Mongabay.co.id

Ratusan Hektar Lahan Riau Terbakar, BMKG: Provinsi Lain Waspada

Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

 

 

 

 

 

Ratusan hektar lahan di Riau, alami kebakaran, mayoritas di areal kelola masyarakat. Provinsi ini sudah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan mulai 19 Februari-31 Oktober 2019.

Sebelumnya, Kabupaten Bengkalis dan Dumai, menetapkan status sama. Dumai tetapkan 13 Februari-akhir Mei. Bengkalis, dua hari setelah Dumai dan juga berakhir Mei.

Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Dumai, sempat level 500 alias kategori berbahaya. Kondisi ini sempat berlangsung selama tiga hari meski level terus turun.

Pemerintah ambil tindakan cepat dengan membagikan masker ke sekolah dan ke pengendara jalan. Siswa sempat pulang lebih awal dan diimbau mengurangi aktivitas di luar.

“Sekarang sudah mulai normal karena tadi malam diguyur hujan,” kata Afrilagan, Kepala BPBD Kota Dumai.

Sedangkan dampak Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), kata Faisal, Kadis Kesehatan Dumai, baru dapat didata dua minggu kemudian.

Luas kebakaran lahan di Dumai, berdasarkan rekapitulasi data BPBD Riau 21 Februari 2018, mencapai 46,5 hektar. Lokasi tersebar di beberapa titik di Kecamatan Medang Kampai dan Kecamatan Sungai Sembilan. Kecamatan rawan karhutla lain seperti Dumai Timur, Dumai Barat, Dumai Selatan dan Bukit Kapur.

Pemadaman lewat darat dan udara selama 10 hari terakhir. Sekarang masa pembasahan areal terbakar di Kelurahan Teluk Makmur dan Kelurahan Bangsal Aceh. Kesulitan menjangkau lokasi terbakar dan kekeringan kanal juga ikut memperlambat proses pemadaman, seperti kebakaran di RT05 Kelurahan Mundam.

Edi, anggota MPA mengatakan, areal terbakar kebun sawit dan semak belukar di lahan gambut.

Afrilagan mengatakan, sawit itu milik masyarakat karena ketika pemadaman api, si pemilik sawit mendatangi petugas.

Di tengah upaya memadamkan api, Kota Dumai, juga menerima sumbangan asap dari Pulau Rupat, Bengkalis hingga pencemaran kualitas udara di kota makin parah.

 

Pemadaman karhutla di Desa Lukun, Meranti. Riau. Foto: Haris Gunawan/BRG.

 

Kebakaran lahan di Bengkalis, paling luas di antara kabupaten dan kota di Riau. Tahun ini, hampir dua bulan, luas kebakaran mencapai 639 hektar. Catatan Pusat Data dan Informasi BPBD Bengkalis, 21 Februari, titik panas di Kecamatan Rupat paling banyak di antara kecamatan lain yakni 15 titik. Kecamatan Bengkalis dan Bantan dua titik serta Kecamatan Mandau satu titik.

Prakiraan cuaca BMKG mulai pagi hingga dinihari pun belum ada tanda-tanda akan hujan di wilayah itu.

Hingga kemarin, sejumlah personil masih berjibaku padamkan api di empat kecamatan. Di Kecamatan Rupat, pemadaman di Desa Teluk Lecah dengan kebakaran 165 hektar dan Kelurahan Pergam 100 hektar.

Di Kecamatan Bantan, karhutla dalam upaya pemadaman, tepatnya, di Desa Kembung seluas delapan hektar. Di Kecamatan Siak Kecil kebakaran di Desa Bandar Jaya sekitar 50 hektar dan Desa Muara Dua sekitar empat hektar. Untuk Kecamatan Bengkalis, di Desa Ketam Putih tiga hektar. Semua karhutla di lahan gambut dengan tanaman karet, sawit dan semak belukar.

Tajul Mudarris, Kepala BPBD Bengkalis, menyebut, sebagian lokasi kebakaran belum memiliki sekat kanal. Kebakaran terjadi berulangkali tak jauh dari lokasi pada tahun-tahun sebelumnya. Situasi ini, katanya, tak menghambat proses pendidikan di sana

Secara keseluruhan, luas kebakaran hutan dan lahan di Riau, sudah 857,71 hektar. Selain Bengkalis, dan Dumai, sumbangan karhutla dari Rokan Hilir 117 hektar, Kepulauan Meranti 20,2 hektar, Siak lima hektar, Pekanbaru 16,01 hektar dan Kampar 14 hektar.

Dua orang telah ditetapkan tersangka. Masing-masing di Pelalawan dan Kepulauan Meranti. Satu kasus masih penyidikan dan satu lagi sudah tahap II di kejaksaan.

 

Sekat kanal oleh masyarakat dan BRG di Riau, sebagai upaya pemulihan gambut dan mencegah karhutla. Foto: dari Facebook Haris Gunawan/ BRG

 

 

Masalah restorasi gambut

Pantauan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) lewat Satelit Terra-Aqua Modis, area prioritas restorasi Badan Restorasi Gambut (BRG) di Riau, kerap muncul titik panas yang bisa berpotensi kebakaran. Tahun ini terpantau 377 titik panas. Dengan rincian, Bengkalis 204 titik, Indragiri Hilir 30 titik, Kepulauan Meranti 37 titik, Pelalawan 38 titik, Rokan Hilir 17 titik, Rokan Hulu satu titik, Siak 29 titik dan Dumai 21 titik.

Ia muncul di kelas prioritas restorasi gambut berkanal (zona budidaya) 92 titik, kelas prioritas restorasi kubah gambut berkanal (zona lindung) 112 titik, kelas prioritas restorasi kubah gambut tidak berkanal (zona lindung) 74 titik dan kelas prioritas restorasi pasca kebakaran 2015 sebanyak 99 titik.

Tahun ini, titik panas pada area restorasi pasca kebakaran 2015 paling banyak muncul di Bengkalis sebanyak 84 titik.

“Bahkan, kebakaran juga terjadi di desa peduli gambut dampingan BRG,” kata Aldo, devisi kampanye dan advokasi Jikalahari.

Haris Gunawan, Deputi IV Bidang Penelitian dan Pengembangan BRG, tak membantah itu. Meskipun begitu, mereka memastikan mayoritas titik panas berjarak dua kilometer dari area intervensi atau lokasi sekat kanal yang dibangun. Sejak 2016-2018, BRG bangun 815 sekat kanal dan 325 sumur bor dengan area intervensi 71.000 hektar. Itu di luar kerjasama dengan mitra BRG.

“Luas kebakaran pada area target restorasi gambut juga terus berkurang dari tahun-tahun ke tahun.”

BRG punya target restorasi di Riau seluas 814.731 hektar hingga 2020. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1/2016, Pasal 4, capaian target itu bertahap 30% pada 2016 dan 20% tahun-tahun berikutnya. Artinya, restorasi lahan gambut tahun ini harus memenuhi target 90% atau 733.257 hektar.

“Kalau dihitung seluruh target restorasi memang benar. Tapi yang dikerjakan tidak semua karena hampir 90% area restorasi masuk konsesi baik sawit maupun hutan tanaman industri,” kata Haris.

Dari keseluruhan target restorasi, 707.385 hektar dalam kawasan budidaya berizin, baik areal pasca kebakaran 2015 maupun kubah gambut berkanal.

“Itu tanggungjawab perusahaan. Bagaimana pelaksanaan, silakan tanya ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red). Yang jadi tanggungjawab BRG sudah hampir 90% tahun ini.”

Haris baru kembali dari Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti. Personil pemadaman karhutla sudah 11 hari berjibaku di sana. Luas kebakaran lebih kurang 300 hektar. Jumlah ini lebih luas dibandingkan data BPBD Riau untuk Kepulauan Meranti.

Haris bilang, lokasi itu sudah berulangkali terbakar selama tiga tahun terakhir. Ia masuk target restorasi BRG tetapi belum intervensi karena lokasi jadi pelintasan para pembalak kayu. Mereka benar-benar memastikan area itu aman dan tak terjadi perusakan sekat kenal di kemudian hari. “Kanalnya mereka buat untuk mengalirkan kayu.”

Kondisi lapangan seperti itu, katanya, masih jadi kendala, macam, perusakan sekat kanal di Desa Buruk Bakul, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis. Tiga sekat kanal dibuat masyarakat jebol oleh oknum perusahaan. Masalah ini diadukan ke BRG pada 7 Mei 2018 dan telah diperbaiki PT Surya Dumai, dua bulan kemudian, seperti dalam catatan Suryadi, petugas pengaduan BRG di Riau.

Selama 2018, BRG terima 11 pengaduan baik dari masyarakat maupun kelompok sipil. Selain perusakan kanal tadi, juga masalah penyerobotan lahan dan perusakan hutan oleh korporasi, abrasi di lahan gambut dan masalah kebakaran.

 

Upaya pemadaman karhutla di Riau. Foto: BNPB

 

 

Terus pemadaman

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat dihubungi Mongabay melalui sambungan seluler Rabu, (20/2/19) mengatakan, hingga kini proses pemadaman masih terus berlangsung.

“Satgas darat, udara, penegakan hukum semua berjalan. Yang terbakar Itu kebanyakan ada di lahan-lahan masyarakat yang berupa lahan gambut dan semak belukar. Semua untuk pembukaan perkebunan dan pertanian,” katanya.

Karhutla Riau, katanya, terjadi karena ulah manusia, juga didukung situasi Riau yang memiliki dua periode kemarau. Periode pertama, Februari hingga Maret. Periode kedua, biasa Juni sampai Oktober. Saat ini, di berbagai daerah lain di Indonesia, justru memasuki musim penghujan.

“Periode pertama musim kemarau di Riau, ini tak akan separah pada periode kedua. Namun, masyarakat yang kebiasaan membakar untuk membuka kebun menyebabkan kebakaran. Jika tak diantisipasi dapat menyebabkan karhutla meluas.”

Menurut Sutopo, satgas udara mengerahkan tiga helikopter, yakni, satu helikopter Bell-412 KLHK, dan dua Superpuma bantuan Sinarmas. BNPB sedang menyiapkan tambahan dukungan helikopter water bombing untuk memperkuat satgas udara.

Raffles B. Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK mengatakan, penetapan status siaga darurat Riau merupakan langkah tepat meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi para pihak serta respon cepat penanganan karhutla.

“Karhutla meningkat di Riau dipicu cuaca kering. Ini menjadi parameter penting dalam penetapan status siaga darurat ini,” katanya.

Data terakhir berdasarkan pantauan Posko Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, pada 20 Februari pukul 06.00, hotspot di Riau 1 Januari–19 Februari 2019 berdasarkan satelit NOAA ada 30 titik. Berdasarkan satelit Terra AQUA (NASA), periode 1 Januari–19 Februari 2019 sebanyak 146 titik.

Rafles mengatakan, upaya deteksi dini peristiwa karhutla dilakukan dengan sinergis berbagai pihak sampai ke tingkat tapak.

“KLHK melalui Manggala Agni bersama TNI, Polri, dan masyarakat telah patroli terpadu pencegahan karhutla sejak 2016. Untuk menunjang deteksi dini, KLHK akan membangun tower CCTV di tiga Daops dan melengkapi sarana prasarana Manggala Agni,” katanya.

 

Sumber: Jikalahari

 

 

BMKG: waspada karhutla

Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG mengatakan, daerah dekat dengan ekuator perlu waspadai karhutla seperti Riau, Jambi dan Sumatera Utara, bagian selatan—daerah-daerah dua kali periode musim kemarau.

Selain kemudahan terbakar karena tak ada hujan, juga kecepatan angin berhembus cukup tinggi berpotensi membuat api terus menjalar lebih luas. Ditambah lagi dengan kelembaban udara relatif kering.

“Ini sebenanrya menjadi kontributor besar dari kebakaran hutan. Biasanya ketika kelembaban udara itu kering, tersulut api lebih mudah.”

Kalau melihat satelit himawari, daerah-daerah di Riau, paling parah itu bagian selatan yang berbatasan dengan Jambi, lalu yang berbatasan dengan Sumatera Barat, dan sebagian Jambi. “Asap mengarah ke selatan. Ada juga daerah-daerah seperti Jambi, Sumbar, Sumsel dan Bengkulu itu kemungkinan berpotensi kebakaran,” katanya.

Pemerintah, katanya, harus monitoring terus-menerus. Titik api muncul pasti ada pemicu. Dia berharap, pemerintah tegas dan awasi ketat agar tak membuka lahan dengan membakar.

Herizal, Deputi Bidang Klimatologi BMKG mengatakan, daerah dekat garis khatulistiwa memiliki karakter musim berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Daerah-daerah ini meliputi sebagian besar pesisir barat Sumatera, Sumatera bagian tengah, Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi bagian tengah dan sebagian tenggara, dan sebagian Papua bagian utara.

“Karakter musim itu dicirikan oleh dua kali puncak hujan dan puncak kemarau dalam setahun, atau dikenal sebagai tipe hujan ekuatorial. Kemarau pertama umumnya berlangsung Februari. Kemarau kedua berlangsung mulai Juni hingga Agustus,” katanya.

Berdasarkan pantauan Sistem Peringatan Dini Iklim BMKG terhadap curah hujan dasarian I Februari (1-10 Februari 2019) menunjukkan, curah hujan kategori rendah atau kurang dari 50 mm per dasarian.

Ia dominan di sebagian besar Aceh, Sumatera Utara dan Riau, sebagian Kalimantan Utara dan Timur, Gorontalo dan sebagian Sulawesi Tengah. Peta analisis hari tanpa hujan di Sumatera menunjukkan beberapa tempat di pesisir timur Aceh, Sumatera Utara dan Riau, terindikasi mengalami hari kering rentang waktu enam hingga 20 hari.

“Di Riau, hari tanpa hujan kategori panjang atau sekitar 21 hingga 30 hari terjadi di Rangsang, Rangsang Pesisir dan daerah Tebing Tinggi,” katanya.

Kurang hujan di wilayah-wilayah itu, katanya, didukung kondisi troposfer bagian tengah didominasi kelembaban udara relatif rendah. Ini berdasarkan peta prediksi spasial anomali radiasi balik matahari gelombang panjang (OLR).

Selama dasarian II Februari 2019, wilayah subsiden kering mendominasi wilayah Indonesia hingga awal dasarian III Februari 2019 yang berkaitan dengan penjalaran MJO fase kering. Hal ini menyebabkan proses konvektif dan pembentukan awan hujan akan terhambat.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, kebakaran lahan di Riau merupakan pola berulang. Biasanya, Februari, titik api mulai bermunculan.

“Selalu di akhir Februari minggu ketiga. Kadang-kadang mundur sampai Maret. Jadi, kalau Riau itu akan selalu seperti itu. Jangankan sekarang, Desember saja di Riau, juga kebakaran. Saya libur Natal dan tahun baru juga masih kontrol kebakaran,” katanya seraya bilang, terpenting konsep penangan ketika ada api, harus langsung padamkan.

Selain di Riau, Siti juga memantau kemungkinan karhutla di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. “Melihat situasi Riau, perkiraan saya sampai Mei akan naik hotspot. Karena pola hotspot di Riau seperti itu.”

Pemerintah, katanya, mempunyai komitmen terus mengantisipasi karhutla. Perbaikan lahan gambut rusak, katanya, terus jalan. KLHK, juga meminta perusahaan menjaga agar gambut tak kering.

“Dimonitor, dijaga. Lahan masyarakat juga begitu. Patroli juga terus-terusan.”

 

Keterangan foto utama:       Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

Karhutla di Riau, selama 2019, sudah 800-an hektar lebih. Pemadaman masih berlangsung hingga kini. Foto: BNPB

 

 

Exit mobile version