat kedua minggu ini mengelaborasi dan menerjemahkan visi misi terkait tema energi, pangan dan lingkungan ini dengan lugas, tegas, jelas dan tak normatif.

“Serta menjawab persoalan dan tantangan dalam konteks energi dan pengelolaan sumber daya alam,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia. Lima tawaran agenda tata kelola sumber daya alam harapan PWYP dapat terelaborasi kedua kandidat, pertama, bagaimana arah reformasi regulasi dan kebijakan sektor energi?

“Apa pandangan kedua kandidat terhadap penyelesaian agenda revisi UU Migas dan UU Minerba yang mangkrak di parlemen? Sejauh mana kedua kandidat menerjemahkan makna keselarasan dan harmoni antar kebijakan dan regulasi sektor energi dengan sektoral?” katanya.

Maryati mencontohkan, antara UU Energi dengan UU Migas-Pertambangan dan Ketenagalistrikan dan turunan teknis seperti RUEN, RUPTL, RKAB dan lain-lain.

Kedua, soal ketersediaan energi, cadangan menipis dan pengendalian konsumsi. Bagaimana, katanya, kedua kandidat dapat menjawab persoalan ini dari aspek ketersediaan di berbagai wilayah dengan biaya terjangkau, mudah diakses dan diserap pasar pengguna serta berkelanjutan.

Ketiga, bagaimana arah dan strategi pengembangan infrastruktur energi nasional? Keempat, sejauh mana upaya kedua kandidat mengendalikan risiko ketergantungan impor dan subsidi energi.

APBN 2019 mengalokasikan, subsidi energi hingga Rp156,5 triliun. Jangka panjang alokasi subsidi sebagai pilihan populis di tengah ketergantungan impor dan defisit cadangan harus dikendalikan.

Kelima, sejauh mana komitmen kedua kandidat terhadap mitigasi perubahan iklim, diversifikasi energi, dan pengembangan energi terbarukan.

Selain menjawab persoalan itu, PWYP juga mendesak kedua kandidat memastikan perbaikan tata kelola sektor energi dan sumber daya alam berjalan transparan, akuntabel dan berkelanjutan.

“Kedua kandidat harus bisa mengelaborasi upaya pencegahan konflik kepentingan dalam pengusahaan sektor sumber daya alam agar korupsi politik yang melanggengkan oligarki dan monopoli sumber alam dapat dicegah,” katanya.

Aryanto Nugroho, Manager Advokasi dan Pengembangan Program PWYP, mengatakan, pengelolaan sumber daya alam bukan berarti kelebihan eksploitasi justru makin merusak lingkungan dan menghancurkan masa depan.

“Kedua kandidat harus tegas dan berpihak pada kepentingan masyarakat dalam mengatasi problem konflik sosial di sekitar pertambangan. Seperti perampasan lahan, kriminalisasi warga, dan mengakomodasi pertimbangan masyarakat penolak eksploitasi sumber alam seperti di Pegunungan Kendeng, Kalimantan, dan berbagai wilayah konservasi dan kawasan lindung lain,” katanya.

 

Bendungan penyuplai air menuju pipa untuk dialirkan ke turbin PLTMH Mbakuhau. Energi listrik yang dihasilkan pembangkit ini mencapai 30 KW dan dimanfaatkan oleh 334 rumah. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

 

Komitmen energi berpotensi membahayakan?

Dalam diskusi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, bersama Greenpeace Indonesia, menyebutkan, kedua pasangan capres dan cawapres menjanjikan komitmen pada pengembangan energi terbarukan meskipun tak berdasarkan urgensi saat ini.

”Kedua kandidat punya keinginan untuk ke energi terbarukan, tapi masing-masing memiliki risiko,” kata Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Lingkungan LPEM FEB-UI, di Jakarta.

Meski, secara politis, katanya, lingkungan belum jadi masalah kerakyatan karena masyarakat Indonesia masih belum mengetahui tentang urgensi itu.

Arief Budiman, perwakilan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’aruf Amin menyebutkan, mereka memerlukan masa transisi untuk memanfaatkan energi terbarukan bagi pembangkit listrik. Apabila investasi teknologi energi terbarukan makin murah dan produk listrik kian terjangkau, katanya, Indonesia bisa beralih ke energi terbarukan.

Meski begitu, dia menyetujui energi terbarukan adalah sumber energi masa depan Indonesi. Namun, katanya, hal itu dapat berhasil kalau jalan bertahap.

”Saat ini, batubara memiliki biaya produksi terendah dan tak perlu impor. Ketika ekonomi rakyat lebih baik, pemanfaatan batubara bisa berkurang,” katanya.

Misi mereka soal sektor energi, meliputi mendorong penggunaan energi terbarukan, efisien energi bahan bakar fosil dengan meningkatkan produksi dan menciptakan lebih banyak nilai tambah serta mengembangkan fasilitas energi terbarukan lokal.

Salah satu, katanya, efisiensi penggunaa energi fosil, melalui kebijakan biodiesel. Arif bilang, Jokowi akan terus menyempurnakan kebijakan mencampur turunan minyak sawit, dan bahan bakar diesel untuk mengurangi impor minyak.

Kubu Prabowo juga bicara.”Prabowo memiliki mega proyek meningkatkan penggunaan bioenergi dari etanol. Itu dalam gerakan besar dan konkret,” kata Ramson Siagian, mewakili Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno.

Dia klaim kubu mereka, bakal konsisten mengembangkan biofuel dari minyak nabati. Bahkan muncul angka fantastis 80 juta hektar lahan untuk tumbuhan penghasil bahan bakar nabati, salah satu aren. Kemudian, mengubah penggunaan bahan bakar fosil jadi gas dan energi terbarukan lain untuk tenaga pembangkit listrik PLN.

Bahkan, mereka janji revisi beberapa kontrak pembangkit listrik dalam proyek 35 Gigawatt dari batubara ke energi terbarukan.

Kubu ini juga berencana mengembangkan industri hilir untuk batubara. ”Kami siapkan beberapa proyek batubara, yaitu biocoal, biochar, syngas, semua akan skala besar. Kami manfaatkan hutan yang memiliki lahan kritis,” katanya.

Arif menanggapi. Dia bilang, urgen memperbaiki tata kelola industri sawit, yang banyak kritikan karena antara lain, dampak lingkungan. “Namun, harus ingat itu akan memiliki dampak lebih besar jika mengembangkan bioenergi aren. Berapa banyak tanah yang dibutuhkan? Lebih baik meningkatkan apa yang sudah kita miliki?” kata Arif mengkritik Ramson.

Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia mempertanyakan, dalam pengembangan biofuel pun berisiko terhadap hutan Indonesia.

”Itu 80 juta hektar dari data yang mana? Data KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) lahan kritis hanya 20-24 juta hektar. Sisanya, lahan dari mana? Dari hutan atau kebun atau apa? Jangan sampai menimbulkan masalah baru.”

 

Turbin Angin di pesisir pantai Baru Bantul memberikan asupan energi murah dan ramah lingkungan. Foto : Tommy Apriando

 

 

Jangka pendek

Alin Halimatussadiah mengatakan, saat ini urgen transisi fosil ke energi terbarukan. ”Tak hanya berbicara jangka pendek tapi jangka panjang. Masalah lingkungan jangka panjang dan ada masalah jangka pendek juga,” katanya.

Dia tak setuju harga energi fosil harus murah macam batubara karena hanya melihat sisi finansial dengan mengabaikan biaya lain seperti kerusakan lingkungan bahkan kesehatan masyarakat.

”Memang, biaya pembangkit murah, jika lihat distribusi dan penambangan. Berapa dampak sosial dan lingkungan (ditimbulkan)?”

Walau dibilang biaya investasi energi terbarukan tinggi, namun bisa rendah karena teknologi dan operasional sampai perawatan lebih murah dibandingkan energi fosil.

Melihat tren dunia dan perkembangan teknologi, katanya, prediksi harga energi terbarkan akan makin murah. Hal itu, katanya, mesti jadi momentum Indonesia mengupayakan pembangunan ekonomi lewat energi bersih.

Dia bilang, energi terbarukan juga lebih berpotensi dibandingkan batubara. “Perlu memasukkan semua biaya termasuk opportunity cost, yang jadi dasar transisi energi jadi kuat,” katanya.

Menurut dia, perkembangan energi terbarukan masih terhambat, karena bauran energi nasional berbasis fosil. Dalam RUPTL 2018-2027, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), menempatkan porsi batubara 54,4%.

Bahkan pada 2017, batubara mendominasi pembangkit listrik di Indonesia, 58,3% total daya terpasang, diikuti gas (23,2%) dan minyak bumi (6%).

Alin mendesak, pemerintah segera transisi energi, dengan memperbaiki regulasi yang jadi penghalang, seperti insentif masih berpihak pada batubara.

Dia pun merekomendasikan, pemerintah evaluasi proyek 35 GigaWatt. ”Ini komitmen jangka panjang, Kita akan terkunci oleh itu, harus evaluasi kalau tidak, dominan tetap batubara.”

Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, Indonesia tak bisa bersamaan memperluas PLTU batubara dan mempromosikan energi terbarukan. Dia berharap, para kandidat memiliki sikap dan indikator jelas dalam komitmen energi terbarukan.

Selain itu, katanya, korupsi politik sektor batubara menyebabkan pertumbuhan bisnis berkembang pesat. Tak pelak, kerusakan lingkungan dan dampak sosial kian besar dan terabaikan. “Transisi energi batubara ke terbarukan harus berawal dari komitmen presiden terpilih.”

 

 

Keterangan foto utama:     Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version