Mongabay.co.id

Apa Kabar Penanganan Kasus Pembakaran Tenda Petani Kendeng?

Petani Kendeng juga menyampaikan KLHS Kendeng merekomendasikan CAT Watuputih untuk dilindungi. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Sukinah memegang amplop cokelat masuk ke Polres Rembang, Jawa Tengah, Senin, (28/1/19). Surat warga Pegunungan Kendeng ini untuk mengingatkan kepolisian bahwa ada tugas mereka belum selesai buat mengungkap perusakan dan pembakaran tenda beserta mushola, dua tahun lalu.

“Kami datang layangkan surat ke Polres, kasus perusakan dan pembakaran dua tahun lalu, prosesnya mandeg,” kata Sukinah, pada Mongabay, (28/1/19).

Hampir dua tahun, laporan warga tak ada perkembangan dari kepolisian. Kala itu, mushola sudah berdiri dua tahun di tapak pabrik semen, dirusak dan dibakar sekelompok orang.

Baca juga: Warga Blokir Akses ke Pabrik Semen Rembang, Malam Hari Tenda Perjuangan Dibakar

Warga, katanya, melayangkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) mempertanyakan laporan baik di Polda Jawa Tengah dan Polres Rembang.

“Saya dan warga lain, serta Ngatiban sebagai pelapor kasus, diterima petugas Polres Rembang, tapi surat kami tembuskan ke Irwasda dan Dit Propam Polda Jateng, Irwasum, Propam Polri, Kompolnas dan Komnas HAM,” kata Sukinah.

Ngatiban, saksi kejadian kepada Mongabay mengatakan, mereka lapor 11 Februari 2017, sehari selepas perusakan dan pembakaran tenda perjuangan tolak pabrik semen. Ia didirikan 16 Juni 2014 bertepatan dengan peletakkan batu pertama pendirian pabrik semen PT. Semen Indonesia.

Pada 10 Februari 2017, sekitar pukul 19.30, sekelompok orang merusak dan membakar tenda dan mushola perjuangan.

Mereka membakar, di depan lima perempuan dan dua laki-laki penolak pabrik semen yang berjaga. Warga tak bisa berbuat apa-apa karena pelaku sekitar 70-an orang. Warga takut dan menangis.

“Gerombolan pelaku juga sempat membentak-bentak dan berusaha mengusir warga yang berjaga di dalam tenda,” kata Ngatiban.

“Terakhir, penyidik memberikan SP2HP 23 Maret 2017. Setelah itu, tak ada lagi perkembangan. Kami menanyakannya,” katanya.

 

Penyerahan dokumen KLHS Kendeng kepada perwakilan Polres agar aparat kepolisian tahu gunung itu seharusnya dilindungi dan tak boleh ditambang. Foto” Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Mereka ingin, aparat serius bertindak. “Sampai kapanpun kami akan menagihnya agar Kendeng Lestari,” kata Ngatiban.

Ivan Wagner, pembela hukum Lembaga Bantuan Hukum Semarang, kepada Mongabay mengatakan, laporan warga atas perusakan dan pembakaran tenda dan mushola, tampaknya masuk peti es. SP2HP, katanya, baru diberikan sekali, sejak laporan di kepolisian.

Dia bilang, polisi selalu cepat dan sigap kalau menangani laporan dari pro pabrik semen untuk mengkriminalisasi warga, bahkan polisi 24 jam menjaga pabrik semen itu.

Dia tak hanya mengingatkan polisi, juga semua pemangku kewenangan yang lebih banyak melayani kapital, melanggar hak warga, dan tak menjalankan kewajiban mereka untuk warga negara.

 

 

***

Tak hanya pertanyakan perkembangan laporan, di Polres Rembang, warga menyampaikan hasil kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) Kendeng kepada Polres Rembang.

Ngatiban bilang, KLHS Kendeng sudah selesai dan perintah langsung Presiden Joko Widodo, hingga layak dan sepantasnya apratur negara mengetahui.

Inti, KLHS Kendeng menyatakan cekungan air tanah (CAT) Watuputih layak menjadi kawasan lindung hingga segala kegiatan merusak lingkungan harus dihindari. Hal ini penting diketahui kepolisian lokal agar mampu menjaga lingkungan.

Dia mendesak, Polres Rembang, bekerja profesional, dan berpihak pada rakyat. “Kami pembayar pajak memberikan gaji bagi setiap anggota polri. Kasus perusakan dan pembakaran mushola serta tenda perjuangan harus diusut tuntas. Terlebih Rembang, kota santri. Segala tindakan yang membatasi jalannya ibadah harus usut tuntas.”

 

Sukinah mewakili warga Kendeng di Rembang memberikan surat dan mempertanyakan kasus perusakan dan pembakaran tenda serta mushola warga penolak pabrik semen. Foto: JMPPK

 

Semua pihak terkhusus kepolisian Rembang, katanya, harus mengetahui, memahami dan bertindak sesuai hasil KLHS Kendeng.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dihubungi Mongabay mengatakan, kasus hukum pembakaran tenda dan mushola berjalan lambat bahkan tak ada perkembangan. Sedang kasus kriminalisasi pejuang lingkungan dan penolak tambang proses cepat. “Ini bentuk ketidakprofesionalan kepolisian.”

Terhadap KLHS Kendeng, dia nilai presiden tak serius dan tak konsisten dalam menjaga kelestarian Kendeng. Ketika KLHS Kendeng merekomendasikan CAT Watuputih sebagai kawasan harus dilindungi, katanya, pertambangan tetap beroperasi.

Bahkan, pada situasi menjelang pilples, kedua calon presiden dalam visi dan misi tidak ada memperbincangkan persoalan penyelamatan masyarakat dan ekosistem karst.

Bahkan, pada debat kedua tentang lingkungan hidup, Jatam yakin tak akan ada bahasan ekosisten karst.

Kasatreskrim Polres Rembang AKP Kurniawan Daeli yang menerima mediasi antara polisi, pengacara dan warga mengatakan, kasus ini masih proses pemeriksaan.

Polres, mengatakan, telah memeriksa 36 saksi. Dia mengklaim, sudah bertindak dengan pemeriksaan bagi 36 saksi. Dalam proses, katanya, ada kendala-kendala perlu disinkronkan.

“Percaya pada kami atas kasus yang telah dilaporkan ini,” kata Kurniawan.

Setelah aksi dan audiensi, pendamping hukum warga, Ivan Wagner mengatakan, terjadi kesepakatan, ada forum bersama untuk pertukaran informasi dengan penyidik. Polres Rembang juga segera menuntaskan kasus itu.

 

Keterangan foto utama:     Petani Kendeng juga menyampaikan KLHS Kendeng merekomendasikan CAT Watuputih untuk dilindungi. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

Aksi para petani Kendeng menuntut kasus pembakaran tenda dan mushola segera diusut oleh Polres Rembang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version