Mongabay.co.id

Ini Cara Agar Ada Efek Jera untuk Pemilik Kapal Tanpa Surat Izin Melaut

 

Upaya Pemerintah untuk membuat malu dan jera para pemilik kapal yang tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI) melalui program “Naming and Shaming”, diprediksi hanya akan menjadi program bualan saja. Program tersebut dinilai hanya akan menjadi program yang cepat berlalu dan tidak efektif.

Demikian menurut Direktur Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menanggapi tentang program pengawasan kapal tak berizin yang diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada Januari. Program tersebut, diyakini akan menjadi formalitas saja seperti program-program kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah berlangsung sejak empat tahun lalu.

“Patut diragukan efektifitas dari program tersebut, hal itu berkaitan juga dengan elektabilitas Menteri KP yang sekarang semakin menurun,” ucapnya kepada Mongabay-Indonesia, pekan lalu di Jakarta.

baca :  Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Halim mengatakan, sebelum melemparkan kebijakan baru ke publik, sebaiknya Menteri membuat kajian lebih mendalam tentang sisi positif dan negatif dari kebijakan tersebut. Selain itu, Menteri juga harus terus mengacu setiap kebijakan yang akan dibuat pada Undang-Undang No.45/2009 tentang Perubahan atas UU No.31/2004 tentang Perikanan.

Pertimbangan lain yang harus juga menjadi perhatian dari KKP, menurut Halim, adalah berkaitan dengan analisis dan evaluasi (Anev) kapal perikanan yang berbendera Indonesia ataupun negara lain dan sudah dilakukan sejak Susi Pudjiastuti memimpin KKP pada 2014. Selama itu, Anev sudah dilakukan hingga empat kali dan melibatkan seluruh kapal.

“Tetapi, selama itu pula, kelanjutannya selalu saja tidak jelas,” tegasnya.

Halim kemudian menerangkan, dari hasil anev yang sudah dilakukan empat kali, didapat fakta yang beragam tentang pelanggaran yang sudah dilakukan oleh kapal perikanan milik asing dan Indonesia. Termasuk, di dalamnya adalah tindak pidana perikanan, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Fakta tersebut, hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya seperti apa.

baca juga :  Tumpang Tindih Perizinan Sulitkan Nelayan Kecil Melaut, Apa Solusinya?

 

 

Penegakan Hukum

Jika mengacu pada UU Perikanan, Halim menyebut kalau Menteri KP seharusnya sudah mengetahui apa yang harus dilakukan pada kapal-kapal yang terbukti melakukan pelanggaran. Dalam UU tersebut, sudah jelas diatur tentang mekanisme penegakan hukum, mulai dari sanksi administrasi sampai pencabutan izin operasional.

“Apabila KKP serius, mestinya sejak hasil Anev pertama dipublikasikan, sejak itu pula penegakan hukum dilakukan,” ujarnya.

Tanpa ada penegakan hukum, Halim menilai kalau KKP tidak serius untuk meneruskan program Anev yang dimaksudkan untuk menata ulang kapal ikan yang ada di Indonesia itu. Kesan tidak serius tersebut, bisa muncul, karena KKP tidak memiliki cukup bukti untuk melakukan penegakan hukum kepada kapal-kapal yang terindikasi melakukan pelanggaran.

“Atau, bisa jadi karena berkaitan dengan elektabilitas petahana yang ikut kontes pemilihan presiden pada 17 April mendatang,” sebutnya.

menarik dibaca :  Baru 0,97 Persen Perizinan Kapal yang Disetujui KKP, Kenapa Demikian?

 

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Susi Pudjiastuti mengatakan, Naming and Shaming adalah program yang dibuat khusus untuk memberi efek jera kepada pemilik kapal ikan yang tidak memiliki SIPI dan surat izin lain seperti surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) dan surat izin usaha perikanan (SIUP). Para pemilik kapal akan diumumkan namanya ke publik oleh KKP.

“Itu dilakukan agar pemilik kapal tangkap patuh terhadap prosedur yang telah ditetapkan Pemerintah,” ucapnya.

Selain nama lengkap pemilik kapal, Susi menyebutkan, agar kepatuhan dan efek jera muncul, dia juga akan mengumumkan ke publik status penghasilan dari kapal yang melanggar tersebut. Semuanya akan diumumkan secara lengkap dan detil ke publik.

Menurut Susi, dengan diumumkan ke publik secara terbuka, dia berharap publik bisa tahu dan ikut mengawasai perusahaan-perusahaan penangkapan ikan yang tidak patuh dan kerap kali menyalahkan Pemerintah karena tidak kunjung menerbitkan surat izin seperti SIPI. Padahal, yang terjadi adalah, kapal yang diproses perizinan, tidak lolos verifikasi data dan administrasi yang sudah disyaratkan oleh KKP.

“Supaya orang melihat, jadi tahu. Kamu belum keluar izin karena kapal 170 GT (gros ton) laporannya cuma 200 ton. Padahal sekali tarik satu malam saja udah 70 ton,” ungkapnya.

Susi mengatakan, selama ini proses perizinan memang terus mendapat sorotan tajam dari publik, terutama dari para pemilik kapal. Yang menjadi sorotan, adalah proses yang panjang dan lama untuk mendapatkan perizinan. Tak jarang, publik menilai kalau setelah mengikuti prosesnya, perizinan justru tidak jadi dikeluarkan karena berbagai alasan.

Padahal, menurut Susi, proses perizinan yang ada di KKP selama di bawah kepemimpinan dia sudah dilaksanakan dengan adil. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, karena banyak perusahaan yang tidak jujur dan melakukan kecurangan dalam proses perizinan. Misalnya, dengan memanipulasi data hasil tangkapan serta keuntungan yang didapat dari operasional kapal.

Sementara, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo mengatakan, penerapan kebijakan naming and shaming adalah untuk mencegah aktivitas manipulasi terkait syarat wajib untuk pengeluaran SIPI berupa laporan kegiatan penangkapan (LKP) dan laporan kegiatan usaha (LKU) dan memperketat pengawasan dengan keterliban publik.

baca juga : Berapa Lama Waktu untuk Penerbitan Izin Baru Kapal?

 

Nelayan kecil, yang kerap menjadi korban kebijakan dan masih sedikit kebijakan yang memberikan perhatian kepada mereka. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Manipulasi Data

Selain itu, dia menyebutkan, kebijakan tersebut juga dilakukan untuk memastikan pendapatan negara dari pajak perusahaan-perusahaan tersebut bisa tetap sesuai dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang mereka lakukan. Dengan kata lain, aktivitas Illegal, unregulated and unreported fishing (IUUF) akan terus dihilangkan dalam bentuk apapun.

“Sehingga Pemerintah bisa menghitung tingkat pemanfaatannya, dengan menghitung dari volume yang ada,” tuturnya.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengatakan, perizinan adalah aspek utama dari perikanan tangkap dan itu menjadi jembatan untuk menuju terwujudnya industri perikanan yang berkelanjutan. Untuk itu, perlu inovasi dalam melaksanakan proses perizinan, dengan waktu lebih cepat dan nyaman.

“Melalui perizinan, fungsi kontrol strategis untuk memastikan tata kelola sumber daya perikanan bisa dilakukan secara optimal. Manfaat ekonomi, menjaga keberlangsungan dan ketersediaan sumber daya, dan memberikan keadilan pemanfaatan bagi stakeholders terkait,” tuturnya.

Inovasi yang dilakukan oleh KKP, menurut Zulficar, adalah melalui penerapan e-log book penangkapan ikan dan implementasi perizinan via e-service untuk mempercepat proses penerbitan dokumen perizinan penangkapan ikan. Melalui inovasi tersebut, permohonan dokumen perizinan bisa diajukan oleh para pelaku usaha dengan mudah.

baca juga :  Saat Presiden Perintahkan Susi Persingkat Perizinan Perikanan Demi Nelayan 

 

Presiden Joko Widodo memerintahkan KKP dan Kementerian Perhubungan untuk memangkas proses perizinan kapal dan perikanan yang masih lama dirasakan nelayan. Hal itu diungkapkan Presiden dihadapan perwakilan nelayan dan pelaku usaha perikanan pada pembukaan acara Forum Bisnis Perikanan Tangkap, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (30/1/2019). Foto : Rahmat/Humas Setkab/Mongabay Indonesia

 

Persoalan proses perizinan yang lambat, sebelumnya juga sudah diendus oleh Presiden RI Joko Widodo. Saat bertemu dengan nelayan pada akhir Januari, Joko Widodo menyatakan kalau proses perizinan memang masih belum cepat. Dibandingkan dengan proses serupa yang ada di lembaga Pemerintah lain seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perizinan di KKP dinilainya lambat.

Menurut Joko Widodo, proses perizinan di KKP serharusnya bisa dilakukan lebih singkat lagi dan bisa mencontoh proses serupa di BKPM yang cukup berlangsung selama dua jam saja. Dengan waktu yang singkat seperti itu, maka proses perizinan untuk SIPI, SIKPI, dan SIUP bisa lebih cepat dan itu akan meningkatkan kinerja nelayan juga.

“Masih lama dua puluh hari. Saya berikan contoh izin di BKPM yang dulu bertahun-tahun sekarang kita ubah 2 jam bisa keluar 9 izin. Ini zaman kayak gini masak masih berhari-hari, jam sekarang urusannya!” tegas Presiden.

Agar segala permasalahan berkaitan dengan proses perizinan tersebut bisa dipecahkan, Jokowi meminta Susi Pudjiastuti untuk bisa segera menerapkannya. Dia meminta Susi untuk mencatat dan memindaklanjuti keluhan-keluhan yang disampaikan kepadanya. Agar tidak berulang di kemudian hari, dia meminta semua kementerian untuk membangun sistem yang dapat mempermudah pelayanan dan perizinan di tengah masyarakat.

“Bangun sistem. Kita sekarang blak-blakan enggak apa. Yang dulu-dulu enggak usah kita urus lagi, tapi ke depan memang harus diperbaiki kecepatan perizinan secara baik,” tambah Jokowi.

 

Exit mobile version