Mongabay.co.id

Tsunami dan Ketidakpastian Mitigasi Bencana (Bagian 2)

Desa Teluk, Banten, pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Awal Januari lalu, pascatsunami menerjang Banten dan Lampung, masih menyisakan banyak pekerjaan. Hingga Sabtu (5/1/19) korban tercatat 437 orang meninggal dunia, 9.061 orang luka, 10 hilang dan 16.198 mengungsi.

Berdasarkan rapat koordinasi dipimpin Gubernur Banten, disepakati, masa tanggap darurat selesai 4 Januari 2019, lanjut periode transisi darurat menuju peralihan selama dua bulan, yaitu, 6 Januari-6 Maret 2019.

Baca juga: Tsunami dan Ketidakjelasan Mitigasi Bencana (Bagian 1)

Selama masa transisi darurat, pemerintah membangun hunian sementara (huntara). Huntara untuk menampung pengungsi dengan rumah rusak berat dan rusak ringan. Tujuannya, meminimalisir gejolak sosial dan mengantisipasi musim hujan agar pengungsi lebih nyaman.

Untuk membangun huntara perlu dua bulan—pembangunan sebelum hunian tetap. Pemerintah Pandeglang akan mengajukan dana siap pakai ke BNPB guna pembangunan huntara. Pengerjaan fisik oleh TNI.

Untuk perbaikan rumah rusak ringan, Pemerintah Pandeglang dan Banten, akan mengalokasikan anggaran untuk perbaikan. Untuk perbaikan rumah rusak berat dan sedang akan diusulkan melalui hibah rehabilitasi dan rekonstruksi ke BNPB.

Baca juga: Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok Ini dari Gempa

Sesuai kesepakatan dan rapat koordinasi tak ada pembangunan huntara di Lampung Selatan namun hunian tetap untuk relokasi. Pemerintah sudah siapkan dua hektar lahan.

 

Salah satu wilayah pesisir di Banten, yang dihantam tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

Mitigasi

Susan Herawati Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, ketangguhan masyarakat merupakan kunci utama mitigasi dari potensi tsunami.

Satu kekhawatiran lagi, setelah bencana, perampasan ruang masyarakat justru makin tinggi, baik di Palu maupun Selat Sunda.

Baca juga:Tsunami Selat Sunda Tewaskan 222 Orang, BNPB: Hindari Dekat Pantai dan Tetap Waspada

Susan bilang, kebijakan relokasi warga diikuti memberikan status zona merah terhadap wilayah berpotensi bencana, kemudian diambil negara untuk pariwisata.

“Kami percaya, masyarakat punya pola ketangguhan, seperti apa? Mangrove. Mereka punya mangrove kok di Selat Sunda, kemudian ekspansi jadi pariwisata,” katanya seraya bilang pemerintah salah kaprah dalam mengartikulasikan kerentanan. “Bahkan punya kecenderungan menambah kerentanan itu sendiri.”

Untuk itu, selain membangun mitigasi, pemerintah perlu mengembalikan kedaulatan sejati bagi masyarakat pesisir yakni hak penuh mengelola wilayah mereka.

Baca juga:Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, Ratusan Orang Tewas, Infrastruktur Rusak Parah

Sementara, Eko Teguh Paripurno, pakar bencana dari Pusat Studi Manajemen Bencana (PMSB), Magister Manajemen Bencana Universitas Negeri “Veteran” Yogyakarta menilai, pemerintah perlu memperbaiki masterplan sesuai konteks karakter bahaya, perubahan kapasitas dan kerentanan yang berkembang termasuk di Sulawesi Tengah, terutama Palu dan sekitar.

Masterplan kemarin, seharusnya sudah sesuai kajian waktu itu. Tentu sudah ilmiah, karena bersandar pada kajian lembaga saat itu,” kata Eko.

Diskusi masterplan, katanya, menarik karena sering berurusan dengan pengelolaan, kesesuaian, dengan rencana tata ruang dan tata wilayah serta rencana penanggulangan bencana.

Sebagai payung hukum, katanya, cukup dengan keputusan gubernur, atau peraturan daerah provinsi.

Soal anggaran Rp16,7 triliun, dia bilang relatif. Terpenting, harus mempertimbangkan kebutuhan yang sesuai. “Masterplan perlu dipertimbangkan tak hanya infrastruktur, juga sosial dan budaya, serta ekonomi.”

PSMB, katanya, konsisten merekomendasikan dan mendorong pendekatan sosial budaya dalam menyelesaikan pengurangan risiko. “Tata ruang, masterplan dan lain-lain, dipastikan setelah kajian risiko jelas dan zonasi ditentukan,” katanya.

Sukmandaru Prihatmoko, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menjelaskan, tsunami Selat Sunda lalu merupakan tsunami vulkanik. Ia disebabkan aktivitas vulkanik yang berkaitan dengan letusan gunung.

Tsunami di Selat Sunda lalu, katanya, memang cukup rumit karena letusan gunung tak langsung jadi penyebab tetapi dampak longsorannya. Potensi kejadian pun kecil.

“Kebetulan, muncul di Krakatau,” katanya.

Tsunami tanpa didahului gempa, katanya, sekitar 10% dari kejadian selama ini.

Potensi kejadian berulangpun kecil. Namun, Sukmandaru mengingatkan, kewaspadaan tetap harus jadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat di pesisir.

Potensi letusan gunung, katanya, masih ada. Meski tak akan sebesar letusan induk Krakatau pada 1883 yang menewaskan lebih 36.000 jiwa.

“Kalau berdasarkan gejala yang kita amati sekarang tak akan sebesar ibunya karena tinggi sudah menurun dari 338 meter jadi 100 meter.”

Meskipun begitu, kesiapsiagaan perlu. Citra satelit menunjukkan ada rekahan berpotensi jadi jalur longsor baru. Mitigasi wajib.

Selama ini, dalam amatan dia, banyak standar prosedur operasi dan teori mitigasi namun belum terimplementasi dengan baik. “Saya selalu bilang, mitigasi tidak boleh berhenti.”

Mitigasi perlu sejak dini. Di hulu mitigasi dengan membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap semua potensi bencana. Selanjutnya, tata ruang sesuai potensi bencana.

“Kalau sudah tau rawan bencana perlu bikin perlakuan khusus, misal, di Selat Sunda, sudah tahu itu rawan bencana hindari proyek bangunan besar. Seandainya harus dengan kaidah yang harus dipatuhi misal kode bangunan tertentu,” katanya.

Serupa dikatakan Andang Bachtiar, dikenal dengan sebutan geolog merdeka. “Tidak ada kata terlambat untuk mitigasi,” katanya.

Soal pengaktifan kembali masterplan, katanya, pemerintah harus fokus membuat daftar area yang perlu mitigasi, misal sebelah barat Kota Padang, untuk potensi bencana di megatrust Mentawai dan Selat Sunda.

BNPB, katanya, juga harus merujuk pada penelitian dan kajian terbaru seperti potensi bencana di sepanjang sesar Lembang dan Cimandiri, yang masuk rawan bencana, namun padat penduduk dan infrastruktur.

Kajian dan riset-riset ini, katanya, mesti jadi landasan penyusunan mitigasi. Dia bersyukur, pandangan ini sudah terlihat pada Doni Monardo, Kepala BNPB yang baru dilantik Presiden Joko Widodo awal Januari 2019.

Meski sempat tertunda beberapa hari, presiden akhirnya melantik Doni menjadi Kelapa BNPB menggantikan Willem Rampangilei. Sebelumnya, Doni adalah Sekjen Dewan Ketahanan Nasional dan Panglima Kodam III Siliwangi.

Jabatan Kepala BNPB, sangat krusial. Ia jabatan setingkat menteri hingga pemberhentian dan pengangkatan kewenangan presiden.

BNPB, katanya, sangat strategis karena memiliki fungsi koordinasi, komando dan pelaksana dalam penanggulangan bencana, baik pra, tanggap darurat dan pascabencana. Hal itu, katanya, diatur dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan PP No 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

 

Menjaga mangrove berarti menjaga kehidupan makhluk hidup yang ada. Hutan mangrove juga bisa jadi upaya mitigasi bencana seperti abrasi dan tsunami.  Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hutan pantai

Bagaimana pandangan Doni Munardo dalam penanggulangan bencana? Dalam kunjungan ke Pandeglang setelah dilantik, Doni mengusulkan hutan pantai sebagai salah satu upaya mitigasi dalam mengurangi risiko bahaya tsunami masa depan.

Doni melihat, hutan pantai juga bisa bermanfaat bagi masyarakat di sepanjang pantai yang masuk zona merah bahaya gempa bumi dan tsunami.

Dia contohkan, beberapa jenis pohon dapat ditemui di beberapa tempat dan berfungsi sebagai penahan alami dari hantaman tsunami. Beberapa jenis pohon dapat ditanam dan cocok di pinggir pantai seperti pule, ketapang, mahoni, waru, beringin dan kelapa.

“Ini tujuan kita mengurangi bencana. Sejak sekarang kita siapkan. Kawasan di zona merah Selat Sunda ini sudah harus mempersiapkan diri.”

Pandangan ini dibenarkan Abdul Muhari, pakar tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hutan pantai, katanya, dapat mengurangi laju energi tsunami dan menahan koral besar.

Abdul mengatakan, karakter tsunami di kawasan ini membawa koral hingga 10 ton ke darat. Pohon-pohon berdiameter besar dapat menahan laju koral.

Doni memberikan arahan, penanaman pohon diserahkan kepada pemerintah kabupaten, termasuk melibatkan Dinas Kehutanan provinsi. Penanaman, katanya, memperhatikan juga berapa panjang pantai, dan setiap wilayah tentu ada lapisan.

“Kita minta bupati menyusun rencana dan mengajukan ke BNPB. Kebutuhan apa yang dapat kita usulkan ke Kementerian Keuangan,” kata Doni.

Sehubungan mitigasi dan adaptasi wilayah rawan gempa dan tsunami, kata Doni, beberapa upaya dapat dilakukan semua pihak, seperti kesiapsiagaan masyarakat.

Dia bilang, sosialisasi terus diberikan ke semua lapisan masyarakat oleh semua komponen, termasuk para ulama.

Doni menekankan, ada latihan yang menyentuh sampai tingkat rukun warga di kawasan zona merah. Dia juga sebutkan, soal aturan, seperti peraturan daerah terhadap seluruh pengelola hotel agar memperhatikan konstruksi.

Dia mengunjungi pantai yang memiliki shelter tsunami. Sayangnya, pembangunan shelter belum sempurna karena masalah administrasi. Dia berharap, shelter untuk kepentingan kebencanaan.

“Dengan memperkuat upaya mitigasi, menyiapkan rute evakuasi, dan tata ruang berbasis risiko bencana,” katanya yang mengunjungi kawasan ditemani para ahli geologi dan vulkanologi.

 

 

 

***

Nurjanah, warga yang tinggal kurang 100 meter dari Pantai Carita, hidup bersama empat orang keluarga. Dia, suami, seorang anak, dan ibunya. Mereka bergantung hidup dari warung kecil yang menyediakan jajanan, seperti mie instan, kelapa muda, makanan ringan, dan lain-lain.

Malam minggu sebelum tsunami menggulung kawasan Selat Sunda, keluarga Nurjanah berharap ‘panen’ karena pengunjung ramai. Bencana datang, hingga isi warung mereka gunakan untuk keperluan mengungsi.

Pedagang lain, Saripah, pendatang di Kampung Cipondo, sebuah desa antara Carita dan Tanjung Lesung, bersama suami membuka warung makan kecil di tepi pantai.

Dia menjual ikan bakar, dan berbagai olahan seafood lain. Rencana mereka sehari sebelum malam Natal, akan panen keramba. Tsunami menggulung keramba. Habis tak bersisa.

Nggak jadi panen,” kata Saripah.

Saya meninggalkan Pandeglang, sore hari ketiga pasca tsunami. Pekerjaan rumah masih banyak, antara lain, pemulihan ekonomi warga seperti Nurjanah dan Saripah dan kepastian mitigasi bagi 3,8 juta warga Indonesia yang tinggal di daerah rawan tsunami. (Habis)

 

Keterangan foto utama:     Desa Teluk, Banten, pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Pemukiman sekitar pantai di Banten, luluh lantak dihantam tsunami. Foto: BNPB

 

Exit mobile version