Mongabay.co.id

Tak Ada Pembahasan Kedaulatan Masyarakat Pesisir dalam Debat Capres Kedua

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Debat kedua calon Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 yang berlangsung Minggu (17/2/2019) malam menyisakan silang pendapat yang terjadi antara para pendukung dan juga masyarakat secara luas. Di antara itu, silang pendapat juga muncul berkaitan dengan isu kelautan dan perikanan yang diyakini akan menjadi isu dominan dalam lima tahun mendatang.

Akan tetapi, kedua calon, yaitu Paslon 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dinilai masih belum memiliki gagasan yang maju. Di mata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), isu kelautan dan perikanan yang diangkat kedua calon Presiden pada debat kedua, hanya berkutat dengan isu pemberantasan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF), tol laut, bank mikro, dan pertambangan laut.

“Sementara, persoalan utama adalah kedaulatan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan, yang harus berhadapan dengan praktik perampasan ruang hidup akibat proyek pembangunan infrastruktur. Calon nomor dua bahkan tidak memiliki gagasan apapun,” ucap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, Senin (18/2/2019).

baca :  Capres Dinilai Belum Punya Visi Kelautan yang Berkelanjutan

 

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2019. Foto : KPU

 

Dia mengatakan, dari semua program pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, proyek seperti reklamasi pantai, pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil, pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil dalam skema kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), justru terbukti sudah merampas ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Secara keseluruhan, Susan menerangkan, pemaparan yang dilakukan capres nomor 1 dan 2 juga dinilai tidak menyentuh persoalan riil yang dihadapi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Pemahaman tersebut diyakini sudah ada di dalam diri masyarakat masing-masing yang menyaksikan debat tersebut, baik secara langsung ataupun melalui media televisi dan internet.

“Indonesia bisa terjebak dalam mengartikulasi kedaulatan sejati masyarakat bahari yang seharusnya tergambar dari debat malam tadi,” tuturnya.

baca juga :  Calon Pemimpin Indonesia Harus Berpihak pada Nelayan Kecil

 

Tanpa Misi

Menurut Susan, debat putaran kedua yang sukses menyita perhatian masyarakat secara luas itu, dinilai hanya mengulang-ulang retorika lama tanpa komitmen serius untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Kemudian, tak terlihat juga upaya untuk menegakkan keadilan sosial-ekologis yang selama ini telah dirampas atas nama pembangunan.

“Baik capres 01 maupun capres 02, sama-sama tak memiliki misi melindungi dan memperdayakan kehidupan lebih dari 12 juta rumah tangga perikanan yang tinggal di 12 ribu desa pesisir di Indonesia,” pungkasnya.

Adapun, untuk isu energi yang menjadi salah satu pembahasan, Susan mengungkapkan bahwa kedua calon Presiden juga tidak memiliki misi untuk membangun energi terbarukan. Keduanya dinilai sama-sama terjebak dalam pandangan yang keliru tentang isu energi dan berpandangan bahwa energi alternatif  adalah berasal dari kelapa sawit atau biofuel.

Padahal, menurut Susan, berbicara energi alternatif, Indonesia adalah gudangnya karena memiliki kelimpahan potensi energi alternatif seperti energi ombak laut yang belum dimanfaatkan dengan baik, selain dari energi angin dan panas matahari. Fakta tersebut, jelas sangat bertentangan dengan dunia internasional yang sedang melakukan kampanye energi alternatif di seluruh lapisan kehidupan.

Kemudian, yang menjadi sorotan adalah upaya kedua calon dalam mengurangi energi fosil. Selama ini, upaya tersebut juga sudah dilakukan oleh Pemerintah, hal ini diwakili oleh calon dari petahana, Joko Widodo. Namun, upaya tersebut juga dinilai hanya sebatas slogan semata dan itu dibuktikan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2018-2027.

“Dalam RUPTL, Pemerintah sudah menetapkan ratusan proyek pembangunan PLTU batubara yang lokasinya banyak berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Proyek ini tentu akan menghancurkan ekosistem darat dan laut Indonesia pada masa-masa yang akan datang,” ucapnya.

baca juga : Debat Capres: Perubahan Iklim Tak Dibahas, Energi Terbarukan Suram?

 

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Isu berikutnya yang dibahas pada debat capres putaran kedua, adalah tentang kepemilikan tanah. Isu terestrial yang selalu hangat dibicarakan pada setiap periode kepemimpinan itu, dibahas oleh kedua calon. Namun, seperti isu-isu yang lain, pada isu tersebut kedua calon juga dinilai tidak memiliki misi untuk menegakkan keadilan ekologis.

“Khususnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau,” tuturnya.

Menurut Susan, kedua calon sama sekali tidak berbicara tentang persoalan kepemilikan pulau-pulau kecil baik oleh perorangan maupun perusahaan, sebagaimana terjadi di Kepulauan Seribu, Jakarta. Dari 110 Pulau kecil, lebih dari 60 pulau dimiliki oleh perorangan dan atau perusahaan. Fakta-fakta di lapangan membuktikan bahwa kepemilikan pulau-pulau kecil ini mengancam ruang hidup nelayan.

Terakhir, isu yang menjadi sorotan KIARA, adalah tentang infrastruktur. Susan menerangkan, pembangunan infrastruktur selama ini tidak memberikan dampak baik bagi masyarakat pesisir. Pembangunan fasilitas publik yang menjadi tanggung jawab Negara, hingga saat ini ketersediaannya masih belum dirasakan oleh masyarakat pesisir.

Bahkan, KIARA mencatat, hingga sekarang masih ada 544.748 rumah tangga nelayan di desa pesisir yang menggunakan listrik bukan dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Listrik yang mereka dapat itu, biasanya berasal dari alat semacam genset dengan cara kerja menggunakan bahan bakar solar. Fakta tersebut, menjadi bagian dari pembangunan yang marjinal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Selain itu, ada 561.065 rumah tangga di desa pesisir yang belum teraliri listrik. Dengan demikian, total rumah tangga nelayan yang belum menikmati listrik dari negara sebanyak 1.105.813 rumah tangga perikanan,” pungkasnya.

menarik dibaca :  Pemerintah yang Baru Harus Jaga Komitmen Transparansi Kelautan dan Perikanan

 

Salah satu sudut pesisir Pulau Matutuang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulut yang indah dan eksotis. Pulau Matutuang merupakan salah satu gugusan pulau terdepan di sebelah utara Indonesia yang butuh listrik bagi warganya. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan Berkelanjutan Gagal

Sebelumnya, Pengkampanye Laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution menilai kedua capres gagal menjelaskan arah prioritas kebijakan pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Isu perlindungan ekosistem penting seperti mangrove dan terumbu karang tidak tersentuh. Juga ancaman nyata dari dampak perubahan iklim terhadap kelestarian ekosistem dan kelangsungan hidup masyarakat pesisir pun tidak terbahas,” katanya.

Sedangkan Ketua Harian DPP KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) Marthin Hadiwinata menanggapi mengenai infrastruktur kelautan, banyak pemerintah daerah yang belum mempunyai Perda tentang Zonasi Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang menjadi payung hukum pembangunan infrastruktur kelautan.

“Bila belum ada tata ruang laut sebagai arahan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut, seharusnya tidak boleh dibangun infrastruktur. Beberapa wilayah pembangunan infrastruktur tanpa ada dasarnya. Ada 2 pelabuhan besar di dorong oleh Jokowi yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batubara Sumatera Utara dan Makassar New Port di Sulawesi Selatan tanpa Perda RZWP3.

***

Keterangan foto utama : Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version