Mongabay.co.id

Alam Kinipan Lestari Lebih Bermanfaat bagi Warga daripada jadi Sawit

Warga Kinipan sedang panjat pohon langsat. Buah langsat, salah satu buah yang ada di kebun dan hutan Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Kini, Laman (Desa) Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, memasuki masa panen padi. Masyarakat Kinipan menyebut musim mahanyi (memanen). Ibu-ibu pergi ke ladang memanen padi lahan kering sejak matahari baru muncul. Kampung Kinipan yang berpenduduk sekitar 700 jiwa itu tampak sepi. 

Mariana punya kesibukan sendiri. Pagi itu, dia tampak asyik membersihkan tumbuhan liar yang belum mengganggu pemandangan di sekitar selokan rumah betangnya. Dia tak turun ke ladang atau ke hutan. “Kami baru panen bulan muka,” katanya, Rabu (30/1/19).

Baca juga: Warga Kinipan Tanam Pohon di Hutan Adat yang Terbabat Sawit

Keluarga Mariana, tanam padi butir lebih besar dari jenis yang panen saat ini. Mereka tanam bukan varietas unggul yang biasa dipromosikan penyuluh pemerintah.

“Kami menanam padi yang kami sebut samanukng. Biasa empat atau lima bulan bisa dipanen. Padi banyak dipanen sekarang itu sahui. Ada juga yang menyebut samua. Biasa tiga sampai empat bulan ditanamnya,” kata perempuan 48 tahun itu.

Padi bibit lokal dan cara bertani tradisional masih jadi tulang punggung ketahanan pangan desa ini. Mariana kesulitan ketika diminta merinci berapa banyak panen. Namun, katanya, padi itu lebih dari cukup memenuhi kebutuhan keluarga. “Untuk makan kami setahun lebih saja,” katanya.

Baca juga:  Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Selain berdaulat beras, warga desa di tepi Sungai Batang Kawa, Lamandau, Kalimantan Tengah itu juga relatif bisa memenuhi keperluan pangan lain. Sayur-sayuran seperti terong-terongan, ubi kayu, dan rebung (tunas bambu) tersedia di kebun dan hutan mereka.

Mereka juga memiliki ribuan pohon buah-buahan musiman yang bernilai jual tinggi seperti durian, jengkol, langsat, dan rambutan. Belum lagi, buah-buahan endemik hutan Kalimantan yang jadi kekhasan desa ini, seperti satar, rambutan hutan, idur, kekali dan aneka varian durian (terotungan, pompakan, kusik, sedawak), yang tersebar di hutan sekitar laman.

Saat musim buah, pundi-pundi pendapatan warga bisa lebih melonjak. Panen primadona mereka adalah jengkol. Satu kilogram jengkol Rp15.000.

Hardi, warga Kinipan, pernah memperoleh Rp15 juta sekali menjual jengkol. Tina, perempuan Kinipan yang lain menambahkan, bagi pengepul, membeli jengkol berton-ton, bukan masalah bila musim tiba. Ada sekitar lima pengepul di desa itu.

Pasca bencana kabut asap—dampak kebakaran hutan dan lahan 2015, berladang untuk bertanam padi tak lagi senyaman dahulu. Larangan membuka lahan tanpa bakar, membuat mereka tak tenang berladang. Mariana mengatakan, orang Kinipan sempat mengalami bom air dari udara ketika musim membuka lahan berlangsung.

Meskipun begitu, katanya, hal itu tak terlalu jadi masalah bagi mereka. Kalau hanya produksi padi untuk keperluan sendiri, katanya, mereka bisa atasi.

 

Jurung atau lumbung padi orang Dayak Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Khawatir sawit

Mariana bilang, lebih mengkhawatirkan bagi orang Kinipan adalah investasi perkebunan sawit yang terus mereka tolak.

Sawit masuk dalam bentuk plasma itu khawatir makin menyulitkan mereka berladang. Apalagi, kehadiran sawit dengan membabat pepohonan buah dan hutan yang bernilai tinggi.

Mariana tak percaya, sawit akan membuat hidup mereka lebih sejahtera, sebagaimana digembar-gemborkan pemerintah dan perusahaan. Hasil plasma dua hektar, katanya, tak akan lebih banyak daripada yang mereka peroleh dari ladang dan hutan.

“Kami dari hutan bisa membuat banyak sarjana. Bukan dari sawit. Kami macam ini lebih bebas,” katanya.

Senada diungkapkan Rusani. Dia khawatir, mereka malah jadi pekerja kebun sawit kala perusahaan masuk. Dia bilang, beberapa keluarganya di desa yang ada investasi sawit, tak bisa lagi berladang atau berkebun tanaman lain. “Hih aku tak kubisa bekerja di kebun (sawit) itu,” katanya.

Baca juga:  SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan

Rencana masuk sawit di Kinipan bukan cerita baru. Pada 2005, Kinipan masih bagian dari Kecamatan Delang, terlibat kesepakatan dengan seluruh desa di kecamatan itu menolak investasi sawit. Beberapa tahun kemudian, Kinipan dan seluruh desa di aliran Sungai Batang Kawa, mekar jadi Kecamatan Batang Kawa, rencana investasi sawit makin nyata.

Pada 2012, PT Sawit Mandiri Lestari (SML), mulai menyosialisasikan rencana mereka membuka sawit di Kinipan. Waktu itu warga menolak. “Terakhir 2016, tiga kepala desa, Kinipan, Benakitan, dan Ginih, juga menolak. Jadi penolakan warga terhadap perkebunan sawit ini sudah lama,” kata Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan.

Akhir Januari lalu, Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA), Kantor Staf Presiden (KSP), datang ke Kinipan, survei lapangan.

 

Warga Kinipan bersama Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria KSP. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Riwayat penolakan itu kembali dipaparkan Buhing di hadapan TPPKA, Kantor Staf Presiden (KSP), dipimpin Iwan Nurdin dalam pertemuan dengan warga di Balai Desa Kinipan, Rabu (30/1/19). KSP turun langsung ke Kinipan, menyusul pengaduan delapan orang Kinipan ke Jakarta Mei dan awal Juni 2018.

Sebelumnya, Rabu (10/10/18), dua hari setelah demonstrasi warga Kinipan di DPRD Lamandau, KSP memanggil perusahaan, Bupati Lamandau, dan dinas-dinas terkait di Lamandau dan Kalimantan Tengah, untuk menjelaskan masalah ini.

Baca juga: Bupati Lamandau Bahas Wilayah Kinipan, BPN: Masih Bisa Dikeluarkan dari Konsesi

Saat itu, KSP meminta dalam pertemuan pembahasan selanjutnya diserahkan ke Pemkab Lamandau pada November 2018, dengan mengundang KSP dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang mendampingi Kinipan. Hingga kunjungan tim KSP akhir Januari lalu, pertemuan bersama itu belum terwujud.

Kehadiran tim dari KSP ini membuat harapan sedikit mengembang, sekaligus menerbitkan pertanyaan baru bagi masyarakat Kinipan. “Bisakah kiranya setelah ini, kami menyelamatkan hutan kami?” tanya Rusani, pada saya.

Saat TPPKA KSP tiba, Kinipan merasa dalam kondisi makin terdesak. Sebagian hutan adat yang mereka klaim, tak diakui pemerintah daerah. Bupati Lamandau memutuskan wilayah yang kini sudah terbabat (land clearing) SML, masuk dalam administrasi Desa Karang Taba, Kecamatan Lamandau. Seluruh wilayah yang masuk ke Karang Taba itu kini sudah ‘bersih’ oleh perusahaan.

Selama ini, secara administrasi pemerintahan, tata batas antara Kinipan dan Karang Taba, belum putus, sampai bupati menyampaikan penegasan dalam rapat bersama perangkat kedua pihak desa dan kecamatan, Jumat (17/1/19). Putusan bupati itu menimbulkan reaksi bagi Kinipan, dengan aksi menanam pohon di lahan yang sudah dibersihkan perusahaan, Sabtu (18/1/19).

Menyikapi masalah ini, Iwan Nurdin, pimpinan rombongan TPPKA mengatakan, upaya Komunitas Kinipan menolak investasi sawit tak melanggar hukum. Dia menyebut, kalau masyarakat menolak hutan dikonversi jadi perkebunan dalam bentuk plasma atau lain-lain, pemerintah juga punya banyak fasilitas aturan hukum untuk mengakomodasi. Bisa dalam bentuk hutan desa, hutan adat, atau hutan komunal.

“Jadi saya harapkan kita semua bahu membahu bekerja sama, di lingkaran pemerintah daerah di lingkaran pemerintah desa dan lingkaran masyarakat. Karena dengan bahu-membahu itulah kita mencari jawaban. Hukum itu telah disediakan. Pilihan banyak, kita bisa mencari jawaban yang paling memuaskan,” kata lelaki yang juga Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini.

 

Kekali, buah endemik Kalimantan, di kebun warga Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Dalam pertemuan perusahaan, pemerintah daerah dan KSP di Jakarta Oktober lalu, dua sudah mengingatkan, lahan yang bisa digarap perusahaan yang benar-benar telah keluar izin hak guna usaha (HGU).

“Kami mengingatkan, yang disebut dengan hak perusahaan itu adalah areal HGU. Izin lokasi itu bukan hak perusahaan. Itu tanah negara. Kami mendorong area yang masih berkonflik, khusus, Desa Kinipan, tak ada land clearing,” kata Iwan.

Dia bilang, tak ada kewenangan perusahaan mengajak masyarakat yang tak mau berplasma. Apalagi, katanya, belum ada SK calon petani dan calon lahan.

Perihal sengketa tatabatas Kinipan dan Karang Taba, yang diprotes Kinipan, kata Iwan, KSP masih harus mengklarifikasi pada desa terkait dan pemerintah daerah. “Tentu kami akan menerima laporan dan meminta klarifikasi apakah semacam itu.”

 

 

Menjaga adat, tetapi terbuka

Komunitas Adat Kinipan yang didukung mayoritas warga Kinipan, sejak empat tahun terakhir memilih mekanisme adat untuk membentengi hutan dan adat mereka.

Bergabung dalam AMAN, mereka memetakan wilayah adat pada 2015. Wilayah itu kemudian dideklarasikan pada 2016 dan telah terverifikasi syarat dan kelengkapan untuk memperoleh pengakuan sebagai masyarakat adat oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2017.

Secara sosial budaya, sebagaimana di banyak desa di pedalaman Lamandau, di Kinipan, masih mempraktikkan nilai dan pranata adat. Dalam relasi terhadap lahan dan hutan, misal, mereka tetap bersandar pada ketentuan turun-temurun. Suatu dukuh (untuk menyebut ladang atau eks ladang yang banyak pepohonan buah dan tampak menyerupai hutan), hasil hanya bisa diakses oleh keturunan dari leluhur dukuh itu. Orang Kinipan, mengerti semua aturan itu.

Situs-situs adat pun masih terpelihara. Beberapa tiang pantar yang menandakan pernah diselenggarakan upacara tiwah (upacara kematian tingkat akhir) berdiri di Laman Kinipan. Mereka juga masih merawat dengan baik apa yang disebut Pusaka Laman, prasasti yang dikeramatkan terkait sejarah berdirinya kampung. Di Kinipan, mereka menyebut prasasti itu Upuy Temaduk. Pemakaian kata upuy berarti datuk atau buyut, menandakan relasi kuat mereka dengan masa lalu. Keberadaan artefak budaya itu masih lengkap dengan ceritanya.

“Jadi Temaduk itu dipercaya penangkal marabahaya kalau ada orang dari luar ingin berbuat jahat,” kata Elyakin Pangkong, Mantir Adat Kinipan.

Tempat-tempat bersejarah dan dikeramatkan pun masih lekat dalam ingatan orang Kinipan. Mulai dari Dukuh Onyuk, tempat muasal Kahingai, orang yang mendirikan Kinipan, hingga Pulau Inuhan, daratan tinggi di tengah-tengah Sungai Batang Kawa di bagian hilir. Pulau Inuhan ini cukup unik. Selain di tengah sungai yang berarus deras, ia juga tak pernah terendam air walau di puncak musim hujan sekalipun. Ritual adat pun kerap dilakukan di tempat ini, seperti yang dilakukan warga Kinipan sebelum aksi menanam pohon di tanah yang sudah ‘bersih’ oleh perusahaan.

Kendati begitu, Kinipan bukan komunitas yang tertutup dengan dunia luar. Menjaga adat, katanya, tidak berarti tak bisa menerima nilai-nilai baru, yang dianggap bisa disesuaikan dengan tradisi. Dari segi keyakinan beragama formal, contoh, orang Kinipan dewasa ini mayoritas memeluk Kristen. “Tinggal dua orang yang masih memeluk Kaharingan,” kata Buhing.

Menurut Ester Ritawati, pendeta yang bertugas di Kinipan, Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) yang dia pimpin sudah berdiri sejak 1945. Kinipan salah satu pusat pengembangan agama Kristen di hulu Lamandau.

 

Buah cempedak, banyak terdapat di ladang dan hutan Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, meski akses jauh, dan masa lalu harus melalui sungai, banyak orang Kinipan lebih dari setengah abad lalu, merantau. Mereka bersekolah hingga bisa memperoleh pekerjaan dan jabatan di luar tradisi leluhur. Walaupun masa itu hanya ada sekolah tingkat dasar, namun banyak orang Kinipan, berhasil sekolah hingga jadi guru, pendeta, tenaga kesehatan, polisi, dan tentara.

Kampung ini membanggakan mereka karena pernah punya jenderal, Brigjend Purn Victor Phaingdi era akhir 1980-an, yang hingga hari ini belum ada yang menyamai di Lamandau.

Watak terbuka orang Kinipan ini kadang-kadang disertai sikap kompromis. Ceritanya, pada 2002, mereka memprotes perusahaan kayu yang menebang hutan mereka masuk tanpa pamit. Kisah ini cukup heroik, karena mereka berani menyandera buldoser milik perusahaan, dibawa ke laman mereka. Kemudian, terbuka negosiasi. Warga pada akhirnya membentuk koperasi dan bekerja sama dalam skema HPH perusahaan, sampai 2004.

Wilayah hutan eks-HPH itulah kini yang jadi klaim ada Kinipan, tetapi masuk dalam konsesi SML. Warga Kinipan, heran, ketika zaman kayu, tak ada klaim wilayah itu dari desa tetangga. Setelah lahan jadi kebun sawit–yang belum ada kesepakatan dengan Kinipan–, kini diklaim milik Desa Karang Taba, bahkan, bupati telah menyatakan wilayah itu bukan milik Kinipan. Masuknya investasi sawit inilah yang mereka tolak. Mereka memahami, sawit berbeda dengan HPH, yang tak menghabisi isi hutan.

Walau baru memperoleh HGU sekitar 9.000-an hektar di luar Kinipan, SML telah memperoleh izin lokasi dari pemerintah daerah, dan izin pelepasan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam rencana kerja mereka, Kinipan juga masuk dalam rencana pembukaan lahan itu.

Saat ini, meski tak banyak, beberapa warga Kinipan bekerja pada SML. Dalam pertemuan dengan KSP, mereka juga berani menyuarakan sikap mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang Kinipan.

Dirga, warga Kinipan yang mengaku lama merantau dan baru pulang ke Kinipan bilang, perlu pekerjaan hingga bekerja di SML.

“Saya sebagai orang putra daerah bekerja di SML. Ini murni saya butuh pekerjaan. Maksud saya begini, kalau di Kinipan, sudah sejahtera, tak mungkin kami merantau, tak mungkin kami mencari pekerjaan lain.”

Senada diungkapkan Thomas Lidin, warga Kinipan, pensiunan pegawai negeri sipil. “Saya tak tahu Undang-undang, enggak tahu hukum hutan tanah, ulayat, adat. Maksud kami masyarakat Kinipan ini ingin perubahan. Punya lapangan pekerjaan, punya penghasilan per bulan,” katanya.

Buhing dan kawan-kawan, mereka tak mempersoalkan pilihan pekerjaan warga Kinipan, termasuk di SML yang kebun ada di sekitar desa mereka. Yang mereka tolak, konversi hutan mereka jadi kebun sawit besar. Mereka nilai, akan mendegradasi lingkungan dan sumber penghidupan mereka secara tradisional.

Sementara perusahaan akan tetap jalan dengan skema. Kinipan, sangat berharap solusi pemerintah dalam menjaga lahan hutan adat mereka.

“Akan ada rapat internal membahas solusi bagi Kinipan,” kata Iwan, Senin (11/2/19).

 

Keterangan foto utama:    Warga Kinipan sedang panjat pohon langsat. Buah langsat, salah satu buah yang ada di kebun dan hutan Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Warga Kinipan saat mengantar Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria, Kantor Staf Presiden menyurvei lokasi sengketa lahan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version