Mongabay.co.id

Pemerintan Aceh Tidak Lagi Perpanjang Moratorium Tambang, Mengapa?

Tumpahan batubara di Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, bukan kali ini saja terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah Provinsi Aceh tidak lagi memperpanjang moratorium tambang yang telah berjalan sejak 2014. Tidak dilanjutkannya kebijakan ini diketahui dari surat Nomor: 540/1112 yang ditandatangani Sekretaris Daerah Aceh Taqwallah, atas nama Gubernur Aceh, tanggal 24 Januari 2019.

Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpada Satu Pintu.

“Dengan tidak ditetapkan instruksi gubernur yang baru, agar diperhatikan kembali tata kelola pertambangan yang baik khususnya mineral logam dan batubara untuk menjamin keberlangsungan investasi sektor pertambangan serta perkebunan kelapa sawit. Tentunya, dengan melakukan kajian komprehensif mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Aceh,” sebagaimana isi surat tersebut.

Baca: Gubernur Aceh Perpanjang Moratorium Tambang Selama Enam Bulan. Targetnya?

 

Tumpahan batubara di Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, yang terjadi pada awal Agustus 2018 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bagian Humas dan Media Massa Pemerintah Aceh, Saifullah A Gani, kepada Mongabay Indonesia memastikan surat tersebut benar. “Namun itu bukan surat keputusan, tapi lebih mengisi kekosongan setelah moratorium tambang dan kelapa aawit berakhir,” jelasnya Senin [25/02/2019].

Menurut Saifullah, surat itu juga jelas menyebutkan, agar memperhatikan kembali tata kelola pertambangan yang baik di Aceh serta perkebunan kelapa sawit melalui kajian mendalam. “Bila sesuai kajian lingkungan tidak mendukung, dengan sendirinya tidak bisa dikeluarkan izin,” terangnya.

Baca: Tumpahan Batubara Menghitamkan Pantai Wisata Indah Ini

 

Kondisi sungai di Geumpang, Pidie, Aceh, yang mengalami kerusakan akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Boyhaqie

 

Sebelumnya, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan instruksi perpanjangan moratorium tambang Nomor: 05/INSTR/2017, 15 Desember 2017. Isinya, perpanjangan moratorium dalam rangka penyempurnaan tata kelola pertambangan yang strategis, terpadu, dan terkoordinir, yang berakhir 15 Juni 2018.

Terakhir, melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 540/1436/2018 yang ditandatangani 27 Desember 2018, Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah mencabut 98 izin usaha pertambangan eksplorasi dan izin usaha pertambangan operasi produksi mineral dan batubara.

Dalam surat itu dinyatakan, pengakhiran izin usaha pertambangan tidak menghilangkan kewajiban keuangan pemegang izin usaha pertambangan [IUP] di Aceh dalam menyelesaikan tunggakan penerimaan negara bukan pajak [PNBP] hingga batas berakhinya izin kepada negara dan daerah.

Izin usaha pertambangan yang dicabut tersebut yaitu di Kabupaten Aceh Besar [4 IUP 4.656 hektar], Aceh Jaya [10 IUP 31.368 hektar], Aceh Barat [7 IUP 20.329 hektar], Nagan Raya [1 IUP 90.576 hektar], Aceh Barat Daya [2 IUP 298,9 hektar], Aceh Selatan [14 IUP 59.826 hektar], Aceh Sungkil [6 IUP 46.313 hektar], Gayo Lues [2 IUP 41.200 hektar], Aceh Tamiang [4 IUP 33.559 hektar], Aceh Tengah [13 IUP 190.568 hektar], Aceh Timur [2 IUP 6.080 hektar], Pidie Jaya [2 IUP 2.555 hektar], Pidie [14 IUP 114.205 hektar], dan Kota Subussalam [8 IUP 6.227 hektar].

Baca juga: Pemerintah Aceh Menutup Rapat Data Pertambangan, Alasannya?

 

Hutan alami di Aceh yang harus dijaga dari perambahan dan juga alih fungsi menjadi perkebunanan dan ancaman pertambangan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Tidak tepat

Data Gerakan Anti Korupsi Aceh [GeRAK] menunjukkan pada 2014, tercatat IUP di Aceh mencapai 138 unit dengan luas lahan 841 ribu hektar. Dalam perkembangannya, hingga 2018, sebanyak 98 IUP dicabut, dimulai dari pemberlakuan moratorium tambang pertama melalui Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/INSTR/2014.

Dengan tidak diperpanjangnya moratorium tambang, Koordinator GeRAk Askhalani menilai, kebijakan ini sangat tidak tepat karena masih banyak persoalan sumber daya alam yang belum ditertibkan.

“Banyak alasan yang bisa dipakai untuk kembali memberlakukan moratorium tambang. Misal, belum ada penyusunan wilayah izin usaha pertambangan [WIUP] dan sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Potensi kerugian negara akibat tunggakan piutang penerimaan negara bukan pajak [PNBP] juga belum tertagih yang jumlahnya mencapai Rp40 miliar,” jelasnya.

 

Surat tidak diperpanjangnya moratorium tambang di Aceh. Sumber: GeRAK

 

Masalah lain, sambung Askhalani, lemahnya pengawasan reklamasi dan pascatambang. Banyaknya IUP di kawasan hutan lindung harus menjadi tolok ukur memperpanjang jeda tambang ini. “IUP yang sudah clean and clear (CnC) juga, masih menimbulkan permasalahan serta konflik dengan masyarakat yang belum tuntas.”

Askhalani menilai, surat yang ditandatangani Sekretaris Daerah Aceh itu sangat tidak masuk akal dan terkesan dipaksakan. Ini kebijakan besar, seharusnya ditandatangani oleh Gubernur Aceh atau sekretaris daerah defenitif.

“Kami mendesak Plt. Gubernur Aceh mencabut surat itu dan memperpanjang moratorium tambang. Banyak manfaat yang dirasakan masyarakat dan pemerintah sejak penertiban tambang dilakukan. Bahkan, hutan jauh dari ancaman perusahaan tambang,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version