Mongabay.co.id

Petis Udang Sembilang, Lama Mengolahnya Susah Menjualnya

 

 

***

Pengantar

Taman Nasional Berbak Sembilang yang berada di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, serta di Kabupaten Muaro Jambi – Tanjung Jabung Timur, Jambi, telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO. Pengukuhan ini dilakukan pada sidang ke-30   International Coordinating Council of the Man and Biosphere Programme   [ICC-MAB] di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu [25/7/2018].

Terkait penetapan cagar biosfer tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang mengadakan liputan penulisan bertema “Lanskap Sriwijaya”. Para peserta, selain diberi pemahaman ekologi dan lanskap [bentang alam], teknik jurnalistik seperti pembuatan proyeksi, peliputan dan penulisan narasi, juga meliput langsung ke bentang alam Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan.

Kegiatan ini dilaksanakan pada 10-16 November 2018, dengan dukungan Mongabay Indonesia, ZSL Indonesia, dan KOLEGA South Sumatra. Dari pelatihan ini, terpilih enam tulisan yang akan ditayangkan setiap hari, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan batas waktu pengiriman, Januari 2019.

Baca tulisan sebelumnya:

Berharap Nelayan Hidup Harmonis di Dusun Sungai Sembilang

***

 

Tidak ada yang terbuang dari hasil laut dan sungai bagi nelayan di Dusun Sungai Sembilang, Taman Nasional Berbak Sembilang, Sumatera Selatan. Misalnya, kepala udang yang merupakan limbah bagi pengepul udang, dikelola masyarakat menjadi petis atau kecap udang.

Udang merupakan hasil tangkapan nelayan Sembilang yang bernilai jual tinggi. Terutama udang putih atau udang jerbung [Peanaeus merguiensis]. Udang yang dibeli pengepul ini, sebelum disimpan dalam lemari es, kepalanya dibuang karena tidak ada nilai jualnya.

Selama musimnya, setiap hari rata-rata 400 kilogram udang jerbung dihasilkan nelayan Dusun Sungai Sembilang. Sebanyak 100 kilogram kepalanya, dibuang yang selama bertahun menjadi limbah. Selain menimbulkan aroma tidak sedap, juga menjadi sarang lalat, nyamuk, dan bibit penyakit.

Tiga tahun lalu, pemerintah dusun mendidik sejumlah warga untuk mengolah kepala udang ini menjadi petis. Kini, hanya tersisa dua ibu rumah tangga yang masih setia memproduksi petis. Salah satunya Fathila Wati [35], yang lahir dan besar di Dusun Sungai Sembilang.

“Dulu banyak yang memproduksi petis, sekarang hanya saya dan satu teman saya saja. Mereka berhenti karena sulit memasarkannya. Warga di Sembilang tidak sebanyak masyarakat kota, tidak imbang antara pembuat dan pembeli karena pemasaran petisnya masih di dusun ini,” katanya.

 

Nelayan yang membawa ikan yang mereka tangkap secara tradisional, menggunakan jaring. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Setiap hari, sebagian besar warga Dusun Sungai Sembilang yang berjumlah seribu jiwa lebih, mengonsumsi petis. Petis digunakan sebagai bumbu rujak, sambal lalapan, atau bahan tumis kangkung.

“Petis udang sangat enak dan sesuai lidah orang sini, kalau saya sering gunakan untuk bumbu masakan. Sebelum ada yang membuat, kami membeli dari Sungsang,” kata Siti [49], seorang warga.

“Dulu saya membuat petis udang setiap hari untuk kebutuhan keluarga, setelah melaut. Tapi tidak lagi karena butuh tenaga kuat untuk mengangkat wajan besar. Banyak air dan kepala udang yang harus diolah,” terang Ahmad [55], warga Sembilang.

Setiap hari, pagi, siang atau malam, Fathila pergi ke gudang penampungan ikan PT. Lola Mina, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumahnya. Dia membantu memisahkan badan dan kepala udang jerbung, tanpa upah. Dia hanya minta kepala udang.

“Jika ada nelayan datang malam, saya ikut bantu agar bisa dapat kepala udang. Langsung direbus empat jam sampai kental dan warna hitam, agar tetap segar dan tidak menimbulkan bau,” katanya.

Udang jerbung tidak didapatkan nelayan sepanjang tahun. Ada rentang waktu, Juni hingga Januari. Selama waktu itu pula Fathila memproduksi petis. “Juni dan Juli masa puncak, Januari mulai sulit didapat,” katanya.

Berapa lama daya tahan petis ini? “Produk kami mampu bertahan satu tahun, tanpa pengawet. Cukup simpan dalam botol bertutup rapat, agar tidak masuk udara yang bisa mempercepat pertumbuhan bakteri atau jamur,” jelasnya.

Satu kemasan petis seberat 50 gram dijual Rp10 ribu. “Sehari sekitar 10-15 kemasan terjual,” kata Fathila.

 

Ikan hasil tangkapan nelayan yang dijual untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Republika, Purwantiningsih, Guru Besar Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam IPB, mengatakan bila kepala udang mengandung senyawa kimia yaitu kitosan, yang bermanfaat di bidang biomedis atau farmasi. Fungsinya, sebagai material pengantar obat ke target atau mengendalikan pelepasan obat ke target.

Berdasarkan riset, dia menyebutkan komposit kitosan alginate mampu menahan pelepasan ketoprofen atau obat antiradang non-steroid, yang umumnya digunakan obat rheumatik dalam medium asam, dan melepas kandungan obat ketoprofen 10,69 persen yang bisa mencegah tukak lambung dan obat tepat sasaran.

 

Udang, kekayaan laut Indonesia yang berlimpah. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kendala pemasaran

Selain tidak ada pihak yang membantu pengemasan dan pemasaran petis, sulitnya jaringan komunikasi membuat hubungan bisnis dengan konsumen dari luar Sembilang terhambat. “Kami percaya masih banyak orang di luar dusun kami, seperti di Palembang yang mau mengonsumsi petis,” kata Fathila.

“Potensi petis di sini cukup besar, mungkin seratusan kilogram per hari kepala udang jerbung saat musimnya,” tambahnya.

 

Petis dari kepala udang jerbung yang diproduksi masyarakat Dusun Sungai Sembilang. Kepala udang yang dibuat menjadi petis ini merupakan limbah dari pengepul udang. Foto: Hega Dwi Dian Dola

 

Selain PT. Lola Mina, ada sejumlah pengepul lain atau biasa disebut “gudang” berada di sekitar Dusun Sungai Sembilang, antara lain PT. SHL [Sinar Surya Hasil Laut], PT. Sanjaya Fish [SF], dan PT. Batah sebagai pengepul ikan dan udang ekspor seperti bawal, pari, kakap, kerapu, tenggiri dan udang burung. Kemudian PT. Lestari Magris [LM] dan PT. Tristan sebagai pengumpul udang burung dan udang jerbung untuk ekspor. Terakhir PT. Udang Petak sebagai pemasar udang di Indonesia.

 

Peta Lanskap Dangku-Sembilang. Peta: ZSL Indonesia

 

Sebagai informasi, Dusun Sungai Sembilang adalah kawasan enclave di dalam areal Taman Nasional Berbak Sembilang. Menuju dusun ini dari Palembang menggunakan speedboat dengan waktu tempuh empat jam dari Jembatan Ampera.

Di dusun ini, sebagian besar masyarakat merupakan nelayan. Hasil tangkapannya, selain udang, adalah ikan, seperti sembilang, bawal, gulama, senangin, pari, tenggiri, juga kepiting rajungan, dan kepiting bakau.

 

* Muhammad Aswat, mahasiswa semester IV Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. E-mail: aswatmuhammad20@gmail.com

 

 

Exit mobile version