Mongabay.co.id

Apakah Bali punya Masa Depan untuk Kualitas Lingkungannya?

 

Dari sejumlah diskusi lingkungan di Bali, nampak banyak yang pesimis dengan masa depan Bali. Demikian juga diskusi terkait pengelolaan tata ruang dan kewilayahan Bali di masa depan. Bagaimana pulau kecil ini menghadapi perubahan?

Seperti diskusi yang difasilitasi komunitas jurnalis lingkungan SIEJ dan Conservation International Indonesia di Bali mengundang pemantik Made Iwan Dewantama (CI Indonesia), Dr Gede Hendrawan (Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana) dan Made Arca Eriawan (Kelompok Ahli Pemerintahan Bali). Ketut Kariyasa Adnyana (anggota DPRD Bali, Ketua Pansus RTRW) tidak hadir pada diskusi di Denpasar, Jumat (22/2).

Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan pentingnya pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Salah satu instrumennya adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan tahap awal penyusunan kebijakan, rencana, dan program prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dipertimbangkan.

Sejumlah parameter di antaranya apakah ada penurunan kinerja layanan atau jasa ekosistem. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana alam, penurunan mutu dan ketersediaan sumber daya alam, penurunan ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati, dan peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.

Berikutnya apakah ada peningkatan jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok masyarakat serta terancamnya keberlanjutan penghidupan masyarakat. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat, dan ancaman terhadap perlindungan kawasan tertentu secara tradisional oleh masyarakat hukum adat.

baca :  Aktivis Khawatirkan Hilangnya Kawasan Konservasi Pesisir Bali

Salah satu pantai di Karangasem yang masih alami dan jadi tempat parkir nelayan tradisional. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Made Arca Eriawan yang menjadi kelompok ahli pemerintahan (KAP Bali) di bidang tata ruang menyebut sejumlah kendala pembangunan saat ini. Di antaranya ketimpangan pengembangan Bali selatan, Bali utara, Bali timur dan Bali barat karena kepentingan nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan lokal pada beberapa kawasan. Pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum terkelola. Belum ada rancangan daerah tata ruang (RDTR) di kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai pedoman perizinan.

Untuk isu lingkungan, di antaranya kerusakan lingkungan, bencana alam seperti erupsi gunung berapi, longsor, dan eksploitasi berlebihan. Saat ini hutan penetapan sekitar 23%, kurang dari target keseimbangan 30%. Namun dari 23% ini hanya sebagian tutupan hutan dengan keragaman kayu keras, karena ada yang berupa padang rumput dan lainnya.

Selain itu ancaman kekurangan air baku untuk irigasi maupun air minum dan alih fungsi lahan pertanian. Data terakhir versi pemerintah, alih fungsi sawah sekitar 661 ha/thn (1997-2007), dan menurun jadi 99 ha/thn (2007-2014). Selain itu masih tingginya abrasi yang mengancam pantai-pantai indah Pulau Bali dan ancaman sampah plastik.

Di isu ekonomi yang berdampak pada lingkungan yang dipetakan KAP di antaranya tingginya ketergantungan pada industri pariwisata, perlu penyeimbangan daya saing pertanian dan industri kreatif. Penguatan pariwisata budaya, integrasi pertanian dengan pariwisata, dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Seiring dengan pemetaan masalah tersebut, muncul tantangan sosial budaya yakni konflik penerapan kearifan lokal dalam peruntukan ruang (bhisama kesucian Pura, kawasan suci). Terancamnya kepemilikan lahan warga Bali, dan tantangan untuk mempertahankan karakter lingkungan dan bangunan yang bernuansa budaya Bali.

baca juga :  Empat Rencana Proyek Besar Mengancam Pesisir Bali Selatan

 

Muara sungai dan laut menjadi kawasan suci tempat ritual penyucian di Bali, namun makin banyak abrasi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Di isu infrastruktur, Arca menyebut perlu konsep pengembangan transportasi terpadu Bali Selatan dan antar wilayah karena kemacetan rutin di Kota Denpasar, Kuta, Ubud dan jalur-jalur wisata pada musim liburan. Rendahnya pemanfaatan angkutan umum, sehingga laju kepemilikan kendaraan 12%/thn sementara pertumbuhan jalan baru kurang dari 1%/thn. “Pendapatan utama Bali saat ini dari pajak kendaraan,” ujar Arca.

Di sisi lain sulitnya mewujudkan rencana pembangunan beberapa jalan bebas hambatan, dan kepastian lokasi Bandara Bali Utara berpengaruh pada perubahan tata ruang. Ia menyebut ada kebutuhan pengembangan pelabuhan pariwisata (Benoa, Celukan Bawang), kelanjutan dermaga wisata Tanah Ampo dan Gunaksa.

“Kapal roro tidak bisa jalan ke pulau-pulau kecil. Pelabuhan Gunaksa harus jadi, mendukung Padangbai,” urainya soal tingginya biaya transportasi barang ke kepulauan Nusa Penida. Sementara rencana pembangunan pelabuhan di Amed tak bisa, karena arus besar dari Lembar, Lombok.

Selain itu permasalahan TPA regional Bali selatan dan TPA lain, penyediaan pasokan tenaga listrik dan jaringan distribusi, dan rencana pengembangan jalur kereta api. Namun pembangunan infrastruktur ini juga berisiko. Ia menyontohkan reklamasi Pelindo di Teluk Benoa. “Teknik reklamasinya bocor, ada wacana memanggil, Amdalnya seperti apa,” kata Arca.

baca juga :  Begini Wacana Pembangunan Bersih Gubernur Baru Bali. Realistiskah?

 

Perluasan Bandara Ngurah Rai Bali yang dilakukan karena belum adanya RZWP3K. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Iwan Dewantama, salah satu manajer program CI Indonesia meyakini implementasi tata ruang bermasalah dari aspek lingkungan sehingga kemungkinan Bali makin rusak. Ia berharap ada proses partisipasi publik dan diskursus lingkungan lagi untuk masalah-masalah saat ini yang berdampak pada masa depan Bali.

“Daya dukung dan tampung Bali penting misal untuk menghitung kebutuhan air, sampah, dan lainnya,” ujar Iwan. Ia heran untuk pengelolaan sampah harus mengorbankan hutan mangrove.

Ia menyayangkan diterimanya proyek pusat reklamasi Pelindo di Teluk Benoa karena ini kawasan yang berisiko tinggi bencana dan likuifaksi. “Lama kelamaan Teluk Benoa jadi daratan,” Iwan mengingatkan.

Rencana Induk Pelabuhan Benoa adalah 143 ha. Daratan eksisting 58 ha dan pengembangan daratan baru 85 ha. Inilah yang sedang dikerjakan dengan reklamasi. Sementara luas perairan teluk Benoa sekitar 1.923,63 ha.

baca juga :  Menggugat Keterbukaan Informasi Pelindo III soal Reklamasi Teluk Benoa

 

Reklamasi Teluk Benoa Bali oleh Pelindo III yang dipertanyakan izinnya oleh Walhi Bali. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Iwan menyebut kini ada negoisasi untuk menambah penambangan pasir di perairan Bali untuk kebutuhan reklamasi bandara, proyek revitalisasi JICA, dan bandara Buleleng. Karena yang dialokasikan di Ranperda RZWP3K tak cukup. “Diminta eksploitasi dan membahayakan masa depan Bali dan penghuninya,” ujar salah satu tim penyusun RTRWP dan RZWP3K ini.

Pembangunan fisik menurutnya berdampak langsung pada ekosistem. Misalnya di riset soundtrap kerjasama CI, Unud, dan peneliti Australia menyimpulkan suara kebisingan pesawat di bandara Ngurah Rai masuk laut 100-160 desibel saat landing dan takeoff. Hal ini mengganggu biota laut karena di sekitarnya ada keragaman hayati besar yakni 4 spesies paus melakukan gathering dan reproduksi termasuk Orca.

“Paus ini nonton orang surfing. Pura Uluwatu menyembah Ulam Agung. Ada ikan besar, palung dalam mempertemukan Samudera Pasifik dan Hindia,” tuturnya soal narasi lokal yang menghormati alam ini. Dalam laut, kecepatan suara 7 kali lebih cepat dan ini yang mengancam habitat satwa megafauna selain sampah plastik.

Gede Hendrawan, peneliti Fakultas Kelautan dan Perikanan Unud mengingatkan lebih 80% kegiatan pariwisata Bali di pesisir. “Kalau hancur hanya karena RTRWP tak benar, ekonomi hancur, konflik,” sebutnya.

Isu lingkungan menurutnya harus dominan dibahas. Karena itu KLHS sangat penting. Dari serangkaian penelitiannya, sekitar 80% sampah laut berasal dari darat, dan 80% adalah plastik. Aktivitas di darat kacau dan masih bocor ke laut.

Ia mengusulkan trash trap, semacam penjaring sampah untuk mengurangi sampah masuk laut karena tingginya kebocoran sampah darat.

Dampaknya seperti mikroplastik lebih mengerikan karena sulit dibersihkan. Ia heran kenapa Bali belum punya data akurat soal timbulan sampah. Tak heran sulit merencanakan infrastruktur persampahan.

baca :  Ternyata Ada Rencana Bisnis Wisata Tol di Atas Teluk Benoa

 

Alat pemerangkap sampah khusus di hutan mangrove diujicoba di kawasan mangrove Jembrana, Bali agar bisa dioperasikan dan dirawat warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Vany Primaliraning, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menilai ini sebuah peta penghancuran bali secara sistematis. Menurutnya peta pembangunan pariwisata merupakan rujukan pusat yang dipaksakan untuk disesuaikan di daerah.

Perempuan advokat publik ini menilai tidak dibuka ruang seluasnya bagi masyarakat Bali yang terdampak dalam penyusunan RTRW. “Kebijakan pembangunan ruang di Bali kebanyakan kebijakan terselubung yang dibuat dengan tekanan pusat sehingga masyarakat tidak dilibatkan,” sesalnya.

Saat ini LBH Bali, Greenpeace Indonesia, dan salah satu warga Celukan Bawang sedang menggugat pengembangan PLTU di kawasan Bali Utara ini. Menurutnya ini salah satu proyek tak melibatkan partisipasi warga karena dampaknya besar.

“Pemantauan LBH ada perebutan air antara PDAM dan petani. Orientasi memenuhi industri pariwisata bukan warga,” contohnya. Upaya perampasan ruang hidup, pangan, air, energi ini menurutnya berdampak pada makin banyaknya masalah tenaga kerja dan perburuhan seperti outsourcing.

Arca merespon jika pola ruang tak perlu diubah. Hanya penambahan infrastruktur. “Kalau bangun ini harus bagaimana? Perencanaan tak salah, pengendalian perlu dikuatkan,” katanya. Menurutnya Gubernur baru Wayan Koster menyadari Bali memerlukan ketahanan internal dan ruang.

Perda Provinsi Bali No.16/2009 tentang RTRWP Bali 2009-2029 bisa ditinjau ulang tiap 5 tahun, dan di sini titik krusial negoisasi perubahan fisik dan keruangan Bali. Seiring makin banyaknya proyek infrastruktur.

 

Exit mobile version