- Warga Kinipan menolak perusahaan sawit masuk ke wilayah adat mereka. Hutan adat yang sudah dibersihkan perusahaan untuk kebun sawit pun, warga tanami dengan berbagai pohon, seperti jengkol, durian, cempedak, mentawa, rambutan, manggis sampai tumbuhan obat-obatan
- Kinipan, satu-satunya desa yang menolak, dari 12 desa yang masuk rencana pembukaan perkebunan inti dan plasma sawit SML. Kinipan juga berkonflik tata batas dengan Desa Karang Taba
- Setelah pertemuan antar warga, tata batas Kinipan-Karang Taba, belum ada kata sepakat, Bupati Lamandau pun ambil keputusan tata batas desa itu
- Warga protes tata batas Kinipan-Karang Taba. Mereka menilai Bupati Lamandau melanggar kesepakatan batas tiga desa, yakni Kinipan, Suja, dan Tapin Bini, di Tapang Dima dan Tapang Teluncur. Bupati juga melanggar kesepakatan batas antara Batu Tambun-Karang Taba dan Batu Tambun–Kinipan di Nanga Tamaja. Keputusan itu juga dinilai mengabaikan pihak-pihak bersengketa dan terkena dampak kerugian.
Pagi itu, puluhan warga Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, berkumpul di dermaga desa. Cuaca cerah. Lelaki-perempuan, tua-muda, remaja-dewasa ada di sana. Sebagian dari mereka memanggul lanjung (tas punggung terbuat dari rotan) berisi aneka bibit pohon, seperti jengkol, durian, cempedak, mentawa, rambutan, manggis, dan tumbuhan obat-obatan.
Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka
Mereka akan menanam bibit pepohonan itu di hulu Sungai Inuhan, anak Sungai Batangkawa, yang sudah gundul karena pembersihan (land clearing) perusahaan perkebunan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Acara tanam pohon ini bagian dari aksi penolakan mereka selama bertahun-tahun, terhadap masuknya perusahaan sawit ke laman (kampung) mereka.
Untuk mencapai hulu Sungai Inuhan, tidak mudah bagi yang tak biasa. Dari dermaga, harus meniti sungai dengan perahu sekitar 15 menit ke hilir, lalu perjalanan lanjut menelusuri hutan, menyeberangi beberapa kali kelokan Sungai Inuhan yang dangkal, dengan pasir di dasar terlihat. Perlu sekitar dua jam untuk jarak sekitar lima kilometer itu.
Dari perjalanan itu, bisa terlihat hubungan orang Kinipan akrab dengan hutan. Di daratan tepi sungai terdapat rerimbunan pohon bambu, dengan tunas muda biasa jadi sayur. Makin ke dalam, makin beraneka vegetasi. Rambutan hutan, durian, manggis, mentawa, dan banyak lagi ada di sela-sela pohon alami seperti bengkirai, ulin, tapang, dan rengas.
Baca juga: SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan
Pohon tapang begitu menjulang. Di atas pohon itulah lebah bersarang, sumber madu asli Kalimantan. Ciri pohon ini, selain besar menjulang, ada semacam pasak-pasak dari kayu di sepanjang batangnya. Fungsinya, sebagai titian menuju puncak untuk memanen madu.
Areal hutan seperti ini disebut babas tempat di mana dulu pernah dipakai berladang, sebelum ditinggalkan ke lain tempat. Adapun pohon-pohon buah dan sumber obat-obatan yang sewaktu-waktu selalu mereka kunjungi kembali ini disebut tempat penyaduan.
Di musim buah seperti ini, sungguh menyenangi melintasi hutan itu. Penat bisa dijeda dengan sesekali rehat ditemani lezatnya durian atau kesegaran rambutan hutan yang bisa dipetik di beberapa titik dalam perjalanan. Kehabisan bekal air minum pun tak masalah. Sebab, sudah tersedia ambil air alami, dari Sungai Inuhan yang bening.
Sayangnya, pemandangan itu sirna setelah dua jam berjalan. Panas matahari yang tak terasa saat meniti jalan setapak yang penuh belukar, tiba-tiba menyengat, saat kami sampai di areal SML. Kawasan yang dulu belantara kini gundul. Beberapa tumpukan kayu bulat diameter rata-rata 50 centimeter masih ada teronggok di sudut hamparan bukit lapang itu. Menurut Kinipan, diperkirakan hampir 3.000 hektar lahan mereka terkena land clearing.
Baca juga: Bupati Lamandau Bahas Wilayah Kinipan, BPN: Masih Bisa Dikeluarkan dari Konsesi
Di situlah, tujuan dari puluhan warga Kinipan menyusuri hutan tadi. Mereka lantas menanam bibit dan biji-bijian yang dibawa, di lahan gersang yang bagi mereka masih jadi bagian dari tanah leluhur itu.
Dua spanduk panjang mereka bentangkan. “Kembalikan hutan dan wilayah adat kami!! & Investasi Sawit Tidak Mensejahterakan Rakyat!!”
Acara tanam-tanam pohon diakhiri pembacaan puisi dan ratapan serta pernyataan sikap. Pernyataan sikap ini tentang penolakan penegasan tata batas wilayah Kinipan dan Karang Taba oleh Bupati Lamandau, yang sehari sebelumnya disampaikan pada perangkat desa.
Apa hubungannya pernyataan sikap itu dan aksi mempertahankan hutan adat? Bagi Kinipan yang menolak kehadiran perkebunan sawit SML, tata batas jadi masalah krusial. Ini karena Kinipan jadi bagian dari wilayah dengan hutan telah dilepaskan oleh pemerintah untuk perkebunan sawit SML.
Kinipan menjadi satu-satunya desa yang menolak, dari 12 desa yang masuk dalam rencana pembukaan perkebunan inti dan plasma sawit SML. Selain itu, mereka juga punya konflik tata batas dengan Desa Karang Taba, yang menerima kehadiran SML. Penolakan Kinipan terhadap investasi sawit sudah sejak lama.
***
Emban berdiri di tengah-tengah puluhan warga Adat Laman Kinipan maju membacakan pernyataan sikap. Mengenakan penutup kepala kain berwarna hitam, baju merah, pria 34 tahun itu mewakili Kinipan membacakan penolakan keputusan tata batas antara Kinipan dan Desa Karangtaba, Kecamatan Lamandau, yang disampaikan Bupati Lamandau sehari sebelumnya pada rapat yang dihadiri aparatur Desa Kinipan di Nanga Bulik. Suara tetap lantang kendati mentari menyengat di hutan yang telah gundul, Sabtu (19/1/19).
“Kami warga Desa Kinipan Kecamatan Batangkawa, menolak keputusan Bupati Lamandau yang kami nilai sepihak tentang perselisihan tapal batas pedesaan antara Desa Kinipan dan Karang Taba,” kata Emban.
Warga menolak penegasan tata batas bupati itu karena tak mengabaikan klaim adat yang menyebutkan perbatasan dengan Karang Taba di Nanga Tamaja. Ditambah lagi, perbatasan mereka dengan Tapin Bini dan Suja di Tapang Dima dan Tapang Teluncur, juga tak diakui.
Warga pun menganggap keputusan Bupati Lamandau soal tata batas Kinipan-Karang Taba, telah melanggar kesepakatan batas tiga desa, yakni Kinipan, Suja, dan Tapin Bini, di Tapang Dima dan Tapang Teluncur. Bupati juga disebut melanggar kesepakatan batas antara Batu Tambun-Karang Taba dan Batu Tambun–Kinipan di Nanga Tamaja. Selain itu, penatapan batas Karang Taba dan Kinipan, di kecamatan belum selesai. Emban juga menyebut keputusan itu mengabaikan pihak-pihak bersengketa dan terkena dampak kerugian.
Dalam hal ini, Kinipan yang bersengketa dengan Karang Taba, dan Batu Tambun, yang telah punya kesepakatan titik batas dengan Kinipan. Keputusan itu juga disebut merenggut hak masyarakat adat dalam mengelola hutannya.
Selain menolak keputusan, mereka juga meminta bupati menarik keputusan rapat Jumat (17/1/19) itu. Mereka pun menuntut agar Bupati Lamandau menunda keputusan mengenai tata batas Kinipan-Karang Taba, sesuai prosedur penyelesaian sengketa tata batas berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 45/2016.
Sikap Bupati Lamandau soal tata batas itu mengagetkan orang Kinipan dan dianggap terburu-buru. Surat undangan bertanggal 15 Januari 2019, baru diketahui pihak desa melalui pesan Whatsapp malam sebelum pertemuan. Saat saya tiba di Kinipan Jumat (18/1/18) malam, rombongan perangkat desa yang hadir di pertemuan dengan bupati itu juga belum lama tiba. Sesuai undangan yang mereka terima, Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki mengatakan, undangan itu rapat penyelesaian tata batas wilayah antara Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Batang Kawa.
Dia meminta, Bupati Lamandau mengembalikan prosedur penetapan ke tingkat kecamatan berdasarkan berita acara kesepakatan yang sudah ada dengan beberapa desa lain (kecuali Kinipan dan Karang Taba). Mereka juga menyuarakan tuntutan agar bupati mengakui hak masyarakat hukum adat Kinipan dan beriskap adil dalam penetapan tata batas pedesaan.
Berkat Arus, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Kinipan yang hadir dalam pertemuan itu menganggap bupati mengambil keputusan sepihak. “Pak Bupati cuma menyosialisasikan, batas ini jadi hak prerogatif beliau memutuskan. Suka tidak suka, mau tidak mau keputusan bupati. Menyampaikan itu saja. Tadi saya ngomong tidak mengakui, tidak jelas bagi Kinipan, karena keinginan bupati tidak sesuai di lapangan,” katanya, Jumat (19/1/19) malam.
“Saya ngotot dengan bupati itu. Enggak mau. Enggak terima. Saya atas nama warga Desa Kinipan dan tokoh masyarakat, saya tidak terima. Akhirnya, bupati nanya apa kapasitas saya. Saya jawab, saya Ketua BPD. Tak lama bupati menutup pertemuan itu.”
Dalam pertemuan itu, kata Hengky, bupati mulai menampilkan peta, dan menyampaikan penegasan putusannya. “Karena sudah dilimpahkan ke saya. Suka tidak suka, terima tidak terima ini keputusannya,” kata Hengki, mengulang ucapan Bupati Lamandau, Hendra Lesmana.
Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah bertahun-tahun berjuang agar Kinipan mendapatkan pengakuan hutan adat, mengatakan, keputusan bupati hanya sesuai areal lahan yang sudah dibabat SML.
Dia bilang, pembersihan lahan oleh SML sudah jauh memasuki hutan adat Kinipan. Sementara SML menganggap apa yang mereka kerjakan sesuai peta izin lokasi.
Berdasarkan penjelasan Buhing, alih-alih masalah batas antara Kinipan–Karang Taba, selesai, penegasan Bupati itu membuat kesepakatan antara Kinipan dengan beberapa desa lain yang sudah dicapai pun, teranulir. “Batu Tambun dengan Karang Taba, sudah setuju batas di sini (Nanga Tamaja). Kenapa bupati geser ke sini. Kinipan dengan Tapin Bini–Suja, sudah ada kesepakatan di sini (Tapang Dima dan Tapang Teluncur). Kenapa bupati geser ke sini,” katanya, sambil menunjukkan ilustrasi gambarnya.
Pembahasan batas antara Kinipan dengan Suja, Tapin Bini, dan Karang Taba, hasilnya tertuang dalam berita acara Kamis (9/8/18) di Mess Desa Karang Taba, Lamandau. Buhing menunjukkan, kopi berita acara yang ditandatangani Camat Batang Kawa dan Camat Lamandau yang membawahi Desa Suja, Tapin Bini, dan Karang Taba itu.
Dengan Suja, Kinipan bersepakat batas mereka berdasarkan batas alam yang ditandai Tapang Dima dan Tapang Teluncur di tepi Sungai Pojaran. Hulu tapang merupakan wilayah Kinipan, dan hilir tapang adalah wilayah Suja.
Dengan Tapin Bini, Kinipan bersepakat batas mereka ada di Sungai Pojaran (Tapang Dima dan Tapang Teluncur), Bukit Pasir atau Bukit Tabodak Madu, dan Ayauan Silingan dan Ayauan Baguruh atau Sungai Ayauan. Adapun dengan Karang Taba, belum dicapai kesepakatan. Mereka hanya menuangkan masing-masing versi batas pada berita acara itu. Mereka bersepakat untuk membahasnya lebih lanjut.
Bupati putuskan tata batas desa
Bupati Lamandau Hendra Lesmana mengatakan, memutuskan batas itu setelah menerima pelimpahan dari desa. Dia menyebut, apa yang dilakukan merujuk UU Nomor 6/2014 tentang Desa.
Saat ini, penegasan batas itu tinggal menunggu proses pembuatan surat keputusan rampung. “Apabila desa dan desa di dalam satu kabupaten tidak bisa menyelesaikan bersama, tentu dengan ketentuan peraturan dilimpahkan ke bupati. Bupati yang akan mengambil keputusan dan penegasan,” katanya, di Nanga Bulik, Senin (21/1/19).
“Sudah kita dorong, silakan kades dan camat beserta BPD-nya untuk turun lagi sekali. Ke lapangan memastikan bersama untuk menyepakati titik batas antara Karang Taba dan Kinipan.”
Setelah mendorong kembali mengambil titik batas dan masuk ada tumpang tindih bupati meminta ke tiap desa untuk memberikan surat resmi ke pemerintah daerah guna mengambil langkah konkret batas dua desa itu.
Kendati sudah ada penegasan tata batas, katanya, bisa dipahami kalau muncul ketidakpuasan. Kondisi ini, katanya, karena ada beda persepsi soal titik walaupun nama batas sama. “Itu dari Jembatan IV namanya, mereka sudah berbeda antara satu dengan yang lain. Tapang Dima menurut versi Kinipan di mana, Karang Taba di mana. Jadi ini yang mereka enggak sepakat. Satu nama sama. Saat mereka cek ke lapangan, saling berbeda fisik. Satu menunjuk ke mana, satu ke mana,” katanya.
Dia mengklaim, mengambil keputusan memperhatikan aspesk sejarah. Namun, katanya, antar desa punya pemahaman berbeda. Walau begitu, Hendra menganggap polemik tata batas ini tidak krusial karena desa yang bersengketa dalam satu wilayah kabupaten.
Masalah batas ini, katanya, hanya penegasan administrasi. Ia berbeda dengan izin perusahaan sawit yang mencakup lebih dari batas desa. “Batas desa tetap tidak membatasi izin. Izin tetap ada di Kinipan,” katanya.
Mengenai penolakan Kinipan terhadap SML, dia meminta perusahaan berdialog di Desa Kinipan. “Silakan dari hati ke hati mereka berbicara, perusahaan dengan pihak desa kaitan soal izin. Kalau batas desa hak prerogatif bupati setelah ada pelimpahan.”
Abimayu, dari Yayasan Betang Borneo Palangkaraya, menilai, semestinya sengketa batas desa selesai dalam musyawarah di tingkatan antardesa sendiri. Bila tetap terjadi sengketa, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45/2016, untuk menyelesaikan sengketa dibentuk tim penetapan dan penegasan batas desa. Tim itu bertugas mengecek dokumen-dokumen, batas, yuridis, historis dan dokumen lain yang terkait batas masing-masing desa.
“Tim itu juga salah satu tugasnya menentukan peta dasar yang dipakai untuk penetapan dan penegasan batas desa. Biasanya kerja tim ini diakomodir Bagian Pemerintahan di Setda. Termasuk soal perselisihan,” katanya.
Dia bilang, bila perselisihan tak selesai, kasus akan diserahkan ke kecamatan. Kalau kecamatan tak ada solusi, penyelesaian ke kabupaten. “Tim itu harusnya memberikan pertimbangan teknis kepada bupati, sebagai landasan mempertimbangkan di mana menggaris batas dua desa yang tak sepakat. Ketika keputusan soal batas desa itu dikeluarkan dan ditandatangani menjadi legal. Mau berstatemen apapun secara negara sudah tidak diakui,” katanya.
Meski begitu, bila masyarakat yakin dalam mengambil keputusan, bupati melanggar prosedur, bisa digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kita mengajukan gugatan administrasi pada bupati. Yang kita gugat surat keputusannya dengan menampilkan bukti-bukti. Prosesnya seperti apa, ceritanya seperti apa. Kita berargumen melalui pengadilan bupati itu keliru menetapkannya. Karena ini kan ranahnya administrasi negara,” kata Abimayu.
Keterangan foto utama: Warga Kinipan menanam pohon di lokasi land clearing PT SML. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia